HIJAB

1117 Words
Bruk! "Aww!" Raihana mengeluh kesakitan lantaran lututnya beradu dengan lantai mengkilat nan keras rumah ini. Rupanya karena tarikannya terlalu kuat, dia pun terjatuh. Pria yang ditabraknya yang tidak lain adalah Tuan Kin, menundukkan wajah, menatap lekat pada Raihana yang ada di bawah dekat kakinya. Sepasang mata tajamnya menandai wajah jelita Raihana yang terbalut hijab dengan seksama selama beberapa detik sebelum akhirnya menoleh pada Cakra yang berdiri di belakangnya. "Siapa gadis ini?" tanya Tuan Kin dengan jari telunjuk mengarah ke bawah, pada Raihana yang terjatuh tepat di sepatunya. Cakra melangkah ke depan beberapa langkah mendekati Raihana yang kini sudah berdiri. Dia lalu mengamati selama beberapa detik untuk menyakinkan dirinya kalau gadis itu memanglah Raihana, putri Pak Pramudia. Setelah yakin, Cakra menoleh pada Tuan Kin. " Tuan, dia adalah putri dari Pak Pramudia yang akan dijadikan alat pembayar hutang.” Mata Tuan Kin melebar mendengar itu. Dia mengamati Raihana sekali lagi. Wajah yang jelita dengan mata bulat bening, hidung mancung, dan bibir mungil. Dia pun mengakui kalau Raihana sangat cantik. Oh, bukan hanya kali ini Tuan Kin melihat wanita cantik, tapi sangat sering. Hanya saja kecantikan gadis di depannya ini terlihat berbeda. "Anda pasti tuan Kin yang tidak beradab itu!" Tiba-tiba Raihana mencaci dengan mudahnya. Semua orang yang ada di ruangan itu tercengang dengan ucapan kasarnya pada Tuan Kin. Bukan tanpa sebab, selama ini, tidak ada yang berani berkata sekasar itu pada Tuan Kin selain dirinya. Segera, keempat pria berjaket hitam itu bergerak hendak menangkap Raihana karena telah berkata kasar pada Tuan Kin. Akan tetapi, mereka kembali diam begitu Tuan Kin memberi kode dengan tangannya agar tidak mendekati gadis itu. Entahlah, Tuan Kin hanya merasa tertarik melihat wajah Raihana yang sedang marah. Dia merasa terhibur dari penat akibat kesibukannya setiap hari karena selama ini tidak ada orang yang berani memarahinya. Tapi lihatlah gadis di depannya ini, bukan hanya mencacinya, namun kini juga telah memelototinya dengan berani. "Dengar ya Tuan Kin, beginikah cara anda menagih hutang?" lanjut Raihana. "Mengambil anak gadis orang sembarangan! Menurutku anda benar-benar tidak mempunyai hati nurani!" Dengan santai, Tuan Kin memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana panjang hitam mengkilat dan klimis yang membalut kedua kakinya yang jenjang. "Jadi menurutmu aku harus bagaimana? Harta ayahmu tidak cukup untuk membayar hutangnya yang sangat banyak. Kamu tau, itu membuatku rugi," jawab Tuan Kin santai dan dengan nada lembut. Raihana membisu. Dia tidak tahu harus menjawab apa karena kenyataannya memang seperti itu. Tapi... "Bagaimana kalau tuan lepaskan aku? Aku akan mencari pekerjaan untuk melunasi hutang-hutang ayahku. Aku berjanji untuk itu." Raihana mulai berkompromi. Tuan Kin tertawa kecil. Tawa yang terdengar sangat merendahkan. "Memangnya kamu dibawa ke sini untuk apa? Untuk dijadikan istri? Tentu saja untuk membayar hutang ayahmu! Kamu akan bekerja sebagai pelayan dan tidak akan digaji sampai hutang-hutang ayahmu selesai! Sama saja 'kan?" "Tapi jika aku bekerja di luar, mungkin saja aku bisa mendapat gaji yang lebih tinggi dari gaji menjadi pelayan di sini sehingga aku bisa cepat melunasinya." Tuan Kin kembali tertawa. Kali ini nadanya terdengar lebih mengejek daripada yang tadi. "Kamu itu baru tamat sekolah menengah atas. Sudah aku perkirakan pekerjaan apa yang akan kamu dapatkan di luaran sana. Tak lebih dari seorang pelayan juga. Dan... kamu belum tau, bahwa gaji menjadi pelayan di rumah ini berlipat-lipat lebih besar dari gaji pelayan di luar sana. Jadi sudahlah, tak perlu banyak drama. Jalani saja hari-harimu di sini." Raihana menggeleng cepat. "Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak mau dibelenggu oleh siapapun! Aku tidak mau menjadi pelayan di sini!" Tuan Kin tidak perduli lagi. Kali ini gerakan tangannya justru menyuruh keempat pria berjaket hitam untuk menangkap Raihana. Dengan cepat, keempat pria berjaket hitam melaksanakan perintah Tuan Kin. Dalam waktu beberapa detik, Raihana sudah berada dalam cengkraman mereka. "Lepaskan hijabnya! Aku tidak suka orang berhijab! Dan berikan dia pakaian-pakaian yang memang harus dikenakannya! Pakaian seorang pelayan!" titah Tuan Kin yang membuat Raihana terperangah. Keempat pria itu langsung mengangguk. Lalu dengan kasar, salah satu dari mereka langsung menarik hijab Raihana sehingga tali rambut yang mengikat rambut gadis itu ikut tertarik. Rambut Raihana yang ikal, hitam, dan lebat langsung jatuh mengurai, membuat mata Tuan Kin membesar karena mengagumi kecantikan gadis tersebut. Suatu rasa yang selama ini tidak pernah dialaminya. Raihana tercekat dengan apa yang dilakukan salah satu pria berjaket hitam tersebut padanya yang tidak sempat dihindarinya. Dia langsung syok begitu mendapati dirinya sudah tidak lagi mengenakan hijab dan hijab itu kini sudah berada di tangan salah satu pria berjaket hitam. Setetes bening jatuh ke lantai tepat bersamaan dengan hijabnya yang terlepas. Bukan tanpa sebab, sejak Raihana mendapat haid pertamanya dan kemudian tahu tentang kewajiban seorang wanita harus berhijab, dia langsung melaksanakan kewajibannya tersebut. Menutupi rambutnya dengan selembar bahan yang disebut hijab. Tapi hari ini, di detik ini, harga dirinya sebagai seorang wanita, sudah terkoyak. Dia yang selama ini selalu menjaga mahkotanya tersebut dan berharap hanya sang suami kelak yang melihat, tentu tak terima dengan diperlakukan seperti ini. Pria-pria di ruangan ini seperti tidak mempunyai adab seenaknya menarik hijabnya. Di detik yang sama, Tuan Kin yang berniat untuk meninggalkan tempatnya sekarang, menangguhkan keinginannya tersebut hanya demi melihat makhluk cantik yang menarik perhatiannya. Ini aneh, sungguh aneh, Tuan Kin yang terkenal tidak pernah tertarik dengan makhluk Tuhan yang bernama perempuan, kini justru tak ingin beranjak dari tempatnya berdiri. Raihana seperti tontonan menarik yang belum pernah dia saksikan. Entah karena adegan tarik hijab yang baru terjadi ataupun karena terpesona dengan kecantikan natural Raihana dengan rambutnya yang indah. * Raihana menatap hijabnya yang berada di tangan salah satu pria berjaket hitam dengan hati terluka. Mungkin, para pria kejam di ruangan ini menganggap selembar bahan berbentuk persegi empat itu hanyalah barang murahan yang berharga dua puluh ribu rupiah. Tapi dibalik itu, fungsinya jauh berkali lipat dari harganya. Hijab itu adalah barang paling berharga bagi seorang muslimah yang mengerti akan aurat dan kewajiban melaksanakan titah Tuhannya. "Kembalikan hijabku!" ucap Raihana lirih pada pria yang memegang hijabnya. Tatapan matanya seolah siap melesatkan anak panah dan ke sepuluh jemarinya mengepal erat. Tapi bukannya mengabulkan permintaan Raihana, pria itu malah mengangkat tangannya ke atas dan memutar-mutar hijab Raihana hingga kain selembar itu melayang dengan gerakan memutar, mengikuti tangan sang pria. "Ambil saja jika kamu bisa! Haha!" Pria itu tertawa penuh ejekkan yang disambut dengan tawa ketiga temannya. "Ah, sepertinya kain murahan begini bagus dijadikan lap untuk sepeda motorku saja. Iya tidak?" ejek pria itu lagi. "Jangan! Kain itu lebih cocok kalau jadi lap sepatuku saja," timpal yang lain. "Nah, iya. Itu lebih cocok. Jadi lap sepatumu yang butut itu. Hahaha." Kepalan jari-jari Raihana kian mengerat saja hingga urat-uratnya bertonjolan mendengar penghinaan mereka yang makin menjadi tentang hijabnya. Kepalanya sudah mendidih dengan kemarahan yang siap disemburkan. Dan ini, membuat urat takutnya putus seketika. Maka, dengan sekuat tenaga Raihana berteriak. "KEMBALIKAN HIJABKU!!!!!!" Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD