Negosiasi

2127 Words
“BRAAAk!” Kirana menutup kasar pintu kamar, menguncinya lalu berjalan mondar-mandir di sisi tempat tidur dengan kedua tangan yang saling meremas. “Bisa-bisanya Pak Danu mau jodohin gue sama duda,” gerutunya dengan wajah yang terasa panas dan nafas memburu. Bibir ranumnya komat-kamit, menggumam, menggerutu tak jelas. Lelah, akhirnya dia memilih berbaring, menarik selimut tebal hingga menutupi kepala. Kirana memejamkan mata berharap agar terlelap. Namun, otaknya malah menerka-nerka sosok duda yang akan dijodohkan dengannya. Diturunkannya selimut hingga sebatas d**a. Matanya menatap lurus ke arah langit-langit kamar. Botak, berkumis tebal, gemuk dan berperut buncit, itulah gambaran duda yang terlintas di pikiran Kirana persis seperti pria yang beberapa minggu lalu mengajak Monik berkenalan. "ARGGGGGHHHH! GUE NGGAK MAU!" jerit Kirana seraya menendang-nendangkan kakinya hingga selimut lavender itu jatuh ke lantai. Dia bangkit dan duduk bersila. Rambut gadis itu sudah berantakan akibat dijambaknya sendiri. "Gue nggak mau nikah sama duda bangkotan!" Kirana melempar bantal dan guling serampangan, suaranya tercekat karena menahan tangis. Napas gadis yang mengenakan kaos V-neck dipadu dengan celana joger selutut itu terengah-engah. Ia turun dari ranjang, berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan yang saling meremas dan sesekali menggigit telunjuknya. "Nggak, gue nggak mau nikah muda," ujarnya, menggeleng kuat. Ia berhenti, mendongak dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Ya Tuhan, masa gue tulang rusuknya om-om tua, sih?" Kirana kembali duduk di tepi ranjang, menendang-nendang bantal yang berserakan di lantai sambil berujar dengan kesal, "Gue kan maunya jadi tulang rusuknya Bright Vachirawit atau Rhys Matthew Bond. hiks ….” "Kalau memang harus om-om, paling nggak kayak Sean Altemose atau Nick Bateman. Kalau tua banget, ya … sekelas Theo James lah, kan nggak rugi." Lagi, dengan sedikit terbata karena harus menyusut cairan yang meleleh dari hidung, Kirana menyebutkan nama-nama pria tampan yang biasa menjadi visual pemeran pria dalam novel yang ditulisnya. Kirana yang didera perasaan gelisah kembali berdiri. Tiba-tiba saja kemampuan berimajinasinya bekerja tanpa diminta. Sekelebat bayangan saat dia menikah dengan duda pilihan papanya melintas di depan mata. Tidak ada make-up, rambut di cepol asal lengkap dengan daster yang basah karena keringat. Aroma parfum berganti jadi aroma bawang atau yang lebih parah jadi aroma minyak gosok. Oh, My God! Lalu, Adegan saat ia harus mengurus anak remaja pria itu, memasak, membersihkan rumah, dan saat malam tiba dia harus …. "AAAAA … GUE NGGAK MAU!" Teriakan histeris Kirana menggelegar. Kirana duduk di kursi meja rias. Menatap pantulannya pada cermin berbentuk oval yang bingkainya dihiasi lampu. Wajah kesalnya berubah menjadi panik. Dia tidak mau masa mudanya terbuang sia-sia. Banyak pertanyaan yang bersarang di kepalanya. Bagaimana kalau om-om itu beneran gendut, perutnya buncit seperti sugar daddy yang biasa ia lihat di klub-klub malam? Bagaimana kalau om itu jelek, item terus brewokan? Bagaimana kalau om itu suka jajan seperti om-nya Laura? Bagaimana kalau om itu punya penyakit parah, terus meninggal? Demi Tuhan, Kirana belum siap jadi janda muda. Gadis itu mencak-mencak sambil mengacak rambutnya frustasi. "Papa nggak ada akhlak! Masa anak cantiknya mau di jodohin sama pria uzur.” Kirana meletakkan Wajahnya di antara lipatan tangan yang bertumpu di atas meja. Kirana menangis. Tidak pernah menyangka kalau jalan hidupnya akan seperti ini. Sebelah tangan Kirana meraba-raba meja rias mencari keberadaan ponsel yang sedang berdering. "Astaga, Ki!" Pekik ketiga sahabatnya sesaat setelah Kirana menerima panggilan video dari Monik. Layar ponselnya menampilkan empat wajah gadis yang sudah berteman sejak awal masuk kuliah. "Habis diperkosa siapa lo, Ki?" sarkas Monik si Mulut bon cabe. Wajar jika gadis Toraja itu berkata demikian. Pasalnya, penampilan Kirana jauh dari kata baik, tetapi sangat dekat dengan kata berantakan. Rambut acak-acakan, mata sembab, hidung merah, dan wajah kuyu. Bangke si Monik. "Si Monik mulutnya kaya kentut. Nggak liat sikon, asal bunyi aja," cibir Laura dengan wajah ketusnya. Sifat dan wajah gadis ini memang tidak sinkron. Sifatnya lembut, tetapi wajahnya judes. Orang sering salah paham karena itu. "Kirana kenapa? Dimarahin om Danu, ya?" Kali ini Febi yang bertanya dengan polosnya. "Lebih parah dari itu, Bi," jawab Kirana lirih. "Bener kan, Ra. Sesuatu yang buruk bakal terjadi kalau gue pulang." Laura teringat akan percakapannya dengan Kirana sebelum gadis itu pulang kampung. Mimik ketiga sahabat Kirana berubah menjadi khawatir. Bahkan, mata Febi sudah berkaca-kaca. "Apa yang terjadi, Ki? Lo nggak papa, kan?" berondong Monik tak sabar. Kirana bukan tipe gadis yang cengeng. Jika dia sampai menangis artinya ada masalah besar yang sedang dihadapi. "Gue … gue dijodohin,” jawab Kirana setengah berbisik "Hah!" Ketiga sahabatnya kompak memekik tak percaya. "Sama duda beranak dua," sambung Kirana, sedih. Ketiga temannya terdiam, hanya suara isakkan Kirana yang terdengar. Namun, detik berikutnya tawa mereka meledak. Febi yang sempat menitikkan air mata juga ikut terbahak. “Becanda lo nggak lucu, Ki,” ujar Laura. "Hahaha … Lagi meragain adegan novel terbarunya, nih,” timpal Monik sambil terbahak. “Mau jadi artis, lo? Nggak cocok!" "Harusnya kan Laura yang berpotensi dijodohin. Kenapa jadi lo, sih?" Febi berkata disela tawanya yang seperti hantu berdaster putih. Kirana berdecak kesal, lalu memekik, "Gue serius, Sinting!" Tawa mereka berhenti. "Beneran?" tanya ketiga gadis yang kini berada di kota yang berbeda itu secara bersamaan. Anggukan Kirana kembali mengundang tawa Laura. "Punya mantan cakep-cakep, eh dapatnya duda. Sial banget nasib lo, Ki." ejeknya. "Eh … eh … coba lo pada bayangin. Gimana penampilan Kirana kalau beneran nikah sama om duda beranak dua?" tanya Monik mengajak sahabatnya berimajinasi. "Lo bakalan kaya lagu 'Mendung Tanpo Udan', dong, Ki!" celetuk Febi penuh semangat. "Aku moco koran sarungan, kowe belonjo dasteran." Ketiga di seberang sana kompak menyanyikan sebait lirik dari lagu jawa yang sedang hits, sambil bergoyang. Kemudian mereka kembali tertawa. Berbeda dengan Kirana yang sudah memasang wajah kesal melihat kelakuan sahabatnya. "Dasar teman laknat," gerutunya, lalu menggumamkan sumpah serapah. "Bukannya bantuin cari solusi, malah ngetawain. Jadi teman, tuh, yang solutip, dong!" Kirana mengomel. Dia sudah berpindah tempat, tengkurap di atas tempat tidur yang kondisinya sama dengan penampilannya, berantakan. Tawa ketiga dara itu mereda, walau masih terdengar kikikan kecil. "Sumpah, Ki, gue nggak bisa bayangin kalau lo beneran nikah sama duda beranak dua." Suara Monik bergetar karena menahan tawa. "Dasteran, pake roll rambut, terus nyamperin tukang sayur keliling." "Jangan lupa, Mon, koyo di pelipisnya," timpal Laura, semakin membuat mereka terbahak. "Palanya pening gara-gara nggak bisa clubbing." "Berantem, yuk!" Tantang Kirana seraya menggulung lengan kaosnya hingga ke bahu. Bukannya berhenti, ketiganya malah semakin terbahak. Kirana mengembuskan nafas lelah. "Apa gue kabur aja, ya?" Tatapan Kirana fokus ke wajah gadis hitam manis berambut ikal. "Mon, gue kabur ke kampung lo aja, ya," pintanya dengan wajah memelas. "Big no!" Monik menggeleng tegas dengan jari telunjuk yang bergerak kiri-kanan. "Gue nggak minat nginap di hotel prodeo, ya, Ki." Kirana beralih menatap Laura. Baru saja akan membuka mulut, Laura sudah menyela tegas, "Nggak!" "Sama. Gue juga!" timpal Febi. "Takut sama Mas Bima." Bahu Kirana merosot bersamaan dengan helaan nafas besar. "Terus gue harus gimana, dong?" tanyanya putus asa. "Belum liat penampakan om-nya, kan?" Pertanyaan dari Laura ditanggapi Kirana dengan anggukan malas. "Ya, udah … ketemuan aja dulu. Kali aja nasib lo se-hoki nyokap lo. Dapat jodoh duren sawit." Danu berstatus duda cerai mati saat menikah dengan Astika. Bima adalah anak Danu dengan mendiang istri pertamanya. Febi dan Monik mengangguk, menyetujui pendapat gadis berkulit seputih s**u itu. "Walaupun tua, kalau good looking, kan, lumayan. Nggak malu-maluin kalo dibawa kondangan," kata Febi berusaha membesarkan hati Kirana. "Saran gue … setelah malam pertama nanti, lo jangan lupa minum air kelapa muda, Ki." Saran dari Monik membuat wajah ketiga gadis lainnya berubah cengo. Dahi yang berlipat dan mulut sedikit terbuka. Menyiratkan kata ’hah?’ tanpa suara. "Maksud lo?" tanya Laura mewakili kebingungan mereka. "Ya … kali aja lo keracunan santan yang udah expired." Jawaban bernada santai, tetapi sarat akan ejekan. Hal tersebut berhasil membuat Laura dan Febi kembali terpingkal. Bahkan, Laura sempat menghilang dari layar. Gadis itu pasti terbaring sambil memegangi perutnya, kebiasaannya ketika tertawa. Melihat itu, Kirana semakin kesal dan langsung mematikan sambungan seraya mengumpat. Kirana menghempaskan tubuhnya di kasur, terlentang, menatap langit-langit kamarnya. "Expired, apaan? Mereka pikir calon laki gue setua aki-aki," gumamnya kesal. Calon laki. Dia langsung menampar pelan bibirnya ketika menyadari apa yang dia ucapkan. *** Suasana rumah keluarga Nugraha beberapa hari ini sangat berbeda. Terasa sepi, padahal jumlah penghuninya bertambah empat orang. Seperti malam ini. Makan malam yang hening, hanya suara dentingan sendok yang terdengar. Sejak kejadian beberapa hari lalu, Kirana berubah menjadi sosok yang pendiam, dia juga lebih suka mengurung diri di kamar. Bukan itu saja, gadis itu kehilangan nafsu makan. Padahal Astika selalu menyajikan makanan kesukaannya. "Aku selesai," kata Kirana setelah meletakkan gelas yang isinya sudah tandas, lalu beranjak dari kursinya. Lambung gadis itu hanya terisi lima suap nasi. "Tunggu papa di ruang keluarga!" Perintah Danu menahan sejenak langkah Kirana yang ingin meninggalkan ruang makan. Kirana tidak menjawab. Gadis itu langsung melangkah menaiki tangga menuju tempat yang disebutkan papanya. "Pa, tolong pikirkan lagi keputusan papa," ujar Bima setelah adiknya tak terlihat lagi. "Ini yang terbaik, Bim. Papa ndak mau Kirana semakin terjerumus. Selama ini masih aman, tapi siapa yang bisa menjamin besok." "Nggak ada calon yang lebih muda? Selisih umur mereka terlalu jauh, Pa. Empat belas tahun." "Selisih umur Papa sama mama juga segitu." Bima memilih untuk berhenti mendebat. Terus terang saja ia sangat khawatir dengan adiknya. Ini terlalu mendadak. Bahkan, Bima tidak sempat berkenalan untuk menilai baik tidaknya pria pilihan sang papa. *** Seluruh keluarga inti sudah berkumpul di ruang keluarga, ruangan yang berada di lantai dua tepat di sisi kanan tangga. Nuansa Hitam putih masih mendominasi ruangan tersebut. Semua anggota keluarga sudah duduk di sofa berbahan kulit yang ditata membentuk huruf U. Danu duduk di sofa yang menghadap ke televisi, Bima dan istri duduk berdampingan di sisi kiri, sedangkan di kanan Kirana dan Astika. "Besok malam keluarga Prawira akan datang untuk membahas kelanjutan perjodohan," kata Danu menatap Kirana. "Pa, aku aja belum kenal sama om Satya." Kirana protes. Bagaimana mungkin pernikahan akan diselenggarakan bulan depan, sedangkan dia saja belum mengenal calon suaminya. "Mas Satya, Dek. Bukan Om." Astika mengoreksi. Kirana merotasi bola matanya malas. "Mas … Mas … kalau tua, ya, tua aja," gerutu Kirana lirih. Namun, masih bisa didengar mamanya. Astika hanya menggeleng. Dia tahu putri cantiknya pasti belum bisa menerima keputusan sang kepala keluarga. "Dalam waktu satu bulan kalian bisa saling mengenal, Ki," ujar Danu. Sedangkan Bima dan istrinya hanya diam. Dia sudah kehabisan cara untuk mencegah perjodohan ini. Entah apa yang dipikirkan papanya hingga tega menjodohkan Kirana dengan pria yang bahkan lebih tua dua tahun darinya. "Pah … batalin perjodohannya, ya!" Kirana memelas dengan mata yang berkaca-kaca. Dia sudah berpindah tempat duduk di samping papanya. "Aku janji nggak akan clubbing lagi. Aku bakalan jadi anak baik. Batalin, ya, Pah." Gadis itu mencoba bernegosiasi. Dia menggenggam tangan dan menatap Danu penuh permohonan. "Kamu sudah terlalu sering ingkar janji, Ki," kata Danu setelah mengembuskan nafas lelah. "Selama ini, papa coba maklumin, tapi kamu semakin menjadi. Lihat …," Danu menyibak rambut Kirana, memperlihatkan telinga kiri gadis itu yang memiliki beberapa tindikan. "telinga kamu penuh sama tindikan, lama-lama kamu bakalan nyoba nato badan kamu." "Itu nggak mungkin, Pah. Aku ngg—" "Sekarang bilang ndak, siapa yang tau kedepannya. Dulu kamu juga bilang begitu, Ki," sela Danu. Dulu Kirana juga berkata seperti itu saat orang tuanya mewanti-wanti agar dia tidak menyentuh minuman beralkohol dan menambah tindikan. Danu meraih bahu Kirana, mendekap hangat sang anak gadis. Tangannya bergerak membelai lembut rambut putri kesayangannya itu. Rasanya sudah sangat lama dia tidak melakukan ini pada Selain karena kesibukan masing-masing, mereka juga lebih sering berdebat jika bertemu. "Kamu ndak tau gimana khawatirnya kami setiap malam memikirkan kamu yang suka ke diskotik. Selama kamu kenal tempat itu, mama kamu ndak pernah tidur nyenyak setiap kamu ndak bisa dihubungi. Mungkin selama ini kamu bisa jaga diri. Tapi gimana besok-besok. Bisa aja, kan, ada orang jahat yang nyekokin kamu narkoba atau masukin Potenz*l di minumanmu. Papa sudah pernah bilang 'kan kalau obat itu tidak berwarna, berasa, dan berbau saat dicampurkan ke dalam makanan atau minuman, tapi efeknya bisa bikin kamu hilang kendali. Papa dan masmu ini dokter, kami sudah sering melihat korban pemerkosaan, yang sebelumnya dibuat mabuk sama pelaku. Ndak ada yang berakhir dengan kondisi psikis baik. Kalaupun ada, mereka akan memilih aborsi ilegal jika hamil. Padahal tindakan itu banyak dampaknya, salah satunya Infertilitas atau kemandulan. Kita hidup di negara yang menjadikan anak sebagai tujuan utama pernikahan. Wanita yang ndak bisa hamil dianggap ndak berguna. Kamu lihat, kan, ada beberapa public figure yang dibully gara-gara menganut paham child free? Kami cuma mau yang terbaik buat kamu, Ki. Kami ndak mau putri kesayangan kami sampai salah jalan." Danu memaparkan kekhawatiran mereka selama ini dengan lembut. Kirana merasa seperti ada yang menyentil nuraninya. Ia tidak pernah tahu jika orang tuanya se-khawatir itu. Rasa penyesalan mulai merambati hati gadis yang masih menunduk dengan airmata yang terus menetes. Sepertinya kali ini dia harus menjadi anak baik dengan menuruti keputusan orang tuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD