BAB 4

1305 Words
“Apa yang terjadi pada anak saya, Dok? Mengapa dia tidak mengenal istrinya sendiri dan mengatakan sekarang tahun 2015?” tanya Mama Imelda, memandang Dokter Bram. Setelah selesai memeriksa Reyhan, Mama Imelda dan Novi mengikuti Dokter Bram ke ruang kerjanya untuk menanyakan kondisi Reyhan yang terlihat aneh setelah sadarkan diri. “Secara fisik, kondisi Pak Reyhan sudah mulai membaik, Bu. Dia hanya perlu melakukan pemulihan selama beberapa hari di sini. Namun, sepertinya ada masalah pada ingatan Pak Reyhan. Dugaan sementara, dia mengalami amnesia karena cedera di kepala yang cukup parah,” jelas Dokter Bram, menyampaikan hipotesisnya. “Astaghfirullah.” Mama Imelda sangat terkejut, sementara Novi membekap mulut tak percaya mendengar informasi yang disampaikan Dokter Bram tentang kondisi Reyhan. “Untuk memastikannya, kami akan melakukan beberapa pemeriksaan pada Pak Reyhan, Bu. Tadi suster sudah mengambil sampel darah Pak Reyhan untuk dilakukan tes darah. Nanti kami juga akan melakukan MRI dan CT Scan untuk memastikan seberapa parah amnesia yang di derita Pak Reyhan,” terang Dokter Bram, memandang Mama Imelda dan Novi, bergantian. “Baik, Dok. Tolong lakukan yang terbaik untuk anak saya,” kata Mama Imelda, penuh harap. Dokter Bram, mengangguk. “Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Pak Reyhan, Bu.” “Terima kasih, Dok,” sahut Mama Imelda. “Untuk saat ini jangan paksa Pak Reyhan mengingat sesuatu, Bu. Biarkan kondisi Pak Reyhan tetap stabil hingga kita mengetahui hasil pemeriksaannya,” kata Dokter Bram, mengingatkan. “Baik, Dok,” sahut Mama Imelda dan Novi bersamaan. oOo Reyhan menoleh saat mendengar suara pintu kamar rawatnya di buka. Dia tersenyum melihat Mama Imelda berjalan memasuki kamar, sendirian. “Bagaimana kondisi kamu, Sayang?” tanya Mama Imelda, duduk di kursi sebelah ranjang pasien Reyhan. “Sudah jauh lebih baik, Ma,” jawab Reyhan, tersenyum menenangkan. “Apa yang dikatakan Dokter, Ma?” tanyanya penasaran. “Kamu akan melakukan beberapa pemeriksaan lagi untuk memastikan kondisi kesehatan kamu, Rey,” terang Mama Imelda. “Apa benar sekarang tahun 2020, Ma? Kenapa aku sama sekali nggak mengingatnya?” tanya Reyhan dengan raut wajah bingung. “Iya, Sayang, sekarang sudah tahun 2020,” sahut Mama Imelda. “Kata Dokter, kepala kamu mengalami cedera karena kecelakaan itu sehingga ada sebagian ingatan kamu yang terlupakan,” lanjutnya menjelaskan. “Jadi, aku mengalami amnesia, Ma?” tanya Reyhan, memastikan. “Dugaan sementara kamu mengalami amnesia, Rey, tapi kita belum bisa memastikannya sebelum melakukan pemeriksaan lebih lanjut,” jawab Mama Imelda. Reyhan menghela napas panjang. “Apa ingatan yang kulupa termasuk tentang wanita tadi, Ma?” tanyanya teringat pada sosok Novi yang berada di sampingnya saat ia sadarkan diri. Mama Imelda membeku. Dia menggenggam tangan Reyhan lalu tersenyum tipis ke arahnya. “Novi memang menjadi salah satu orang yang kamu lupakan, Rey. Tapi itu nggak masalah. Mama yakin kamu akan segera mengingatnya lagi. Yang penting sekarang kamu sudah sadar dan bisa segera pulih,” ucap Mama Imelda, menenangkan. Reyhan terdiam. Dia bisa melihat sorot kesedihan dari pancaran mata Mama Imelda yang berusaha ditutupinya. Reyhan tidak tahu sepenting apa ingatannya tentang Novi. Namun, melihat kesedihan Mama Imelda membuat ia penasaran akan sosok wanita itu. Reyhan berusaha menahan diri untuk tidak menanyakan lebih lanjut tentang Novi. “Papa ke mana, Ma? Aku belum melihatnya sejak tadi,” tanya Reyhan karena tidak melihat sosok Papanya di ruang rawat ini. “Papa masih di kantor, Sayang. Dia bilang akan segera datang ke sini setelah rapatnya selesai,” jawab Mama Imelda. “Kamu butuh sesuatu, Rey? Atau kamu mau makan?” tawarnya kemudian. Reyhan menggeleng. “Enggak, Ma. Aku mau istirahat saja. Tolong bangunkan aku kalau Papa datang ke sini, Ma,” ujarnya meminta. “Ya sudah, kamu istirahat saja. Mama akan membangunkanmu nanti,” kata Mama Imelda, menyanggupi. Reyhan mengangguk, lalu memejamkan mata. Dia membiarkan Mama Imelda menemani di sebelahnya. Reyhan memang belum sepenuhnya merasa baik. Tubuh Reyhan masih terasa sakit di beberapa bagian, begitu juga dengan kepalanya yang terasa nyut-nyutan sejak ia sadarkan diri. oOo Novi duduk di kursi depan ruang rawat Reyhan. Dia meminta Mama Imelda meninggalkannya sendirian di sini. Novi merasa tak sanggup untuk bertemu dengan Reyhan saat ini. Penjelasan Dokter membuat dunianya runtuh seketika. Bayangan momen indah yang terjadi saat Reyhan sadarkan diri kini sirna sudah. Reyhan telah melupakan Novi, begitu juga calon anak yang ada di dalam kandungannya. Novi tak tahu harus bersikap seperti apa kepada Reyhan sekarang. Dia juga bingung harus mengenalkan diri sebagai siapa. Cairan bening mengalir dari kedua sudut mata Novi. Kesedihannya selama beberapa hari terakhir ini sepertinya belum berakhir. Sekarang Novi harus menghadapi kenyataan kalau Reyhan mengalami amnesia. Novi menundukkan kepala, lalu menyangganya dengan kedua telapak tangan. Novi pikir semua ini hanya candaan Reyhan saja untuk mengerjai dirinya. Namun, melihat sorot mata kebingungan Reyhan saat melihatnya, membuat Novi sadar semua bukanlah candaan. Novi berharap ini hanya mimpi buruk belaka. Dia akan segera bangun dengan Reyhan yang tertidur di sampingnya sambil memeluk dirinya. “Novi.” Novi mendongak saat mendengar namanya dipanggil. Dia terlalu larut dengan kesedihan hingga tidak menyadari kehadiran seseorang di dekatnya. “Papa,” ucap Novi, memandang Papa mertuanya. “Kamu ngapain duduk sendirian di sini, Nov? Bukankah Reyhan sudah sadar? Kamu nggak menemaninya di dalam?” tanya Papa Alfian, berurutan. Novi kembali meneteskan air mata mendengar pertanyaan Papa Alfian. Namun, dia segera menghapusnya karena tidak ingin membuat Papa mertuanya khawatir. “Aku hanya ingin menenangkan diri sebentar, Pa,” jawab Novi. “Mas Reyhan sudah sadar, tapi dia nggak mengingatku, Pa. Kata Dokter, ada kemungkinan Mas Reyhan mengalami amnesia,” jelasnya tentang kondisi Reyhan saat ini. Papa Alfian terbelalak. “Amnesia?” tanyanya memastikan. Novi mengangguk, mengiakan. “Iya, Pa. Yang ada di ingatan Mas Reyhan sekarang tahun 2015.” “Astaghfirullah.” Papa Alfian mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Sorot matanya meredup mendengar kondisi Reyhan yang tidak baik-baik saja. “Kamu yang sabar, ya, Nak. Papa yakin Reyhan akan segera mendapatkan ingatannya kembali,” ujar Papa Alfian, menepuk bahu Novi untuk memberinya semangat. Dia memandang Novi dengan tatapan prihatin. “Iya, Pa,” sahut Novi, balas memandang Papa Alfian. “Doakan aku agar bisa melewati semua ujian ini, Pa,” lanjutnya berusaha tetap tegar di hadapan sang Papa mertua. “Tentu, Nak. Doa Papa selalu menyertaimu,” timpal Papa Alfian. “Makasih, Pa,” sahut Novi, tersenyum tipis. Papa Alfian mengangguk. “Ya sudah .... Papa masuk ke dalam dulu, ya. Papa mau melihat keadaan Reyhan,” lanjutnya berpamitan. “Iya, Pa,” sahut Novi, mengizinkan. Papa Alfian menepuk bahu Novi sekali lagi sebelum berbalik badan melangkahkan kaki memasuki kamar rawat Reyhan. Novi menghela napas panjang melihat kepergian Papa Alfian. Dia tahu Papa Alfian juga merasa sedih mendengar kondisi Reyhan saat ini. Reyhan merupakan anak tunggal di keluarga Permana. Selama ini dia menjadi anak kebanggaan Papa Alfian karena kesuksesannya dalam berbisnis di bidang kuliner. Reyhan berhasil membuktikan pada Papa Alfian bahwa dia bisa merintis usaha sendiri tanpa bantuan Papanya. Hingga saat ini Reyhan berhasil membangun lima restoran yang tersebar di Kota Jakarta dan dua restoran yang berada di Kota Bandung dan Surabaya. Keadaan Reyhan saat ini pasti membuat Papa Alfian sangat terpukul. Novi berharap Tuhan memberi mereka kekuatan untuk menghadapi ujian ini. oOo Mama Imelda menoleh saat mendengar pintu ruang rawat Reyhan terbuka. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman melihat Papa Alfian berjalan memasuki ruangan. “Papa.” Mama Imelda menyapa sang suami, lalu berhambur memeluknya. Papa Alfian membalas pelukan sang istri sambil mengusap punggungnya dengan lembut. Dia kemudian mencium kening Mama Imelda untuk memberikan ketenangan kepadanya. Mama Imelda menguraikan pelukan mereka. Dia menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca. “Pa, Reyhan—“ “Iya, Papa sudah tahu, Ma. Novi sudah menjelaskannya tadi,” kata Papa Alfian, memotong ucapan sang istri. Mama Imelda mengangguk, mengerti. “Reyhan akan baik-baik saja, kan, Pa? Dia akan segera mendapatkan ingatannya kembali?” tanya Mama Imelda, tak dapat menyembunyikan kekhawatiran di wajahnya. “Iya, Ma. Reyhan akan baik-baik saja. Papa yakin ingatannya akan segera kembali,” kata Papa Alfian, menenangkan. “Mama kasihan dengan Novi, Pa. Reyhan enggak mengingatnya,” ujar Mama Imelda, memberi tahu. Papa Alfian menghela napas panjang. Sorot matanya meredup mendengar informasi dari sang istri. “Papa juga merasa kasihan, Ma. Ini pasti sangat berat bagi Novi. Apalagi sekarang dia sedang hamil.” “Semoga Novi kuat melewati ujian ini, ya, Pa. Mama nggak mau terjadi sesuatu yang buruk pada janin yang sedang di kandung Novi,” ujar Mama Imelda, penuh harap. “Amiin,” sahut Papa Alfian, mengamini. oOo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD