Chap 1 : Pisau Bernyawa

1477 Words
Azalia sudah berada di kampusnya sekarang. Dia terlambat hampir setengah jam. Ibu Arumi bicara banyak padanya tadi, bahkan saat dalam kelas pun pikirannya masih jalan-jalan ke arah sana. Azalia meraba-raba wajahnya, memastikan kalau dia tidak sedang tidur dan bermimpi. Dug. "Akh." Gadis itu terkejut sebab sebuah siku mengetuk sisi perutnya. Seorang teman di sebelahnya baru saja menyadarkannya dari angan-angan. Azalia menoleh padanya dengan mulut yang masih sedikit terbuka. "Apa yang kau lakukan?" bisik Elsa padanya. Azalia menggeleng dengan senyum yang terus terukir di wajahnya. Membuat Elsa merasa konyol dan heran. Dia sudah ingin mencap gadis itu gila kalau saja bukan sahabatnya. Mereka berjalan bersama setelah kuliah berakhir, hendak menuju apartemen Elsa. Azalia berencana menyelesaikan tugas di sana. Tugas manajemen bisnis yang diberikan dosen minggu lalu sudah hampir deadline. Beruntung Azalia sudah menyelesaikan wawancara bisnisnya dengan seorang pengusaha kemarin, jadi hari ini dia tinggal membuat laporan. Sedangkan Elsa. Baru saja dia meracau sebab wawancaranya dibatalkan oleh pihak kantor. Dia menarik napasnya dalam-dalam setelah membaca pesan pembatalan itu, lalu melempar HP-nya lantas berguling-guling di kasur dengan suara-suara mengerikan. "OMG! Why? What's wrong with me! Why anyone else can't help me! Arrghhh! rrghhh! uughrrrhh!" Azalia menghentikan sejenak kegiatan mengetiknya untuk melihat kelakukan seorang gadis yang mulai menggila di sana. Bantal guling itu mungkin berkeringat sebab menerima cakaran dan gigitan Elsa. Azalia bangkit dari depan laptop untuk mengusir segala jenis jin yang telah merasuki sahabatnya. "Keluar lah wahai syaitonirrojim!" seru Azalia sambil memukul-mukulkan guling padanya. Elsa berhenti seketika dari erangannya, menatap Azalia yang menahan guling di udara. Menit berikutnya, Azalia melempar kembali guling itu ke kasur, sahabatnya itu sudah sadar dari kumatnya. "Sini ku bantu cari," ucap Azalia kembali ke laptopnya. Elsa melipir semangat menuju depan laptop. Azalia mulai mencari di internet. Lalu dia mendapatkan profil seorang CEO di sebuah perusahaan tak jauh dari apartemen Elsa. Perusahaan itu termasuk ke dalam perusahaan terbesar di kota ini. "Bagaimana dengan ini?" tanya Azalia. "Mr. Ruzein Alessandro." Elsa menatap lekat-lekat foto pria itu di profile-nya, lalu meneguk saliva tak kuasa. Sebenarnya Elsa tak pandai dalam wawancara. Kalau bisa, Elsa ingin tugas ini dihapuskan saja. Dia sangat tidak suka berhadapan dengan para pengusaha-pengusaha seperti itu. Mentalnya langsung ciut seketika sebelum sepatah kata pun keluar dari bibirnya. "Em, boleh aku minta tolong sekali lagi?" tanya Elsa. Azalia menatap penuh tanya pada mata binar Elsa, menunggu permintaan apa lagi yang dia inginkan. Setelah menghubungi CEO itu melalui pesan bisnis, Azalia memenuhi keinginan Elsa yang minta diantarkan ke sana. Mereka sampai di sana setelah sepuluh menit di perjalanan. Azalia mengantar Elsa, bahkan sampai ke ruang tunggu klien. Dari tadi Elsa tampak tak tenang, perasaan gugup mengelilinginya. Padahal sudah berkali-kali Azalia menasihati dan menenangkannya. "Aduh, Azalia, perutku tiba-tiba mules. Aku harus ke toilet." Setelah memberikan mapnya pada Azalia, Elsa langsung melipir menuju toilet, meninggalkan Azalia yang kini diam membisu. Gadis itu benar-benar, ya, rutuk Azalia. Dalam keadaan seperti ini dia tidak segera menyiapkan diri. "Ms. Elsa Byanica," panggil seorang wanita, "silahkan," sambungnya. "Eee ...." Azalia yang duduk sendirian di sana pun lantas berdiri untuk menjelaskan bahwa Elsa sedang buang hajat. Namun, tak sempat dia menjelaskan, wanita itu sudah bicara lagi. "Mr. Alessandro sudah menunggu, dia tidak punya banyak waktu." Azalia bingung. Dalam waktu yang sangat singkat itu dia berpikir panjang. Kalau dibatalkan lagi, bisa-bisa Elsa tidak menyelesaikan tugasnya. Hingga akhirnya Azalia terpaksa menggantikan Elsa untuk melakukan wawancara. "Baiklah," kata Azalia. Dengan tanpa persiapan, Azalia melangkah di belakang wanita ber-rok pendek itu. Dia sungguh merutuki kecerobohan Elsa. Sekarang Azalia harus terjebak dalam tugas-tugas gadis itu. Azalia menarik napas dan membuangnya setenang mungkin saat pintu lift terbuka. Lift itu langsung mengarah pada ruangan Mr. Alessandro. Azalia melangkah masuk dengan rok panjang dan kerudung yang menutupi seluruh d**a, juga tas bahu berwarna abu-abu, senada dengan warna ruangan itu. Gadis itu merasa tak yakin sebab tak ada persiapan sama sekali, ditambah lagi dia belum mengetahui apa saja yang ada dalam map ini. Dia melempar senyum kaku pada Mr. Alessandro yang baru saja menatap penampilannya dari atas sampai bawah "S-selamat sore, Mr. Alessandro," sapa Azalia, gugup. Zein yang dari tadi menatapnya segera mengalihkan pandang dari wanita di depannya, aneh. Baru kali ini seseorang datang ke kantornya menggunakan jubah. Dia pikir ini tempat ibadah, pikir Zein. "Silahkan," dia menyuruh gadis itu duduk dengan gerakan mata. Azalia meneguk salivanya merasakan aura negatif dari CEO ini. Elsa! Awas kau nanti! Rutuk Azalia dalam kepanikan hatinya. "Em, sebenarnya teman saya sedang berhalangan untuk---" "Langsung saja pada pertanyaannya," potong Mr. Alessandro tak peduli. "Baik," jawab Azalia, shok. Gadis itu membuka map berisi berkas-berkas milik Elsa, gusar. Sesuatu memacu pergerakannya untuk segera menyelesaikan tugas nyasar ini. Hal itu membuat suasana yang tenang dan sunyi menjadi bising akibat gesekan-gesekan suara yang ditimbulkan map coklat itu. Mr. Alessandro yang masih menunggu dalam sabar menautkan kedua kepalan tangannya untuk bertopang dagu. Azalia masih belum menemukan kertas wawancara milik Elsa. "Tidak profesional, berantakan, berisik, dan tidak menarik," ucap Mr. Alessandro yang sudah bosan menunggu. Seketika Azalia mati kutu dibuatnya. "Di mana kampusmu?" tanya Zein datar. Dengan ragu, Azalia menjawab, "Universitas Al-Zeir." "Mengecewakan." Sekali lagi, Azalia seperti mati duduk rasanya. Gadis itu sungguh tidak menyangka akan sefatal ini. Tubuhnya menjadi beku bagai es di kutub saat Alessandro bangkit dari duduknya. CEO itu meraih seluruh berkas yang berada di pangkuan gadis itu, lalu menyandarkan b****g di sisi meja persis di kanan depan Azalia. Pria itu melihat-lihat seluruh berkas milik Elsa. Sedangkan Azalia tak bisa mengangkat kepalanya lagi barang seinci. Jantungnya berlomba-lomba ingin keluar. Tatapannya lurus ke bawah. Sepatu CEO itu pun terlihat begitu menakutkan sekarang. "Di mana rumahmu?" tanya Zein yang masih membolak-balik berkas itu. "R-raya Permai," jawabnya. Alessandro menatapi pucuk kepala gadis itu dengan sudut matanya. Lalu senyum miring terlukis di wajahnya. Pria itu meletakkan berkasnya di meja, mungkin bermain sedikit dengan gadis ini dapat menghilangkan jenuhnya. Mengingat tugasnya yang begitu banyak dan melelahkan. "Tanyakan saja apa yang ingin kau tanyakan," ucap Zein. Azalia mengangkat kepalanya, buru-buru dia meraih berkas itu di meja. Dia menulis pertanyaannya di sebuah kertas. Gadis itu menarik napas lalu menghelanya, mencoba menjernihkan pikiran. Dia sudah siap memulai pertanyaan. Kali ini Mr. Alessandro tersenyum getir, fokusnya tak lepas dari mata kecil berwarna coklat itu. Azalia meneguk saliva-nya saat berhadapan dengan sorot tajam milik Zein. Segera dia membacakan pertanyaan pertama yang baru dia tulis. "Mr. Alessandro, apa suka duka Anda menjadi seorang CEO?" Mr. Alessandro memiringkan kepalanya untuk menatap Azalia yang menghindari tatapannya. Melihat gadis itu ketakutan, membuat Alessandro senang. Sepertinya dia beruntung atas kehadiran wanita lugu ini. Dia sudah bosan dengan wanita-w*************a. "Saya selalu merasakan suka dalam bekerja, dan tidak pernah mengalami duka. Tapi hari ini saya mengalaminya. Seorang bocah kampus yang tidak profesional telah membuat saya mengalami duka hari ini." "What!" batin Azalia. "J-jawaban macam apa itu!" serunya dalam hati. Azalia menatap CEO itu. Dia berharap jika Mr. Alessandro bercanda. Namun melihat ekspresinya yang serius, Azalia kembali memusatkan perhatiannya pada kertas. Dengan sebal, dia menulis jawaban CEO itu di kertasnya. "Menyebalkan! mimpi buruk apa aku bertemu manusia macam ini!" geram Azalia, dia hanya bisa menggerutu dalam hatinya. Sedangkan Zein, baru saja dia tersenyum puas melihat gadis itu sebal. Lihat saja, dia akan membuat gadis itu tak pernah lupa dengan hari ini. "Ada lagi?" tanya Alessandro sebab Azalia belum melontarkan pertanyaan lagi. Gadis itu masih diam, padahal sudah selesai menulis jawaban. "Tidak ada. Saya pikir cukup." "Benarkah? Apa semua murid di kampusmu seperti itu? Datang dengan sangat tidak profesional, bertanya pun tidak profesional. Bagaimana mungkin hanya menyiapkan satu pertanyaan," ucap Mr. Alessandro tak terima. Reflek Azalia menarik napasnya, ingin marah. Namun tertahan. "Maaf, Tuan yang sangat terhormat, bukan maksud saya ingin segera mengakhiri wawancara ini. Namun sepertinya Anda pun tidak menginginkan wawancara ini. Maka dari itu, lebih baik saya pulang saja," kata Azalia, dia sudah bangkit dari duduknya. Mr. Alessandro yang bersandar di sisi meja menahan ujung kerudung yang dikenakan Azalia, membuat Azalia terpaksa berhenti. "Tidak sopan pergi begitu saja anak muda. Kau harus belajar sopan santun," ucap pria itu. Azalia memutar tubuhnya, menghadap Mr. Alessandro. Wajahnya sudah panas dan merah ingin marah. Pipinya pun sudah menggelembung geram. Pria di hadapannya ini sungguh menguji kesabarannya. Azalia memberanikan diri menentang pria yang hanya berusia lima tahun di atasnya itu. Mulutnya yang setajam pisau itu membuat Azalia berani membalasnya. "Tuan Alessandro yang terhormat. Saya sungguh tidak tahu apa masalah Anda, tapi yang pasti, saya tidak akan menemui Anda lagi. Kalaupun saya menemui Anda lagi, silahkan Anda buat saya jadi daging cincang!" geram Azalia. Gadis itu langsung berlari setelah mengatakan kalimat yang tiba-tiba saja muncul di benaknya. Rasa sebalnya pada CEO belagu itu membuatnya tak dapat mengontrol diri. Buru-buru Azalia menekan tombol lift di ujung ruangan itu. Tubuhnya bergetar panik menunggu pintu lift terbuka. Zein tidak melepas fokusnya pada gadis berjubah itu sampai ia tertelan pintu lift. Perutnya tergelitik untuk tertawa setelah memikirkan ucapan tadi. Lumayan, pikirnya. Setidaknya gadis itu sedikit menghilangkan rasa jenuhnya. Mr. Alessandro kembali duduk di kursinya dan melanjutkan pekerjaannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD