bc

Us (Bahasa Indonesia)

book_age16+
781
FOLLOW
4.4K
READ
family
drama
sweet
bxg
campus
highschool
small town
first love
friendship
friends
like
intro-logo
Blurb

Bea adalah seorang novelis, yang frustrasi karena Elia, sahabatnya, selalu merecokinya tentang keanehan-keanehannya. Bahkan, Elia membuat daftar keanehan Bea. Bea tidak punya teman selain Elia, tidak pernah bersosialisasi, tidak berkencan, membenci masa lalu …

Di mana akhirnya, daftar-daftar keanehan Bea itu membuat Elia bertekad untuk membawa Bea pulang, ke rumahnya. Bagi Elia, tak ada tempat yang paling nyaman selain rumah. Namun bagi Bea, tidak ada tempat yang lebih mengerikan daripada rumah. Ketika Bea pulang, orang tuanya sangat terkejut. Bea pun tak kalah terkejut ketika melihat tamu orang tuanya.

Pria yang ditinggalkannya 8 tahun lalu, pria yang berusaha ia hindari dan lupakan selama 8 tahun terakhir, ada di sana, di depan orang tuanya. Radit, adalah sahabat Bea semasa SMP dan SMA. Dulu mereka sangat dekat. Sulit untuk menemukan Bea tanpa Radit, dan begitu pun sebaliknya. Namun, segalanya berubah 8 tahun lalu.

chap-preview
Free preview
-1- Step
When your life’s going hard All you need is just one; Holiday   “Tidak ada yang bisa membuatku lebih patah hati selain naskah yang ditolak,” erang Bea frustrasi seraya menenggelamkan kepalanya di bantal. Elia memutar bola mata mendengar pernyataan frustrasi sahabatnya itu. Sahabat yang sudah dikenalnya sejak kuliah itu benar-benar bisa sangat menyebalkan dan menyedihkan jika sudah berurusan dengan naskah novelnya. Sejak kurang lebih delapan tahun terakhir ini, Elia menjadi asisten pribadi, sekaligus sahabat Bea. Dan Elia, sudah sangat mengenal Bea yang sifatnya selalu berubah-ubah sesuai mood. “Mereka hanya meminta revisi, Be,” koreksi Elia, berusaha sesabar mungkin. Bea mengangkat kepalanya dari bantal untuk menatap Elia dengan kesal. “Aku tidak mengerti apa yang mereka inginkan. Bukankah aku sudah membuatnya sesuai dengan tema yang mereka minta, lalu aku sudah mengubah banyak adegan sesuai yang mereka inginkan, lalu sekarang …” “Be, itu hanya sebuah naskah, oke?” sela Elia. “Dan bukankah kau kemarin bilang bahwa dua naskahmu, salah satunya sudah ACC dan yang satu lagi sudah naik cetak? Lalu, apa masalahnya? Just revise it, then. Jangan membuat rumit masalahmu sendiri. Dan jika kau lupa, kuingatkan dua novelmu sedang dalam proses syuting untuk sinetron dan layar lebar. Oh, dan film yang diangkat dari novelmu selalu sukses, kan?” Bea mendesah berat. “Itu bukan hanya ‘sebuah naskah’, Elia. Aku membuatnya selama seminggu terakhir, tiga hari tanpa tidur, dan …” “Itu dia masalahnya,” Elia kembali memotong. “Kau menulis tidak dalam keadaan santai. Kau mengejar deadline. Memaksakan naskah itu jadi dalam waktu seminggu, membuat kau stres dan kurang tidur. Aku tidak heran jika mereka memintamu melakukan revisi berkali-kali. Aku bahkan akan maklum jika mereka menolaknya. Naskah itu pasti penuh dengan aura keputusasaan dan frustrasi.” Bea mengerang lagi sebelum kembali menenggelamkan kepalanya di bantal. “Aku hanya ingin naskah itu cepat selesai. Aku tidak terlalu suka dengan temanya.” Suaranya teredam bantal. Elia menghela napas berat seraya menghampiri Bea, lalu dengan kasar, dia menarik bantal yang dipakai Bea, membuat sahabatnya itu menjerit marah. “Kau ini … kenapa malah membuatku semakin kesal?!” amuk Bea. “Bea, listen! Kau tahu apa masalahmu? Kau mulai tidak menikmati pekerjaanmu. Selama dua tahun belakangan ini, aku merasa kau terlalu memaksakan diri dalam menulis, dan kebahagiaan yang selalu tampak ketika kau menulis sebelumnya, itu sudah hilang. Kau tidak lagi menikmati pekerjaanmu, pekerjaan yang kauakui sangat kaucintai itu. Dan, hanya ada satu solusi untuk itu,” ucap Elia tegas. Bea mendengus. “Jangan sok tahu. Aku baik-baik saja dengan duniaku,” sinisnya. Megabaikan kesinisan Bea, Elia melanjutkan, “Holiday. Pergi ke suatu tempat yang membuatmu merasa aman, nyaman, tidak perlu mengkhawatirkan apa pun di sekelilingmu. Tempat yang … hangat dan tidak memusuhimu …” Bea menerawang, membayangkan sebuah tempat yang sesuai dengan deskripsi Elia itu, tapi … “Memangnya ada tempat seperti itu? Dunia ini penuh dengan orang licik dan jahat yang selalu ingin menjatuhkan kita, Elia. Jangan berkhayal. Kita tidak sedang dalam dunia fantasi,” sengit Bea seraya melompat bangun dan berjalan ke meja kerjanya. “Ada,” ucap Elia mantap. Bea menoleh, mengangkat alis, tampak sangat meragukan. Elia tersenyum ketika melanjutkan, “Rumah.” Seketika, Bea membeku. Ia mendengus, lalu kembali menunduk di atas meja kerjanya untuk mengecek email dari laptopnya. “Kapan terakhir kali kau pulang ke rumahmu, Be?” tuntut Elia. Bea mendesah berat. “Aku lupa, Elia. Mungkin tahun lalu,” jawabnya cuek. Elia mengerutkan kening bingung. “Tapi … bukankah bulan lalu kau juga dari sana, ada talkshow di kota itu, kan?” “Aku tidak sempat mampir. Itu hanya sebentar, hanya sehari, aku bahkan tidak menginap. Dan setelah dari sana, aku harus langsung ke Surabaya,” ucap Bea tanpa menatap Elia. Elia ternganga tak percaya. “Dan selama setahun terakhir ini, bukankah kau sering pergi ke Surabaya?” “Iya, Surabaya. Bukan Madiun. Apa yang membuatmu berpikir bahwa setiap kali ke Surabaya aku akan pergi juga ke Madiun?” sinis Bea. Elia tampak terkejut, shock, lalu dia segera menyadarkan diri dan menghampiri Bea. “Malam ini bersiap-siaplah. Besok kita berangkat. Tepat sekali, long weekend. Aku akan memesan tiket untuk kita berdua. Sudah waktunya kau pulang, Bea,” ucapnya tanpa ragu. Bea langsung berbalik dan membelalak menatap Elia. “Apa kau gila? Untuk apa aku tiba-tiba pulang dan …” “Itu rumahmu, dan itu keluargamu! Astaga, Bea …. Aku tidak mengerti, apa yang ada dalam kepalamu itu sehingga kau tega melakukan ini pada orang tuamu.” Elia terdengar kecewa. “Look, aku tidak punya alasan untuk kembali ke kota itu. Ada terlalu banyak kenangan buruk di sana. Aku tidak mau …” “Beatrice,” Elia memotong kalimat Bea tajam. “Kurasa aku tahu apa yang hilang dari novel-novelmu selama dua tahun terakhir ini. Kau, entah sejak kapan, benar-benar telah kehilangan hatimu. Kau, entah sejak kapan, berubah menjadi manusia tak berhati.” Bea membeku mendengar pernyataan Elia itu. Ia ingin membantah, tapi entah kenapa, mulutnya tak sanggup mengeluarkan satu kata bantahan pun. Entah bagaimana, pikiran dan tubuhnya, seolah bekerja sama dan dengan licik mengkhianatinya dengan mendukung pernyataan Elia itu. ***  “Oh, lihat ini!” Elia terdengar begitu bersemangat begitu ia membaca kertas yang berisi daftar keanehan Bea, yang ditulis sendiri olehnya selama satu jam terakhir. Bea melirik Elia dengan malas, sebelum kembali melanjutkan acara membacanya. Dia harus menyelesaikan novel ini sebelum tengah malam. Karena ia harus tidur sebentar sebelum besok mulai membuat cerita baru. “Kau tidak berkencan, kau tidak punya teman dekat selain aku, semua temanmu ada karena formalitas, kau tidak bersosialisasi layaknya manusia normal, jam tidurmu tidak beraturan, jam kerjamu sama berantakannya, apartemenmu tidak pernah rapi, kau nyaris tidak meninggalkan kamarmu jika bukan untuk membahas naskah dengan penerbit, atau acara-acara yang berhubungan dengan novel, kau tidak pernah pulang ke rumahmu selama satu tahun terakhir, kau mudah marah, -oh, maaf, itu memang sejak dulu, kan?” Bea menatap Elia dengan kesal, tapi tidak berkomentar. “Kau tampak selalu takut pada masa lalu, kau tidak pernah mau bertemu atau berhubungan dengan teman-teman masa sekolahmu, dan itu kembali pada poin di mana kau tidak punya teman dekat selain aku, kau tidak punya buku harian untuk menumpahkan kepenatanmu, kau tidak pernah berlibur, kau …” “Cukup,” sela Bea tajam. “Baiklah, apa yang salah dengan itu?” Bea benar-benar kesal sekarang. “Kau tidak pernah makan dengan benar, jadwal makanmu sangat kacau, dan kau tidak peduli pada kesehatan tubuhmu,” Elia masih berani melanjutkan, sebelum kemudian meletakkan kertasnya dan mengangkat tangan. “Are you even still human, Be?” Bea menggeram kesal pada Elia. Jika tahu akan begini, Bea tidak akan mengeluh tentang penolakan, oh, lebih tepatnya, revisi naskahnya siang tadi. Dan setelah selesai memaksa Bea mengemas pakaian-pakaiannya untuk perjalanan mereka besok, Elia langsung sibuk dengan daftar keanehan Bea itu. “If I am a vampire, I would’ve killed you already,” geram Bea seraya menutup novelnya dengan kasar, lalu bangkit dari tempat tidurnya, meraih jaket, ponsel dan dompet. “Kau mau ke mana?” Elia menyusul Bea. “Penyegaran pikiran. Suaramu benar-benar sukses menghasilkan polusi dalam kepalaku,” sinis Bea. “Setidaknya, polusi di luar lebih aman dari polusi yang kau buat.” Elia tertawa kecil. Sepertinya hanya dirinya yang bisa membuat Bea punya cukup alasan untuk meninggalkan apartemennya, entah itu alasan baik ataupun buruk. “Aku ikut. Ayo kita beli oleh-oleh untuk orang tuamu,” ucapnya riang. Bea melirik Elia dengan ngeri ketika kemudian dia mendesah berat saat Elia melanjutkan, “Kurasa orang tuamu pasti akan senang, kan, jika putri tunggal mereka pulang?” Bea mencelos mendengarnya. Senang? ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Partner in Bed 21+ (Indonesia)

read
2.0M
bc

Romantic Ghost

read
162.5K
bc

Sexy game with the boss

read
1.1M
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.5K
bc

Sweet Sinner 21+

read
887.0K
bc

Perfect Marriage Partner

read
810.4K
bc

The Seed of Love : Cherry

read
112.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook