03

1187 Words
AXEL telah berjanji untuk membawa Celia tinggal bersamanya, dia tidak akan ingkar, karena seorang pria harus selalu memegang teguh kata-katanya. Dan ... Axel benar-benar membawa Celia ke apartemennya setelah membelikan perempuan itu bubur untuk sarapan, yang bisa dibilang sangat terlambat untuk menyebutnya sarapan. "Masuklah, anggap saja rumah sendiri, tapi sori kalau masih berantakan, gue juga baru pindah hari ini," ujarnya seraya menyeret kopernya sendiri. Celia mengekori di belakangnya dengan tatapan takjub saat menatap isi apartemennya. Dia bahkan langsung melepas pegangan tangannya pada kopernya dan menatap Axel dengan tatapan tidak percaya. "Lo rencananya mau tinggal di sini sendirian?" tanyanya kemudian. Axel mengangguk. "Iya, kalau lo nggak mau ikut gue tinggal di sini, gue bakal tinggal di sini sendiri." "Iya maulah! Gila aja kali, tempat semewah ini masa lo mau tinggalin sendiri?" Nadanya sangat tidak terima saat mengatakannya. Axel tersenyum tipis. Dia yakin, rumah Celia sebelum ini juga luas dan mewah, kalau dilihat dari pakaian Celia yang bukan berasal dari sembarang merek. Jelas-jelas pakaian dan koper yang perempuan itu bawa menunjukkan nominal harga fantastis saat perempuan itu membelinya. Mungkin Celia tidak tahu kalau Axel menyadari hal-hal seperti itu, tapi dia cukup banyak tahu, karena Bibi Sandra penggemar fashion, dia pun mendirikan butik yang lumayan ramai pengunjung. Namun, melihat Celia yang begitu takjub melihat apartemennya agak sedikit menggelitik pikirannya. Bagaimana kalau Celia melihat rumah yang selama ini ia tempati bersama ayahnya, ya? Mungkin, Axel akan tertawa lepas melihat ekspresi terkejut Celia saat melihat rumah yang luasnya hampir satu hektar hanya berisi dua orang pria yang tidak punya pasangan hidup. "By the way, kerjaan lo apa sih sampai bisa nyewa apartemen sekelas ini?" Celia menatap Axel dengan tatapan penasaran. "Harga sewanya nggak murah, kan?" "Gue nggak nyewa, apartemen ini emang punya gue." Axel berdeham singkat. "Dulu gue belinya sekitar lima ratus juta." "Lima ratus juta?" Celia menganga. "Sebanyak itu cuma buat beli satu unit doang? Gila lo, kalau gue dulu beli beginian pasti langsung dinyinyirin keluarga besar. Ngabisin duit, lah, apalah, akhir-akhirnya gue nggak akan dikasih uang jajan lagi dan mendadak jadi manusia miskin." Axel tersenyum tipis. Sekarang perempuan itu sudah diusir dari keluarganya. Dengan uang lima ratus ribu untuk biaya makan mungkin dia bisa bertahan paling tidak selama seminggu, itu pun dia harus mencari tempat murah untuk makan, belum lagi untuk biaya tempat tinggal, semuanya tidak cukup. Tidak salah Axel menolongnya. Karena membiarkan Celia luntang-lantung di jalanan pun yang ada dia hanya akan menjadi mayat sebelum mendapatkan pekerjaan normal atau bahkan mungkin tempat tinggal yang nyaman. Yang lebih mengerikannya lagi jika Celia ditemukan penjahat, diculik, diperkosa, lalu dijual ke rumah-rumah bordil untuk dijadikan pekerja seks komersial. Axel menepuk puncak kepala Celia dan berjalan melewatinya. "Gue harap lo bisa masak dan bantuin gue beres-beres apartemen ini setiap harinya." Axel menyeret kopernya menuju sebuah kamar yang dulu pernah ia tempati, meninggalkan Celia yang kini membatu di tempat ia berdiri. "Beres-beres? Masak?" Dia mengangakan mulutnya lebar-lebar. "Gimana caranya, hah?!" *** Untuk pertama kalinya Celia berhadapan dengan dapur. Axel duduk di atas meja pantri dan tengah meliriknya dari jauh. Beberapa saat lalu, laki-laki itu keluar sebentar dan kembali dengan membawa beberapa sayuran segar, tak lupa beberapa persediaan makanan untuk mereka selama seminggu ke depan, kemudian ia menyuruh Celia untuk memasak makan malam. Celia menelan ludah. Dia menatap wortel di hadapannya seperti tengah menatap alien yang benar-benar asing di matanya. Perempuan itu mengambil pisau, dia mengayunkannya tinggi-tinggi dan langsung menghantamkannya ke wortel itu berkali-kali tanpa belas kasih sama sekali. Axel melotot melihat kejadian pembantaian wortel di hadapannya terjadi. Dicincang tanpa dicuci bahkan dikupas lebih dulu. Ah, s**t! Jangan bilang perempuan itu tidak bisa masak? "Wait!" tahan Axel begitu Celia ingin mengulangi gerakannya lagi. "Lo nggak bisa masak?" tanyanya langsung. Celia nyengir. "Nggak." "Terus kenapa diam aja?" Celia diam, dia melirik dapur, lalu menggeleng. "Gue malu, tapi gue bener-bener nggak tahu apa-apa soal masak-memasak, gue nyerah. Gue nggak ngerti gimana cara masak apa pun, ya, ampun! Gue beneran cewek atau enggak, sih, kenapa gue nggak bisa masak sama sekali?!" Tubuh Axel rasanya lemah sekali sekarang. Untungnya dia belum bertemu pegawai kantornya hari ini, kalau tidak dia pasti sudah hipertensi, dan mulai berpikir untuk melahap Celia sebagai makan malamnya kali ini. "Siniin pisaunya," pintanya yang disambut dengan gerakan mundur dan tatapan waspada dari Celia. Jangan-jangan Axel mau memutilasinya? Pikir wanita itu ketakutan. "Lo nggak mau motong-motong gue, kan, Xel?" Axel mendelik. "Gue orangnya kalem. Lo tenang aja, gue nggak akan motong-motong tubuh lo, kecuali lo bikin gara-gara lagi sama gue setelah inu. Kalau sampai hal itu terjadi, jangan kaget kalau lo tiba-tiba gue jadiin bahan makanan buat sarapan besok pagi." Celia meletakkan pisaunya di sebelah kompor sebelum lari terbirit-b***t, karena Axel terus memperkecil jarak di antara mereka. Axel menghela napas kasar. Untungnya dia bisa memasak, kalau tidak ... akan ada banyak uang yang akan dia keluarkan untuk mereka berdua. Bibir laki-laki itu rasanya berkedut-kedut. "Dasar cewek nggak berguna!" *** Axel mengetuk pintu kamar Celia setelah ia selesai memasak, memanggil perempuan itu untuk makan malam, sebelum penyakit magnya kambuh dan makin menyusahkan Axel saja nantinya. Memang obat dari dokter masih ada, tapi itu bukan alasan yang membenarkan Axel untuk membuat Celia kelaparan, kan? "Celia?" panggilnya sembari mengetuk pintu berulang kali. Ini beneran kamarnya, kan? batinnya bertanya-tanya. Kamar di apartemennya cukup banyak, bisa saja perempuan itu pindah tempat, tapi setahunya tempat ini yang paling nyaman digunakan dari kamar-kamar lain, karena dulu sahabatnya pernah menginap di kamar itu. Celia membuka pintu dengan wajah memerah yang mencurigakan. Axel mengernyit. "Kenapa?" "Lo nggak marah, kan?" Axel mendengkus. "Keluar dulu, makan, jangan sampai mag lo kambuh." Axel membuka pintu dengan paksa, penampilan kamar berantakan nyaris seperti kapal pecah, membuat Axel menderita sakit jantung mendadak. "Lo apain kamar lo?" tanyanya, sembari memegangi dadanya yang terasa sesak. "Gue lagi beres-beres, tapi bingung." Celia menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. "Maaf, nanti gue beresin, deh, serius! Gue nggak mau repotin lo, lagi!" Celia membungkuk-bungkuk memohon maaf dan saat itulah Axel baru sadar kalau Celia memakai kaus longgar yang membuat belahan dadanya terlihat dari atas jika dia menunduk. Dipadukan dengan hot pants sepaha berwarna putih dan membuatnya terlihat ... seksi. Sial! Axel membalik tubuhnya dengan cepat sebelum otak kotornya bekerja dan membuatnya melahap Celia dalam konteks yang negatif. "Lo makan dulu di dapur, gue mau mandi dulu." Celia mengangkat wajah, kepalanya maju beberapa senti, dan ia mendapati wajah Axel yang memerah. Dia pun memajukan tubuhnya hingga berdiri di depan Axel sekarang. "Lo sakit, Xel?" Tanpa izin, dia mendaratkan tangannya ke kening Axel. "Panas, lo beneran sakit?" Axel melengos. "Gue nggak sakit." "Terus, kenapa muka lo merah gitu? Jidat lo juga panas. Kalau emang sakit, jangan malu-malu gitu sama gue. Walaupun nggak berguna begini, gue masih bisa ngerawat lo, kok!" Axel tak menjawab, dia berbalik saja dan pergi dari sana. Kenapa Celia bertindak seperti gadis polos yang tidak mengerti apa-apa? Apa dia tidak sadar, pakaiannya yang seksi itu bisa membuat laki-laki normal seperti Axel kelabakan? Ah, sial! Sepertinya, benteng pertahanannya yang biasanya tinggi dan kokoh mulai melemah sekarang. ____ Revised 3/3/2021
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD