02

1483 Words
"MEMAJUKAN jadwal secara tiba-tiba?" Axel menelan ludah susah payah, dia tahu ayahnya pasti tidak akan setuju dengan ide yang diberikan Dante semalam. Namun, dia perlu membuktikan pada mereka kalau ia memang sehebat itu. Dengan begitu, Josh akan berhenti mengusiknya dan mulai mengusik sepupu mereka yang lain. Josh memang tipe pencari gara-gara, selama ini Axel memang mengabaikannya, tapi sepertinya telinganya sudah terlalu panas untuk mendengar ocehan sepupunya itu. "Sepertinya, perusahaan itu tidak tertolong lagi, Yah." Kellan menatap putranya dengan sebelah alis terangkat. "Kamu membuat kesepakatan dengan Dante dan Josh semalam, bukan? Apa ini ada kaitannya dengan perusahaan kecil itu?" Axel mengangguk. Kellan menghela napas panjang. "Baik, pergilah. Ayah akan mengurus AOC selama kamu pergi berbulan-bulan." Kellan menatap Axel tajam. "Jangan lama, tinggalkan kalau kamu memang tidak sanggup menghandlenya." Axel hanya mengangguk dalam diam dan pamit pergi untuk mempersiapkan barang yang akan ia bawa. Jika ditanya berapa lama, jelas ada berbulan-bulan waktu yang ia perlukan. Minimal tiga bulan dan maksimal satu tahun. Kalau sampai satu tahun tetap tidak ada perkembangan apa pun, Axel akan tetap menutupnya seperti rencana semula. Walaupun dia akan menjadi bulan-bulanan Josh nantinya, dia tidak bisa berbuat banyak. Kehilangan satu lini saja tidak lantas membuat perusahaan sebesar AOC gulung tikar. Apalagi, perusahaannya ditopang oleh rentetan bisnis lain yang sudah besar dan tengah dijalankan oleh sepupu-sepupunya yang lain. Seperti misal Dante yang memegang perbankan milik AOC. Perusahaan yang dijalankan Dante tetaplah milik Axel, tapi dia tidak akan mengakuinya begitu saja, karena Dante-lah yang bekerja keras membesarkan nama perbankan itu. Josh sendiri masih menjadi kepala divisi di lini AOC yang bergerak di bidang advertising di kota ini. Urusan laki-laki itu lebih sibuk, terutama saat ramainya iklan yang ingin ditayangkan dalam waktu dekat. Apalagi untuk proyek dua tahun ke depan, AOC berniat melebarkan sayap ke dunia perfilman juga. Axel sudah membayangkan akan menunjuk sepupu menyebalkannya sebagai pemimpin, tapi sepertinya dia akan berpikir dua kali setelah kejadian kemarin. Axel mendesah kasar, kepalanya mendongak, menatap langit-langit kamar. Meninggalkan rumah ini memang bukan kali pertama. Dia sering bepergian ke luar kota, karena pekerjaannya. Namun, pergi untuk menjadi bos yang cerewet benar-benar bisa membuatnya kehilangan sisi tenangnya selamanya. "Semoga darah gue nggak naik banyak-banyak setelah ini, Tuhan," doanya, sebelum menutup koper dan menyeretnya keluar kamar. *** Diusir dari rumah dan menjadi gelandangan. Celia menghela napas panjang sembari melirik lima lembar uang seratus ribuan hasil pesangon dari neneknya. Celia menggenggam uangnya erat-erat. Dia tidak kesal maupun marah. Toh, dia menganggap semuanya wajar, apalagi dia memang bukan anak kandung dari keluarga itu. Dia hanya anak angkat. Lalu, apa yang ia harapkan ketika kedua orang tua angkatnya telah meninggal dunia? Celia mulai berjalan di pinggir jalan sambil membawa koper besar. Inginnya, dia segera belok ke salah satu hotel, tapi biaya inap semalam di hotel jelas langsung membuat uang pesangonnya ludes begitu saja. Kalaupun mencari kontrakan, dia tidak tahu harus pergi ke arah mana. Jadi, dia luntang-lantung bak gelandangan sembari melirik sekitar. Kali saja dia melihat ada rumah kontrakan yang buka dan bisa dia tempati untuk sebulan ke depan—tentunya, kalau uang lima ratus ribunya ini cukup. Beberapa jam berlalu, Celia merasa lapar. Dia melihat restoran, tapi dia tidak berani masuk, karena uangnya akan habis kalau dia masuk ke sana. Dengan lemas, dia kembali berjalan lagi hingga ia melihat rumah makan yang cukup tenang dengan harga murah yang terpampang di spanduknya Dia segera berlari ke sana, tapi langkahnya begitu lemah sampai dia tidak sanggup membawa tubuhnya sendiri dan perutnya tiba-tiba terasa sakit sekali. Apakah penyakit magnya kambuh? Celia tidak bisa lagi melangkah, tubuhnya benar-benar payah. Dia menatap sekitarnya yang mulai buram dan tanpa sadar, Celia pun pingsan. *** Axel menghampiri mobilnya yang terparkir di parkiran rumah makan. Matanya membelalak begitu melihat tubuh seorang perempuan teronggok tepat di depan mobilnya. Di sampingnya ada koper besar yang terlihat mencurigakan. Axel melirik sekeliling. Tidak ada orang, tapi mungkin ada CCTV, kan? Lalu mengapa tidak ada yang datang untuk menolong perempuan ini? Axel mendengar suara-suara dari sekitarnya, cukup banyak, dan terdengar layaknya suara Josh yang suka sekali mencari gara-gara dengannya. Daripada dituduh yang bukan-bukan, Axel lebih baik membawanya pergi dari sana dengan segera. Axel pun mendekati perempuan itu, mengecek nadinya lebih dulu, masih normal, kemudian menggendongnya masuk ke mobil. Tak lupa dia membawa koper perempuan itu juga. Axel hanya punya satu tujuan untuk sekarang. Rumah sakit. Walaupun dia tidak berbuat salah, dia juga tidak mengenal siapa perempuan ini, tapi hati nuraninya terasa tercubit melihat perempuan itu pingsan di depan matanya dan tidak ada yang mau menolongnya. Axel tidak mungkin meninggalkannya begitu saja dan memilih pura-pura buta, kan? *** Celia membuka mata dan mendapati aroma obat-obatan di sekitarnya. Kepalanya masih pusing, perutnya juga makin melilit, dia terlihat lemah saat tatapannya terhenti pada seorang pria yang kini tengah menatapnya tanpa ekspresi. "Udah bangun?" tanya pria itu. Nada suaranya tenang, wajahnya datar, tatapannya dingin. Tidak ada yang menarik, bahkan cenderung membosankan. Satu-satunya yang membuat laki-laki itu menarik hanyalah ketampanannya yang berada di atas rata-rata. "Kenapa gue bisa sampai sini?" Celia mencoba bangun, sembari memegangi kepalanya, dia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi padanya. Pingsan. "Udah ingat?" tanya pria itu sekali lagi. Celia mengangguk. "Lo yang bawa gue ke sini? Makasih." Laki-laki itu menghela napas lega. "It's okay, cuma kebetulan aja lo pingsan di depan mobil gue." "Lo baik juga ternyata." Celia melirik kanan dan kirinya. "Lo nggak beli makanan apa-apa, ya? Gue laper." "Hm, dokter tadi juga bilang kalau lo kena mag, dari pagi belum makan, ya?" Celia hanya nyengir kuda. "Iya." Laki-laki itu menghela napasnya sekali lagi. "Lo bisa di sini sendiri? Atau ada orang lain yang bisa gue hubungi buat nungguin lo di sini? Atau lo mau gue anter balik ke rumah lo? Gue punya banyak urusan sekarang, kalau masalah biaya, gue udah bayar lunas semuanya." Celia terdiam, kepalanya menunduk dalam. Hanya dari sekali lihat, Celia tahu laki-laki itu anak orang kaya. Bahkan dia yakin, laki-laki itu pun sadar kalau Celia bukan berasal dari keluarga biasa saja. Celia tidak akan heran melihat seseorang bertanya tentang orang yang bisa dihubungi di saat-saat seperti ini. Apalagi mereka tidak saling kenal dan laki-laki itu sedang sibuk. Jelas dia tidak akan menunggui Celia di sini dan membuang-buang waktu berharganya untuk orang yang tidak dia kenal, bukan? Axel mengernyitkan dahi. Kenapa dengan perempuan itu? Dia hanya bertanya sesuatu yang berkaitan dengan orang terdekat yang bisa perempuan itu percayai untuk merawatnya saja. Melihat dari pakaiannya, Axel bisa menebak kalau perempuan itu orang kaya. Namun, dia berjalan-jalan sampai pingsan karena penyakit magnya kambuh dengan keadaan ia sedang membawa koper besar. Tunggu ... jangan bilang kalau .... "Gue nggak punya rumah, gue nggak punya keluarga, apalagi temen. Gue gelandangan sekarang, bahkan cuma buat makan, gue sampai kelupaan, dan penyakit gue kumat." "Jangan bercanda!" bentak Axel yang kaget bukan main. Dia tidak menyangka akan seperti ini kejadiannya. Perempuan itu mendongak, memperlihatkan wajah dengan linangan air mata. "Buat apa gue bercanda, kalau itu emang kenyataannya? Gue nggak punya keluarga, ayah angkat gue udah meninggal dunia, keluarga ayah angkat nggak ada yang mau nerima gue lagi, terus ngebuang gue, dan sekarang gue sebatang kara." Axel bisa melihat perempuan itu menelan ludah susah payah sebelum menundukkan kepalanya. "Gue cuma bawa lima ratus ribu. Boleh, nggak, untuk sementara waktu gue ikut numpang tinggal sama lo? Sampai gue punya kerjaan dan bisa hidup sendiri?" Dia kembali menatap Axel dengan wajah memohon. "Please, tolongin gue! Gue nggak tahu harus ngapain lagi sekarang!" Perempuan itu menangis dan Axel tidak tahu mengapa, dia merasa sangat tidak tega melihatnya menangis. Dia ingin menarik perempuan asing itu ke dalam dekapannya dan berkata, "Jangan menangis!" yang pastinya akan sangat menggelikan saat jomlo seumur hidup sepertinya berlaku sok manis pada perempuan asing tak dikenal. Apa ini yang dinamakan pesona air mata perempuan—yang katanya bisa membuat siapa pun merasa iba padanya? Sialan! Axel benar-benar tidak bisa menolaknya. Axel benar-benar luluh melihat air matanya. Menghela napas panjang, Axel pun menganggukkan kepala. "Gue baru mau pindah, kayaknya nggak masalah kalau gue nerima satu orang buat ikut tinggal sama gue buat sementara." Air mata berlinangan itu hilang berganti dengan sinar mata berbinar-binar. "Serius? Lo serius biarin gue tinggal sama lo?" Axel mengangguk. "Iya, gue serius." "Lo janji, nggak akan ngusir gue tiba-tiba, kan?" tanya perempuan itu terdengar sangat khawatir. Axel menggeleng. Apakah dia trauma karena diusir oleh keluarga angkatnya? Kasihan sekali. "Gue janji nggak akan ngusir lo. Lo boleh tenang sekarang." Perempuan itu bangkit dan lantas memeluk Axel dengan erat. "Uh, makasih! Gue terharu banget, ternyata masih ada cowok sebaik lo di dunia ini! Nama gue Celia, nama lo siapa?" "Axel, panggil aja gitu," balasnya, sembari berusaha melepaskan pelukan perempuan bernama Celia yang nyaris mencekik lehernya. "Makasih, ya, Axel, lo beneran baik banget jadi cowok!" Celia tersenyum manis, senyuman yang entah mengapa membuat pipi laki-laki itu memerah, dan membuatnya lantas memalingkan muka, sebelum Celia melihat reaksi yang terjadi dengan dirinya. Apa yang terjadi sama gue? batin Axel yang mulai kebingungan, karena ia merasa ketenangannya mulai runtuh secara perlahan-lahan. ____ Revisi 03-03-2021
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD