BAB 3

1407 Words
Keesokan harinya, rasa mual menyerang Novi saat ia bangun tidur. Dia bergegas ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Namun, tidak ada yang keluar kecuali cairan bening. Novi ingat semalam ia tidak sempat makan apa pun karena menunggu sang suami untuk makan malam bersama. Dia bergegas pergi ke rumah sakit setelah mendapat kabar kalau Reyhan mengalami kecelakaan. Mama Imelda terbangun saat mendengar suara Novi dari kamar mandi. Dia berjalan ke kamar mandi untuk mengecek keadaan sang menantu. Mama Imelda terkejut melihat Novi bersandar di dinding kamar mandi dengan wajah pucat. “Kamu kenapa, Nov?” tanya Mama Imelda, menghampiri Novi dan membantunya duduk di sofa. “Aku nggak tahu, Ma. Perut aku tiba-tiba mual, tapi nggak ada apa pun yang keluar,” jawab Novi dengan suara lemah. “Ini. Kamu minum dulu,” kata Mama Imelda, memberikan segelas air putih pada Novi. “Makasih, Ma,” sahut Novi menerima gelas itu dan segera meminum isinya. “Apa kamu sering mengalami mual seperti ini, Nov?” tanya Mama Imelda, menatap Novi dengan raut wajah penasaran. Novi mengangguk. “Belakangan ini aku sering mual saat bangun tidur, Ma. Aku juga akan mual jika mencium bau yang menyengat,” cerita Novi. Mama Imelda terbelalak mendengar penuturan sang menantu. “Mengapa gejala yang kamu alami seperti orang hamil, Nov? Atau jangan-jangan kamu hamil?” tebak Mama Imelda kemudian. Kini giliran Novi yang terbelalak mendengar tebakan Mama Imelda. Perlahan dia menganggukkan kepala untuk menjawab rasa penasaran sang mertua. “Iya, Ma. Aku sedang hamil,” ujarnya memberi tahu. Mama Imelda menutup mulut, terkejut. “Kamu serius, Nov?” tanyanya memastikan. “Iya, Ma. Kemarin aku memeriksakan diri ke dokter kandungan dan hasilnya positif,” kata Novi, menjelaskan. “Masya Allah .... Selamat, Sayang. Mama bahagia akhirnya kamu hamil juga,” kata Mama Imelda, menarik Novi ke dalam pelukannya. “Makasih, Ma. Aku juga sangat bahagia,” ungkap Novi, membalas pelukan Mama Imelda. “Aku harap Mas Reyhan segera bangun supaya aku bisa memberi tahu kabar bahagia ini, Ma,” lanjutnya, menitikkan air mata memandang Reyhan yang masih terbaring di ranjang pasien. Mama Imelda mengurai pelukan mereka, lalu menghapus air mata yang jatuh membasahi pipi Novi. “Mama yakin Reyhan akan segera bangun, Sayang. Dan kamu bisa memberi tahu kabar bahagia ini kepadanya. Reyhan pasti akan sangat bahagia karena sebentar lagi kalian akan memiliki anak,” kata Mama Imelda, menatap Novi. “Kamu nggak boleh bersedih seperti ini, Nov. Kalau Reyhan tahu, dia pasti nggak akan suka.” “Iya, Ma,” sahut Novi, menganggukkan kepala. “Ya sudah .... Mama akan bangunkan Papa dulu. Dia juga harus tahu kabar bahagia ini,” kata Mama Imelda yang diangguki oleh Novi. oOo Kehamilan Novi menjadi kabar membahagiakan di tengah duka atas kecelakaan yang menimpa Reyhan. Papa Alfian begitu antusias dan tak sabar menantikan kehadiran cucu pertama di keluarga Permana. “Kapan cucu Papa akan lahir, Nov?” tanya Papa Alfian, memandang Novi. “Masih lama, Pa. Sekarang usia kandunganku baru jalan enam minggu,” terang Novi. Papa Alfian menghela napas, kecewa. “Kenapa masih lama? Papa sudah nggak sabar ingin menggendongnya.” “Bukan hanya Papa yang sudah nggak sabar ingin menggendongnya, tapi Mama juga, Pa,” timpal Mama Imelda, memandang sang suami. “Kita semua sudah nggak sabar menantikan kehadirannya, Pa, Ma. Doakan cucu kalian tumbuh dengan sehat di rahim aku, ya,” ujar Novi, memandang Papa Alfian dan Mama Imelda. “Pasti, Sayang. Kami akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu dan calon cucu kami,” kata Mama Imeld, tersenyum menatap Novi. Novi balas tersenyum. Dia bersyukur memiliki mertua sebaik Mama Imelda dan Papa Alfian. Sejak awal menikah dengan Reyhan, Mama Imelda dan Papa Alfian memperlakukan Novi dengan baik dan menyayanginya seperti anak mereka sendiri. oOo Sudah tiga hari berlalu. Namun, Reyhan masih belum sadarkan diri. Walau Dokter mengatakan kondisi Reyhan telah stabil, tapi Novi tak dapat menyembunyikan kekhawatiran di wajahnya. Dia berharap sang suami bisa segera bangun supaya mereka bisa berkumpul kembali bersama calon buah hati mereka. Novi duduk di sebelah ranjang pasien Reyhan. Tangannya menggenggam tangan Reyhan yang terasa dingin. “Kapan kamu bangun, Mas? Aku merindukanmu,” kata Novi dengan mata berkaca-kaca. Dia mencium punggung tangan Reyhan untuk menyalurkan perasaannya. Saat ini Novi hanya sendiri di ruang rawat Reyhan. Mama Imelda sedang pergi ke luar untuk membeli makan siang mereka berdua. Sejak Reyhan di rawat di rumah sakit, Novi tidak pernah pergi dari sisi sang suami. Semua kebutuhan dan keperluan Novi disiapkan oleh Mama Imelda dan Papa Alfian, termasuk pakaiannya yang dibawakan Mama Imelda dari rumah. Novi terkejut saat merasakan pergerakan tangan Reyhan dalam genggamannya. Dia memandang tangan itu untuk memastikan apa yang dirasakannya. Walau terasa lemah, tapi Novi bisa melihat tangan Reyhan bergerak. Novi terperangah. Dia memandang wajah Reyhan yang perlahan membuka matanya. “Mas, kamu sadar?” tanya Novi, dengan nada suara tak percaya. Reyhan mengerjapkan mata berkali-kali sebelum membuka mata dengan sempurna. Tak ada suara yang keluar dari mulut Reyhan. Sorot matanya menatap ke langit-langit kamar yang tampak asing untuknya. “Mas Reyhan,” panggil Novi dengan suara pelan. Dia tersenyum bahagia melihat Reyhan yang sudah sadar sekarang. Reyhan menoleh. Dia menatap Novi dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Mas, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Novi, menggenggam tangan Reyhan kembali. Reyhan menatap genggaman tangan Novi, lalu beralih menatap wajahnya. “Kamu siapa?” tanyanya dengan suara lemah. Novi membeku. Satu pertanyaan dari Reyhan berhasil memudarkan senyuman di wajah Novi. Dia tak menyangka Reyhan akan bertanya seperti itu kepadanya saat pertama kali terbangun. “M-mas, aku Novi,” ujar Novi, menyebutkan namanya sendiri. “Novi?” Reyhan mengernyitkan dahi. “Sepertinya aku nggak punya teman yang bernama Novi. Apa kita saling mengenal?” ujarnya dengan raut wajah bingung. “Mas ....” Novi tak sanggup berkata-kata. Bagaimana mungkin Reyhan tidak mengenalnya? Apa yang sebenarnya terjadi pada sang suami? Mengapa Reyhan sampai berkata seperti itu? Novi benar-benar bingung sekarang. oOo Dokter Bram sedang memeriksa kondisi Reyhan. Novi masih setia mendampinginya, begitu juga dengan Mama Imelda yang telah kembali ke kamar rawat Reyhan. Novi sudah menjelaskan kepada Dokter Bram dan Mama Imelda tentang kondisi Reyhan yang tidak mengenali dirinya saat terbangun tadi. “Apa ada keluhan yang Bapak rasakan?” tanya Dokter Bram, memandang Reyhan. “Kepala saya sakit, Dok,” jawab Reyhan, memegang bagian kepalanya yang terbalut perban. “Itu wajar karena Bapak mengalami luka yang cukup parah di bagian kepala. Setelah beberapa hari, rasa sakit itu akan berangsur menghilang,” jelas Dokter Bram. “Menurut Bapak, sekarang tanggal berapa?” tanyanya ingin tahu. Reyhan tampak berpikir. “Berapa hari saya tidak sadarkan diri, Dok?” tanyanya kemudian. “Tiga hari, Pak,” jawab Dokter Bram. “Kalau tiga hari telah berlalu, berarti sekarang tanggal 25 Oktober, Dok,” ujar Reyhan, memandang Dokter Bram. “Iya, benar,” sahut Dokter Bram, menganggukkan kepala membenarkan jawaban Reyhan. “Kalau begitu sekarang tahun berapa, Pak?” lanjutnya kembali bertanya. “Tahun 2015, Dok,” jawab Reyhan. Novi dan Mama Imelda terkejut mendengar jawaban yang terlontar dari mulut Reyhan, sementara Dokter Bram menggelengkan kepala lalu meminta suster yang berdiri di sampingnya untuk mencatat kondisi Reyhan. “Apa jawaban saya salah, Dok? Bukankah sekarang masih tahun 2015?” tanya Reyhan dengan raut wajah bingung. “Sekarang tahun 2020, Pak,” ujar Dokter Bram. “2020?” Reyhan tampak tak percaya mendengar ucapan Dokter Bram. “Iya, Pak. Sekarang sudah tahun 2020 bukan 2015,” terang Dokter Bram. “Apa yang sebenarnya terjadi pada anak saya, Dok? Mengapa dia mengatakan tahun ini sebagai tahun 2015?” tanya Mama Imelda, mendekati ranjang pasien Reyhan. Bukannya menjawab pertanyaan Mama Imelda, Dokter Bram justru kembali bertanya pada Reyhan. “Apa Bapak mengenal wanita ini?” tanyanya menunjuk Mama Imelda. Reyhan mengangguk. “Tentu saja, Dok. Beliau Mama saya,” jawab Reyhan, dengan raut wajah heran. “Lalu wanita yang ada di sebelah sana? Apa Bapak mengenalnya?” tanya Dokter Bram lagi. Kali ini Reyhan menggeleng. “Tidak, Dok. Dia bilang namanya Novi. Tapi saya merasa tidak mempunyai teman yang bernama Novi,” jawab Reyhan, memandang Novi. Mama Imelda membelalakkan mata tak percaya, sementara Novi meneteskan air mata mendengar jawaban Reyhan. Novi pikir Reyhan hanya bercanda saat mengatakan tidak mengenalnya. Namun, ternyata Reyhan benar-benar tidak mengenal Novi. “Apa Bapak mengingat kejadian yang terjadi sebelum kecelakaan? Apa yang Bapak lakukan sebelum kecelakaan itu terjadi?” tanya Dokter Bram, penasaran. Reyhan mengernyitkan dahi, tampak berpikir. Namun, setelah beberapa detik berlalu, dia menggelengkan kepala. “Tidak, Dok. Saya hanya mengingat ada sebuah truk yang melaju dengan kecepatan tinggi dan saya berusaha menghindarinya hingga menabrak pembatas jalan,” kata Reyhan, menjelaskan kejadian yang diingatnya sebelum terjadi kecelakaan. Dokter Bram mengangguk, mengerti. “Baiklah. Bapak tidak perlu memaksakan diri untuk mengingatnya. Lebih baik Bapak istirahat agar kondisi tubuh Bapak cepat pulih,” saran Dokter Bram. “Iya. Baik, Dok,” sahut Reyhan, menganggukkan kepala. Novi menatap Reyhan dengan linangan air mata. Hatinya terasa sakit mendengar ucapan Reyhan saat menjawab pertanyaan Dokter Bram. Reyhan bukan hanya melupakan Novi, tapi dia juga melupakan percakapan mereka di telepon pada malam sebelum kecelakaan itu terjadi. oOo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD