Chap 2 : Daging Cincang

1908 Words
Azalia sudah keluar dari gedung bertingkat itu. Raut wajahnya tertekuk sepanjang jalan. Kakinya menghentak-hentak lantai sebab geram. Elsa yang melihat pun tahu kalau Azalia sedang kesal. "Lia!" panggil Elsa, sebab Azalia berjalan melewatinya begitu saja. Hanya geram yang tergambar jelas di wajahnya. Elsa bergegas mengikuti gadis itu. Selama perjalanan menuju apartemen, mereka tak berbincang apa-apa. Elsa yang merasa bersalah pun tak berani buka suara. Tadi, dia memang sengaja mencari alasan agar Azalia yang melakukan wawancara. Azalia menyerahkan berkas-berkas itu pada Elsa setelah mereka sampai di apartemen. Elsa menerimanya dengan sendu. Azalia membuang napas, masih geram dengan ucapan CEO itu. Gadis itu langsung duduk kembali di depan laptop, hendak memberi rating buruk pada perusahaan itu. Sedangkan Elsa yang merasa Azalia marah padanya pun hanya bisa diam. "Biar ku jelaskan padanya, apa itu sopan santun!" gerutu Azalia sambil mengetik sesuatu di sana. Dia memberikan bintang satu pada perusahaan yang memiliki rating hampir sempurna itu. CEO perusahaan ini semena-mena, tidak melayani tamu dengan baik, dan sangat tidak sopan! Azalia menekan tombol kirim. Dalam hitungan detik, rating itu turun meski sedikit. Azalia menghela napas lega setelah mengeluarkan unek-uneknya. Dia tahu kalau tindakannya ini kurang baik, tapi Azalia sudah terlanjur kesal, syaitan pasti telah meliputinya dalam kekesalan itu. Elsa yang barusan mendekat dan membaca ulasan Azalia itu mengernyitkan dahi. "Jadi dari tadi kamu kesel sama CEO itu?" kata Elsa. "Sama kamu juga ...!" kata Azalia yang memang menyimpan sedikit sebal pada Elsa. "Sorry," kata Elsa menyesal. Azalia berdehem seperti biasa menanggapi permintaan maaf Elsa. Mereka memang sering bertengkar kecil, tapi hal itu tidak pernah berlangsung lama. Maaf selalu terjalin antara mereka dengan begitu mudah. "Memangnya CEO itu ngomong apa sama kamu?" tanya Elsa. "Dia bilang aku yang buat dia berduka. Menyebalkan," kata Azalia. "Kenapa?" tanya Elsa yang masih tak mengerti. "Kamu buka aja tuh, hasil wawancaranya. Dasar pisau bernyawa!" Azalia masih tak bisa berhenti memberikan umpatan pada CEO itu, baru kali ini dia berhadapan dengan manusia sepertinya. Sebelumnya Azalia tidak pernah seperti ini, se-kesal apa pun dirinya. Pisau bernyawa sangat cocok untuk menjuluki CEO itu. Bayangkan, pisau yang tidak bernyawa saja mampu menyakiti. Apalagi yang bernyawa, menimbulkan luka tak berdarah, yang tentunya tak bisa kering, selain diobati dengan maaf-memaafkan. Masalahnya, mungkinkah mereka akan bermaafan. Elsa membuka map, lalu mencari tulisan Azalia. Betapa terkejutnya dia membaca hasil wawancara itu. Udah cuma satu pertanyaan, jawabannya menyakitkan lagi, pikir Elsa. "Hm, kayaknya aku gak akan ngumpul tugas ini, deh," kata Elsa, murung. Azalia yang melihat sahabatnya itu pun ikut sedih. "Sorry, ya, El. Harusnya tadi kita cari pengusaha lain aja." "Gak papa, Lia. Aku juga mau minta maaf, gara-gara tugas aku kamu jadi dapet masalah." "Besok aku cariin lagi penguasa yang baik, deh, El. Pokoknya kamu harus selesaiin tugas ini." "Makasih, Lia." *** Matahari bersinar hangat pagi ini. Jam menunjukkan pukul 6. Seperti biasa, Azalia sudah siap pergi ke pasar. Gadis itu selalu bangun ketika adzan subuh berkumandang, tak jarang pula dia terbangun pukul 3 dini hari. Azalia selalu berusaha untuk salat subuh tepat waktu, dia pun selalu mengerjakan salat tahajud jika terbangun di malam hari. Azalia pamit pada Bude Elin setelah memakai kaus kaki dan sandal. "Azalia jalan ke pasar duluan ya, Bude!" teriak Azalia dari depan rumah. Dia meraih tas bahu kecil di atas kursi. Bude Elin yang mendengar suara Azalia dari dalam, melangkah keluar dengan sedikit berlari. Wanita paruh baya itu nongol di ambang pintu. "Eeh, Lia. Udah gak usah ke pasar hari ini," kata Bude Elin, meraih pundak Azalia. "Kenapa Bude?" herannya. "Ibu Arumi sama putranya mau ke sini." Azalia berpikir sejenak. "Memangnya udah mau nikah, Bude?" ucap Azalia dengan intonasi terkejut. Bude Elin tertawa kecil mendengarnya. "Kamu ini udah mau nikah saja, lamaran dulu, atuh," kata Bude Elin. "Ya ta'arufan dulu, atuh, Bude. Kalo misalnya Azalia gak cocok sama dia gimana?" "Iya, deh, yang penting kamu di rumah aja hari ini. Biar Pakde aja yang jaga toko." "Emang Pakde gak ngojek, Bude?" "Libur dulu, udah Bude bilangin tadi malam. Yuk, masuk." Bude Elin mengajak Azalia masuk. Hari ini mereka full beres-beres rumah dan masak. Azalia membantu Bude Elin membuat kue untuk tamu yang ingin datang. *** Sedangkan di kediaman Ibu Arumi. Zein baru saja turun dari kamarnya. Dia sudah hendak pergi menemui utusan bos mafianya. "Mau ke mana, Nak?" Arumi melihat putranya itu berpakaian rapi. Zein meneguk air buatan maminya di atas meja, lalu menjawab pertanyaan itu. "Bertemu klien, Mi." Arumi menghela napas sedikit kecewa. Tadi malam mereka sudah sepakat akan pergi menemui gadis yang ditemui Arumi di pasar. Zein pun sudah setuju dengan permintaan itu. Namun ternyata, setujunya itu hanya sekadar saja. "Kamu lupa, ya? Tadi malam kamu sudah setuju mau ikut mami bertemu dengan Azalia." Maminya itu mengingatkan. Zein mengalihkan bola matanya dari tatapan Arumi. Dia memang sengaja melupakan hal itu, Zein pikir maminya itu tak serius semalam. Apalagi mendengar kalau gadis itu dia temui di pasar. Zein sempat mengira maminya itu mengigau atau bercanda. "Kamu tidak pernah lupa dengan ucapan mu sendiri, Zein." Zein tampak diam, memikirkan jalan keluar untuk masalah ini. Ucapan Arumi barusan itu benar, Zein bukan orang yang mudah lupa, apalagi dengan ucapannya sendiri. Bahkan pria itu dapat mengingat suara dan ucapan seseorang meski dalam keadaan setengah sadar. Dia pernah mengalami hal itu. "Zein tidak lupa, Mi. Bagaimana kalau mami ajak Azalia ke mari, Zein akan pulang secepatnya." Perlahan, Arumi mengulas senyum. Dia mengusap bahu putranya. "Ya udah, kamu hati-hati, ya. Jangan pulang terlalu malam," ucap Arumi. "Baik, Mi. Zein berangkat." Setelah cium pipi, Zein melangkah keluar. Victor, sopir pribadinya, sudah siap di depan rumah. Dia membukakan pintu mobil untuk tuannya. Mereka melaju tepat pukul tujuh pagi. "Bagaimana status kita?" tanya Alessandro. "Aman, Tuan." "Bagus." "Ada satu hal, Tuan. Kau mendapat pesan dari Feriana." "Apalagi yang dia mau?" "Dia ingin bertemu denganmu malam ini. Katanya, dia tidak pergi sampai kau menepati janjimu." Alessandro tersenyum tipis. "Aku tidak pernah berjanji padanya. Singkirkan saja dia, kalau masih tak mau pergi," ucap Alessandro final. "Baik, Tuan." Mereka berhenti di pinggir jalan kota, tempat perhentian kendaraan roda empat. Zein sudah melihat mobil di depannya. Utusan bosnya itu sudah menunggu di sana. Victor membukakan pintu untuknya. Zein berjalan tegap menghampiri seseorang yang bersandar di badan mobil. Mereka langsung bergegas lagi, meninggalkan tempat itu. Tujuan kali ini adalah kediaman Mr. Fransisco. Mereka akan bernegosiasi di sana. Mr. Fransisco adalah owner perusahaan itu. Zein yang memegang pangkat sebagai CEO di sana berniat bernegosiasi tentang penjualan saham. Utusan bosnya itu yang akan bertindak jika Mr. Fransisco tidak dapat dikendalikan dengan negosiasi. Sebelum sampai di sana, sebuah notice penting masuk ke HP Zein. Pria itu melihat isi pesan dari orang kanannya di perusahaan. Pesan itu berisi tentang ulasan yang baru-baru ini membuat staf-staf di kantor kebingungan. Zein mendapatkan sebuah link. Kini terlihat sebuah cuitan seseorang yang mengirim ulasan negatif pada perusahaan yang dia jalani. Ditambah lagi, isi ulasan itu langsung mengarah pada pangkat CEO yang dia miliki. Zein membaca ulasan itu. Azalia Alessa Meca ⭐️(ulasan 1 bintang) CEO perusahaan ini semena-mena, tidak melayani tamu dengan baik, dan sangat tidak sopan! Begitulah sekiranya yang dia baca. Lalu ingatannya kembali pada nama gadis pasar yang tadi malam disebut-sebut oleh Arumi. Zein sedikit tak mengerti, gadis yang wawancara hari itu bernama Elsa Bianica bukan? Untuk sementara, dia melupakan masalah itu. Namun hal ini dapat menjadi pertimbangan untuknya dalam menangani Mr. Fransisco. "Kita langsung masuk plan B," ucap Alessandro pada utusan bosnya. "Kenapa tiba-tiba?" "Sepertinya Mr. Fransisco akan tetap menjual sahamnya." Memang benar adanya. Sebenarnya Mr. Fransisco berniat menggantikan CEO di perusahaannya. Dia sudah mendengar kabar mengerikan tentang Zein. Namun tak pernah menampakannya. Kabar penjualan saham itu hanya iming-iming saja, untuk menghindari perhatian publik, terutama Zein bahwa dia ingin menggantikan jabatan CEO di sana. Mr. Fransisco hanya berlindung agar Zein tidak sakit hati atas tindakannya, yang akan berakibat buruk padanya. Namun kenyataannya, owner itu tetap akan mendapat akibat buruk. Pengalihan penjualan saham tidak menyelamatkannya sedikit pun dari tindakan mematikan para mafia itu. *** Malam itu, Arumi dan Azalia sudah sampai di rumah. Mereka telah menghabiskan waktu untuk belanja sepanjang hari. Arumi senang bisa mengajak Azalia jalan-jalan. Begitupun Azalia, betapa bahagianya dia memiliki calon mertua sebaik ini. Azalia diajak keliling mall untuk membeli baju dan beberapa alat kecantikan lainnya. Sempat Azalia menolak sebab tak enak hati. Namun Arumi bersikeras menyuruhnya, bahkan dia bersedih hati jika Azalia tidak menerima pemberiannya. Hingga akhirnya Azalia memilih dua pasang gamis dan kerudung. Itu pun masih membuat Arumi sedih, sebab Azalia belanja terlalu dikit. Arumi menawarkannya beberapa kosmetik. Namun Azalia menolak, dengan alasan tak terpakai. Gadis itu memang sangat jarang memakai make up, hanya hari-hari penting saja, itu pun kalau dia mau. Azalia sudah terbiasa dengan hanya memakai bedak. Bedak itu pun sebenarnya tidak berpengaruh besar di wajahnya. Wajah putih itu seolah sudah menampilkan kecerahan dari dalam. Bibirnya pun sudah merah alami tanpa lipstik menempel di sana. Begitu juga alisnya, terukir rapi dengan ketebalan alami tanpa pensil alis, membuatnya tak pernah luntur meski dia wudhu berkali-kali. Bulu matanya lentik meski tak tebal. Pipinya selalu merah kalau hormonnya meningkat. Sebab itu, jangan pernah puji dia jika kau akan menyakitinya. Hal itu akan membuat pipinya tambah merah, tapi bukan karena rona, melainkan karena dia sedang marah. Hatinya yang masih sangat terjaga itu membuatnya tak pernah main-main dengan cinta. Azalia mulai berpikir jauh saat memasuki rumah Ibu Arumi. Dia benar-benar berharap, cinta yang dia tunggu-tunggu selama ini akan manis seperti janji Allah. Yaitu janji tentang pria baik yang akan bertemu dengan wanita baik. Azalia sudah berusaha untuk menjadi seperti itu sejauh ini. Rumah mewah nan megah itu mengingatkannya pada kehidupan yang dulu begitu hangat. Azalia rindu dengan ayah dan ibunya. "Lia, sini," panggil Arumi sebab Azalia terpaku di dekat pintu. Azalia membuang lamunannya. Dia mendekat pada Ibu Arumi sambil mengulas senyum. Mereka berjalan ke dapur. "Zein paling suka dibuatkan minum kalau habis pulang kerja," ucap Arumi sambil menyiapkan minuman untuk Zein. "Biar Azalia bantu, Bu." "Boleh." Arumi mengajari Azalia resep minuman yang sangat Zein suka. Azalia tidak kesulitan mengikuti arahan Arumi. Lalu terdengar tanda-tanda kepulangan Zein, Arumi sangat hapal itu. "Itu Zein," ucap Arumi. Lalu, entah mengapa, tiba-tiba Azalia gemetar. Tangannya yang tadi begitu lincah membuat minuman, kini tremor. Arumi yang menyadari itu tertawa kecil. "Kamu bukakan pintu saja untuk Zein," suruh Arumi dengan senyum. Azalia menahan gugup dalam dirinya. Dia mengangguk malu sebab Ibu Arumi menyadari tangannya yang bergetar. Azalia melangkah tenang menuju pintu depan setelah tersenyum pada Ibu Arumi. Azalia menarik napasnya, lalu mengembus damai. Tangannya mulai menyentuh gagang pintu. Azalia meneguhkan hatinya sekali lagi. Perlahan tangannya itu menarik gagang pintu. Lalu, matanya itu terbelalak melihat sosok yang kini berdiri di depan pintu. Zein yang hendak mendorong pintu pun sama terkejutnya. Hanya saja Zein tidak terlalu terlihat sebab dia sangat pandai menyembunyikan hal seperti itu. Sedangkan Azalia, seluruh sel tubuhnya terasa berhenti. Dia tidak mau percaya dengan kenyataan ini. Gadis itu memutar tubuhnya cepat. Mau tak mau dia harus percaya dengan ini. Putra Ibu Arumi ternyata CEO belagu itu, pikir Azalia. Kini dia bingung harus apa. Otaknya tak bisa berpikir cepat, hatinya ingin sekali memungkiri semuanya. Zein tersenyum miring di tempatnya. Sedikit tak percaya kalau perempuan yang ditemui maminya itu adalah gadis berjubah yang mewawancarainya. Sekarang dia yakin kalau memang gadis ini yang memberikan ulasan buruk tentangnya. "Daging cincang," ucap Zein masih dengan senyum miring. Tentu dia tidak lupa dengan ucapan gadis itu terakhir kali. Mendengar ucapan mengerikan itu, Azalia lari ke dalam, menghampiri Ibu Arumi yang masih setia menunggu mereka. Perut Zein sungguh tergelitik melihatnya. Dia tertawa dengan cool-nya, lalu berjalan masuk menghampiri maminya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD