Hal Tak Terduga

1720 Words
High waisted jogger pants berwarna hijau army dipadu dengan t-shirt putih, serta tote bag dan sneakers putih melengkapi penampilan gadis yang baru saja menginjakkan kaki di Bandara Internasional Juanda. Ya, Kirana memilih menuruti titah papanya untuk pulang kampung daripada dijemput paksa oleh sang kakak, Bimantara Nugraha. Bima sangat menyayangi Kirana, tetapi tidak pernah menunjukkannya secara gamblang. Cukup orang tua mereka saja yang memanjakan gadis itu. Ia harus bersikap tegas agar adiknya tidak merasa di atas angin dan menyepelekan aturan. Bima bahkan pernah menyeret Kirana keluar dari klub malam, saat gadis itu masih duduk di kelas dua belas. Saat itu, dia yang baru enam bulan di mutasi ke Bandung, datang ke Jakarta untuk mengunjungi sang adik. Namun, saat sampai di rumah Kirana tidak ada. Bima mengetahui keberadaan sang adik saat melihat sebuah video singkat yang diunggah Monik. Sejak pindah ke Bandung, pria berkacamata itu sengaja membuat akun anonim untuk mengawasi adiknya. "Lama banget, sih, Mah. Aku sampe lumutan, nih," rajuk Kirana saat melihat sang Mama berjalan ke arahnya. Ia tidak suka menunggu. "Ya ampun, cuma telat sepuluh menit, Dek." ujar Astika sambil mengikis jarak yang masih tersisa dua meter. Kirana mencium punggung tangan Astika, lalu memeluknya. "Maaf, ya. Tadi Mama ke Rumah Sakit dulu." Dua laki-laki di keluarga Kirana berprofesi sebagai dokter. Papanya Dokter Kandungan dan kakaknya merupakan spesialis bedah. Astika mengurai pelukan mereka, lalu mencium pipi putrinya yang sedikit digembungkan karena kesal. Kirana berdecak. "Pak Danu masih aja minta diantarin makan siang. Kayak di rumah sakit nggak ada kantin aja." Sejak dulu hingga sekarang, papahnya selalu membawa bekal untuk makan siang. Mungkin karena kebiasaan saat orang tuanya masih hidup pas-pasan. "Bentar lagi kamu bakal rasain, gimana senengnya kalau suami suka sama masakan kita," ujar Astika tersenyum. "Apaan, sih, Mah. Aku masih muda, belum mau nikah." Astika tersenyum sambil mengangkat bahunya acuh. *** Setelah menempuh perjalanan selama hampir dua jam, Kirana sampai di kota Malang, kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya. Kota yang terkenal sebagai kota wisata karena kondisi alamnya yang menawan. Kirana merasa heran saat mobil yang dikendarai Astika memasuki kawasan perumahan elit. Seingatnya rumah orangtuanya bukan di daerah ini, tetapi di daerah Dinoyo. Kirana bertambah bingung saat mobil mereka berhenti di sebuah rumah tiga lantai yang didominasi warna putih dan hitam. "Mah, seingat aku rumah kita bukan di sini, deh." Kirana memperhatikan Astika yang sudah melepas sabuk pengamannya. "Makanya sering-sering pulang ke Malang," sarkas Astika. Di tahun terakhir kuliahnya, Kirana memang tidak pernah pulang ke kampung halaman sang papa. Hanya orang tuanya yang rutin mengunjunginya sebulan sekali. Sedangkan rumah ini baru Astika dan Danu tempati selama enam bulan terakhir. Wajar saja jika gadis berambut coklat itu tidak tahu. Masih dalam keadaan bingung, Kirana memilih keluar dari mobil mengikuti mamanya. "Pak Min, tolong keluarin kopernya anak manja ini," pinta Astika pada salah satu pekerja di rumahnya. "Rumah ini papa beli tahun lalu, tapi baru ditempati enam bulan ini," papar Astika sambil menapaki tangga. Lantai dasar digunakan sebagai garasi. Mata gadis itu mengitari sekeliling. Ada beberapa tanaman bonsai yang ditanam di depan rumah. Di seberang, terdapat hamparan rumput hijau dan beberapa jenis bunga, membuat suasana terasa asri. Terdapat sebuah kolam ikan koi berbentuk leter L, dari sisi kanan rumah hingga melintas di bawah jembatan kecil sebelum pintu utama. Kirana dibuat kagum dengan desain rumah baru orang tuanya. Saat pintu utama terbuka, terdapat ruang tamu yang tidak terlalu luas dengan sofa kulit berwarna hitam, dinding sisi kanan terbuat dari kaca bening yang memperlihatkan tempat bersantai beserta kolam ikan koi. Masuk lebih dalam ada ruang tengah yang menyatu dengan dapur bersih, di sebelah kirinya ada sliding door menuju balkon. Di lantai ini hanya ada kamar pembantu yang letaknya tak jauh dari tangga. Kirana langsung duduk di sofa berwarna abu-abu di ruang tengah. Matanya terus mengamati detail ruangan ini. Seperti rumah lama mereka, rumah ini juga tidak banyak pernak-pernik dan perabotan. Astika tipe ibu rumah tangga yang tidak suka menempatkan banyak perabotan atau pernak-pernik, apalagi hanya sekadar mengikuti tren. Wanita berambut bob itu hanya mengisi rumahnya dengan perabotan yang diperlukan saja. "Ini toh yang namanya Mba Kirana?" tanya wanita bertubuh gemuk, yang usia lebih dari 50 tahun. Dengan membawa nampan berisi segelas jus sirsak kesukaan Kirana. "Iya, Bu." Kirana mengangguk sopan. Wanita yang biasa disapa Mak Sum itu tersenyum. "Panggil Mak Sum aja, Mba," pintanya dengan aksen jawa yang kental. Mak Sum bersimpuh, meletakkan gelas di meja. "Kalau gitu, Mak Sum jangan panggil saya Mba. Kan, saya anak bungsu," protes Kirana. "Panggil Kirana aja, ya," pintanya kemudian. "Mak Sum panggil Nduk aja, ya?" tawar sang asisten rumah tangga. "Emm … oke." Kirana mengacungkan ibu jarinya sambil tersenyum manis "Monggo, diunjuk minumannya, Nduk." "Matur suwun, Mak," balas Kirana yang terdengar kaku. Mak Sum tersenyum. "Sami-sami, Cah ayu." Gadis itu langsung meminum jus sirsak buatan Mak Sum. Kemudian dia membaringkan tubuhnya di sofa dengan kedua kaki ditekuk, mengeluarkan ponsel lalu melanjutkan permainan susun balok. Astika yang baru saja turun dari lantai tiga menggeleng pelan melihat kelakuan putrinya yang tidak berubah sedikitpun. "Ganti baju dulu, Dek!" perintahnya. Astika duduk di sofa yang sama dengan Kirana, di dekat kaki si bungsu itu. "Ma …, Ki lapar." Gadis itu bangkit, lalu bergelayut manja di lengan kiri pada mamanya. "Pengen makan rawon nggak pake toge, terus Mama yang buat, jangan lupa pake emping melinjo juga." Rengekan manja Kirana membuat kedua asisten rumah tangga yang menyaksikan adegan tersebut tersenyum geli. Ternyata cerita tentang sifat manja bungsu keluarga Nugraha bukan isapan jempol belaka. Benar-benar tidak sesuai dengan wajahnya yang terlihat judes ketika diam. Meski demikian, mereka mengakui jika senyum Kirana sangatlah menawan. "Go food aja, ya. Mama capek, Dek." Kirana melepaskan rangkulannya pada lengan Astika. "Ish, Mama. Giliran Papa yang minta aja langsung dibuatin," protesnya. Gadis itu menumpukan dagu pada bantal yang ia peluk. Mulutnya terus bergerak samar, menggumam tak jelas. "Ma … aku kan sudah lama nggak makan masakan Mama. Kalau kata Laura nanti aku kepuhunan." Gadis itu memelas. Ia benar-benar rindu masakan sang mama. Astika menghela napas kasar. Rengekan Kirana adalah kelemahannya. Ia tidak akan bisa menolak. "Kamu bersih-bersih dulu. Nanti Mama buatin," putusnya. Wajah Kirana langsung berubah sumringah. Ia memeluk Astika dari samping dan mendaratkan kecupan bertubi-tubi di pipi sang Mama. "Thanks, Mom." Gadis itu berlari riang menaiki anak tangga. "Kamar kamu nomer dua sebelah kanan, Dek," ujar Astika sedikit berteriak. Ia lupa memberitahu letak kamar Kirana. "Oke, Mom." Kirana membalas dengan teriakan yang lebih nyaring. Astika mengelus d**a. Lalu menatap Mak Sum dan Mba Diah yang sedang mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat rawon. Mereka memang cekatan. "Kayaknya rumah bakalan rame, Bu," ujar Mba Diah dari balik meja kitchen set. Astika menghela napas, ia sudah bergabung dengan para asistennya. "Iya, nih, Mba. Nggak pulang ngangenin, tapi kalau pulang bikin rusuh." *** Tiga hari berlalu. Rumah keluarga Nugraha yang tadinya sepi, sekarang lebih ramai dan ceria. Ada saja tingkah polah gadis dua puluh satu tahun itu. Seperti pagi ini, layaknya anak kecil gadis itu ikut terjun ke kolam ikan koi yang dalamnya selutut orang dewasa. Katanya membantu Pak Min menguras rumah peliharaan kesayangan Danu, tapi kenyataannya dia hanya bermain-main. Berkali-kali terdengar teriakan Danu yang memperingati putrinya. Bukan takut Kirana sakit karena terlalu lama berendam di air, tapi takut gadis itu mencelakai ikan-ikan kesayangannya. "Taruh di bak, Ki!" "Jangan gitu nangkapnya?!" "Kirana Zia! Cepat kembalikan, bisa mati kalau kelamaan kamu angkat." "Ki, hati-hati naruhnya! Jangan dilempar!" Masih banyak peringatan-peringatan lain yang Danu teriakan. Bukannya menurut, gadis itu semakin gencar menggoda sang papa. Seperti saat ini, ia sedang memegang seekor ikan koi berwarna putih sambil memanggil kucing. "Push … push …," ujar Kirana jahil. "Kirana!" bentak Danu. Yang dibentak bukan takut malah terbahak-bahak. "Sedekah ke kucing, Pah. Biar berkah." "Berani kamu lempar, papa coret dari kartu keluarga," ancam Danu saat Kirana akan melempar koi putih ke luar pagar. "Ck … ck … ck. Dengarkan Pak Min, Papa lebih sayang binatang daripada anak kandungnya sendiri," adunya pada pria yang sedang membersihkan kolam. "Ya, iya lah. Mereka anteng, nggak kayak kamu ... pecicilan, suka bikin tensi Papa naik." Perdebatan keduanya belum berakhir hingga ikan-ikan itu sudah kembali ke rumahnya. Begitulah jika Kirana jika bertemu dengan Danu. Tidak lepas dari keributan dan perselisihan. Saling menjahili satu sama lain. *** Rumah semakin ramai dengan kedatangan Bima beserta istri dan anaknya. Tangisan Attar sering terdengar karena ulah gadis yang telah mengganti warna rambutnya menjadi hitam. Mulai dari mencubit pipi gembil hingga merebut biskuit bocah laki-laki berumur dua tahun itu. “Jangan diganggu tho, Nduk,” pinta Mak Sum yang sedang memasak saat Attar menjerit karena Kirana mengambil biskuit bayi itu. Bukannya menurut, Kirana malah mencubit gemas pipi keponakannya yang masih terisak. “Kirana!” Astika menggeram sambil menjewer telinga kiri anaknya yang memiliki tiga tindikan. Kirana mengaduh dan memohon ampun. Ia langsung berlari pergi saat sang mama melepaskan jewerannya. Kirana bersenandung lirih sambil menaiki tangga. Ia ingin melakukan Video Call dengan ketiga sahabatnya. Gadis itu mulai bosan dan merindukan sahabat-sahabatnya itu. Langkah Kirana berhenti tepat di depan kamar orang tuanya yang pintunya sedikit terbuka saat mendengar Bima menyebut namanya. Kirana menajamkan pendengaran untuk mencuri dengar percakapan kedua pria dewasa itu. “Kirana masih muda, Pa. Jarak usia mereka terlalu jauh, bahkan pria itu lebih tua dari aku,” ucap Bima. Pria itu membelakangi pintu, sedangkan Danu duduk di tepi ranjang. “Pria lebih tua? Siapa? Perasaan gue nggak enak, nih.” Kirana membatin. “Cuma dia yang Papa percaya. Kamu tau kan seliar apa adikmu di Jakarta?” Terlihat Bima memijat pelipisnya, sebelah tangannya berada di pinggang. “Tapi, nggak harus menikahkan Kirana kan, Pah? Masih banyak cara lain buat menghentikan kebiasaan Kirana ke klub malam.” Kirana menutup mulutnya. Dia tidak salah dengar, kan? “Segala cara sudah kita coba, Bim. Mulai dari mengurungnya, memarahinya, bahkan menyita semua fasilitasnya. Dia tidak jera dan selalu punya cara mendapatkan uang demi hobinya itu,” papa Danu. Danu pernah memiskinkan Kirana dengan mengambil ponsel dan semua kartu ATM termasuk kartu ATM yang berisi hasil jerih payah putrinya. Namun, hasilnya nihil. Gadis bungsunya itu selalu punya cara mendapatkan uang dari hobinya menulis cerita. “Tapi nggak harus sama Satya kan, Pah. Dia duda dan punya dua anak remaja. Kit---” Brak! Ucapan Bima terpotong. Kedua pria itu terkejut saat melihat Kirana yang sudah berdiri di depan pintu dengan pipi yang sudah basah. “Aku nggak mau dinikahkan sama om-om duda!” protes Kirana lalu berlari menuju kamarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD