Chap 3 : Secepatnya Menikah

1098 Words
"Loh, Azalia, kenapa lari-lari?" tanya Arumi yang barusan melihat Azalia berlari menghampirinya. Azalia gugup. "I-ibu, apa putra ibu c-cuma satu?" tanyanya yang masih tak percaya kalau dia akan dikenalkan dengan manusia itu. Arumi mengernyitkan dahi bingung. Lalu suara Zein membuatnya tak lagi mempermasalahkan pertanyaan lucu itu. Menurutnya Azalia memang lucu, sering bertanya hal yang sudah jelas terlihat. "Selamat malam, Mi," sapa Zein yang berjalan mendekat ke arah mereka. Saat itulah tubuh Azalia bergetar. Dia sungguh tak menyangka akan hal ini. Mimpi apalagi dia semalam sampai harus bertemu dengan pria menyebalkan bermulut pisau itu. Parahnya lagi, dialah orang yang rencananya akan menikah dengannya. Azalia tak berani memutar tubuhnya untuk menghadap dan melihat Zein di belakangnya. Dia meneguk air mulutnya saat Arumi menyambut pria itu dengan kasih sayang. Zein yang dikatakan oleh Ibu Arumi rupanya CEO itu, pikir Azalia, yang sebenarnya tak ingin percaya. "Selamat malam, Zein." Arumi mengulas senyum tak biasa. Betapa bahagia dia malam ini. Seperti biasa, Zein menyambut tangan Arumi untuk salim. Sedangkan Azalia masih bergetar di tempatnya, kebimbangan melanda hati dan jiwanya. Sungguh dia tidak pernah menyangka tentang ini. "Lia," sahut Arumi, meraih pundak gadis itu. "I-iya, Bu," jawab Azalia. Arumi melihat perubahan yang sangat signifikan pada Azalia. "Kamu malu, ya?" bisik Arumi di telinganya. Arumi melihat Azalia lucu. Sejak terdengar suara Zein pulang tadi, Azalia sudah tampak gugup dan malu. Membuat Arumi gemas pada gadis itu. "Hehe," kekeh Azalia, terpaksa. Arumi salah persepsi dengan tingkahnya. "Udah kenalan?" tanya Arumi padanya. "Kenalan dulu," pintanya pada Azalia. Dengan berat hati dan rasa ngeri, perlahan Azalia memutar tubuhnya. Dia mengangkat wajah untuk menyapa pria itu. Zein yang dari tadi tak melepas fokus padanya pun menunggunya bicara. Hanya satu detik, Azalia langsung mengalihkan matanya pada sorot mengerikan itu. "A-assalamualaikum, Kak Z-zein, saya Azalia," ucap Azalia yang tak mampu menyembunyikan gugupnya. "Waalaikumussalam," jawab Zein tanpa beban. Sesekali Azalia melirik ke arahnya, lalu kembali mengalihkan pandangan. Dari tadi dia merasakan tatapan Zein yang seperti membunuh dirinya sedikit demi sedikit. Zein pun sengaja membuat tatapan itu. Dia sangat ingat, betapa menantangnya ucapan gadis itu saat meninggalkan perusahaannya. Ditambah lagi dengan ulasan gadis itu tentang dirinya, membuat Zein ingin segera menjadikan Azalia daging cincang. Arumi tersenyum haru mendengarnya. Tak sadar kalau Azalia sebenarnya sudah ingin mati sebab putranya. "Gimana Zein menurutmu?" tanya Arumi tak tanggung-tanggung. "Cantik, kok, Mi," jawab Zein dengan sedikit senyum. Arumi senang bukan main saat mendengar jawaban Zein. Apalagi melihat senyum putranya itu. Berbeda dengan Azalia, dari tadi hatinya itu memohon pertolongan pada Rabbnya. Senyum CEO itu pun lebih terasa seperti pisau bagi Azalia, mengerikan. "Ya Allah..., aku berlindung pada-Mu dari segala pisau yang bernyawa," bisik hatinya. "Bagus, deh, kalau gitu." Arumi sangat bahagia malam itu. "Ya udah kamu ganti baju dulu sana," suruh Arumi pada Zein. Zein melangkah menuju kamarnya setelah mengangguki suruhan maminya. Arumi lantas mengajak Azalia untuk menyiapkan makan malam yang juga mereka beli tadi. Lidah Azalia terasa kelu untuk menolak, mengingat tentang kebaikan Ibu Arumi padanya. Berat rasanya untuk berkata kalau dia ingin pulang saat itu juga. Azalia tak berhenti memikirkan kebimbangannya. Sampai masakan itu siap, dia masih tak berani mengutarakan isi hatinya. Arumi memanggil Zein untuk makan malam bersama. Mereka duduk melingkar di meja makan mewah itu. Saat masih tenang-tenangnya menyantap makanan, dan Azalia yang sedang memikirkan cara sopan untuk berkata, Zein membuka suara. "Jadi kapan rencana pernikahannya, Mi?" tanya Zein. Azalia yang barusan menyuap nasi ke mulutnya tersedak. Arumi yang sedang menikmati makanan pun sama terkejutnya dengan pertanyaan Zein. Dia tidak menyangka kalau putranya itu sudah mantap ingin menikah. "Kamu maunya kapan, Nak?" tanya Arumi hati-hati. "Secepatnya saja, Mi." Kini Azalia tak bisa lagi menyembunyikan penolakannya. Tentu dia tak ingin masa depannya hancur sebab menikah dengan pria ini. Azalia hendak membuka suara. Namun sergapan pertanyaan Zein membuatnya hilang kendali. "Azalia juga sudah setuju, kan?" "Hah!" reflek Azalia. "Gimana menurutmu, Lia?" tanya Arumi. "Em, Lia kabarin bude sama pakde dulu, deh, Bu. L-lia juga butuh waktu untuk memikirkannya lagi." Akhirnya Azalia sedikit mengutarakan isi hatinya. Hal itu membuat Arumi sedikit memasang raut kecewa, tapi dia mencoba untuk meyakinkan Azalia bahwa Zein baik untuknya. Meski Azalia tak percaya dengan hal itu, tapi dia tak terlalu menunjukkan. Dia pun tak tega rasanya melihat kekecewaan di wajah itu. Ibu Arumi sangat baik padanya, juga pada budenya. Namun putranya ini sangat bertolak belakang dengannya. Pertemuan pertama saja terasa sangat buruk bagi Azalia. Bagaimana mungkin mereka akan menikah. "Ya sudah kalau itu yang Lia mau. Ibu tunggu kabar baiknya, ya," ucap Arumi. Wanita itu mengusap lembut bahu Azalia. Azalia melempar senyum padanya. Lalu tatapannya pindah pada Zein. Pria itu mengangkat kedua alisnya dengan senyum tipis. Buru-buru Azalia memindahkan pandangannya ke piring. Pria itu tampak benar-benar ingin menjadikannya daging cincang. "Oh, iya, Lia nginap di rumah Ibu saja ya malam ini," pinta Arumi setelah mengangkat wajahnya dari piring. Azalia tersentak untuk ke sekian kalinya. Menginap? "Em, sepertinya Azalia pulang saja, Bu. Gak enak sama bude sama pakde di rumah," jelas Azalia. Tampak jelas raut kecewa di wajah Arumi. Azalia pun dapat melihatnya. Namun Azalia tidak bisa menolak kata hatinya. Pulang adalah jalan satu-satunya untuk menghindari Zein, pria mengerikan di depannya ini. "Kamu memang gadis yang baik, bude sama pakde kamu pasti bangga karena punya kamu," puji Arumi, dia berusaha menghilangkan kekecewaan itu. Bagaimanapun juga dia tahu kalau Azalia masih milik bude dan pakdenya. "Zein, kamu antar Azalia pulang, ya," pinta Arumi pada Zein. "Hah!" Sekali lagi, untuk ke sekian kali, Azalia dibuat tersentak oleh keadaan ini. Pulang dengan pria itu? Azalia tak bisa membayangkan apa jadinya kalau dia hanya berada dengan Zein. Bisa-bisa habis dia dijadikan daging cincang. "Oke, Mi," jawab Zein lalu kembali pada piringnya. "Eng-enggak usah!" kata Azalia. Keempat mata itu langsung menatap Azalia penuh tanya. Apa yang salah? Namun Zein tampak mengerti apa yang dipikirkan gadis itu. "Ini sudah malem, Lia. Ibu tidak akan membiarkan kamu pulang sendiri," kata Arumi. "Kalo begitu Lia menginap aja, Bu." Azalia tak punya pilihan lain. Keadaan ini sungguh sangat menyiksanya. Dia tak tahu apa yang dipikirkan Zein. Namun nalurinya itu berkata kalau pria itu tak baik untuk jiwa dan raganya. Azalia melanjutkan makan dengan perasaan tak karuan. Arumi tersenyum, lantas mengusap bahu Azalia. "Kalo gitu Ibu kabarin ke bude dulu." Arumi bangkit dari kursinya dan meninggalkan mereka sejenak. Hal ini membuat Azalia tambah tak karuan. Dia siap memasang kuda-kuda kalau saja Zein melangkah maju. Zein melihat Azalia yang tak tenang. Puas rasanya dapat melihat gadis itu termakan ucapan sendiri. Pria itu menyandarkan tubuhnya di kursi, lalu meletakkan kedua tangan di depan perut. "Sepertinya menu daging cincang cocok untuk sarapan besok," kata Zein, menatap lurus Azalia yang barusan mengangkat kepala. Azalia meneguk saliva-nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD