KOTAK KOSONG

1085 Words
Seketika, ruang tamu yang megah dan luas itu hening. Pria berjaket hitam yang tadi memutar-mutar hijab ke atas, langsung menurunkan tangannya bersamaan dengan tawanya yang menghilang seketika dan wajah tercengang tanpa suara, nyaris seperti patung. Tak hanya pria yang memegang hijab Raihana yang terdiam, tapi juga ketiga temannya yang lain, Cakra, dan ... Tuan Kin. Mereka semua hampir tak percaya kalau Raihana akan bereaksi seperti itu. Sangat berani. Tapi ini apa yang dilakukan Raihana barusan justru membuat Tuan Kin semakin mengagumi sosok Raihana yang terlihat lembut namun sebanarnya sangat pemberani untuk hal-hal tertentu. Pada saat itulah, secepat kilat Raihana mengambil hijabnya dari tangan sang pria berjaket hitam dan langsung dikerudungkan di kepalanya. Tapi belum juga terpasang sempurna, sebuah tangan kekar tiba-tiba merebut hijab tersebut. Sontak Raihana menoleh. "Tu-tuan Kin...," ucap Raihana dengan suara lirih. Tuan Kin menyeringai penuh arti. "Kamu tadi sudah dengar bukan kalau aku tidak suka dengan hijab. Di sini semua pelayan memakai pakaian pelayan yang sama. bertangan dan ber-rok pendek. Tidak ada yang berhijab. Peraturan itu juga berlaku untuk kamu. Jadi, hijabnya aku sita dulu." Tuan Kin berbalik, hendak melangkah tapi terhenti karena mendengar apa yang diucapkan oleh Raihana. "Anda tidak menyukai hijab? Aku rasa anda bukanlah seorang muslim." Deg. Ada pukulan telak di hati Tuan Kin. Namun, dia cukup gengsi untuk mengaku kalah. Dia pun tersenyum kecil lalu menoleh. "Kamu rupanya tipe perempuan pembangkang. Aku suka itu." Lalu dengan gayanya yang santai dan dengan hijab Raihana di tangan, Tuan Kin kembali melangkahkan kakinya masuk lebih ke dalam dengan diikuti Cakra dari belakang. Raihana menggeram. Dia tidak perduli Pria yang baru membawa jilbabnya itu akan berbuat apa padanya nanti, yang pasti dia tidak akan tinggal diam. Raihana menarik nafas dalam-dalam, lalu.... "Hai, Tuan Monster! Kembalikan hijabku!" teriaknya sembari berlari mengejar Tuan Kin. Dia hampir dapat mencapai jasnya Tuan Kin ketika ketiga keempat pria berjaket hitam itu, berhasil menangkap tubuh Raihana, menyeretnya ke arah yang berbeda. *** Klak. Dari baliknya Cakra masuk dan kemudian merentangkan tangan ke arah dalam untuk mempersilahkan Tuan Kin masuk. Tuan Kin pun melangkah dengan santai ke dalam dengan tangan satu di dalam saku celana sementara satunya lagi memegang hijab Raihana. "Maaf atas kejadian barusan tuan. Saya tidak menyangka kalau gadis itu sangat berani kepada anda. Mungkin karena dia belum tau siapa anda sebenarnya. Nanti saya akan memberinya pelajaran," ucap Cakra dengan wajah penuh penyesalan. Tuan Kin melempar hijab Raihana ke atas tempat tidur. Selanjutnya dia membuka kancing jas yang melekat di tubuhnya. "Tidak perlu, karena sebenarnya dia tidak bersalah. Yang salah adalah kita." Mata Cakra melebar mendengar ucapan Tuan Kin. "Bagaimana anda bisa bicara seperti itu? Jelas-jelas tadi dia berteriak dan memanggil anda Tuan Mons-ter." Di bagian kata 'monster', Cakra merendahkan suaranya karena takut majikannya itu tersinggung. Gerakan tangan Tuan Kin di kancing jasnya terhenti. Dia lalu terdiam merenungkan ucapan Cakra. Benar sekali. Raihana tadi memanggilnya Tuan Monster. Bukannya marah, Tuan Kin justru tersenyum geli. Untungnya dia sedang membelakangi Cakra sehingga assisten pribadinya itu tidak melihat senyumnya. "Aku rasa panggilan itu tidak buruk." Dahi Cakra mengerut. "Jadi anda pikir panggilan itu bagus?" Tuan Kin tidak menjawab pertanyaan Cakra. Pria itu membuka jasnya dan memberikannya pada Cakra. "Aku akan mandi dulu. Kamu bisa keluar untuk mempersiapkan makan malamku." Cakra mengangguk. "Baik tuan." Pria itu lalu berbalik dan kemudian keluar dari kamar. Sementara di tempat lain, keempat pria berjaket hitam itu menyeret Raihana ke sebuah ruangan sebelum akhirnya mendorong gadis itu di hadapan seorang wanita tua berusia 60 tahunan. "Beri pakaian pelayan dan kamar untuknya. Lalu beritahu apa saja pekerjaannya!" seru pria yang tadi menarik hijab Raihana. Sepertinya pria itu adalah ketua dari ketiga pria berjaket hitam lainnya. Perempuan tua yang dipanggil Ibu Asih itu mengangguk. "Baik. Tenang saja. Dia akan menjadi urusanku. Kalian boleh pergi." "Baguslah." Keempat pria itu lalu berlalu dari ruangan dengan wajah kesal. Raihana cukup melelahkan. Selepas kepergian keempat pria tersebut, Ibu Asih mendekati Raihana dan membantu gadis itu berdiri. Tatapannya lembut. Mengingatkan Raihana pada neneknya di rumah. "Nama kamu siapa, nak?" tanyanya dengan suara lirih nan lembut. Meskipun saat ini Raihana sedang sangat bersedih dan lutut sakit akibat berbenturan dengan lantai dua kali, Raihana mencoba untuk menyunggingkan senyum meski hanya sedikit. "Namaku Raihana, bu. Tapi ayahku memanggilku Hana." "Nama yang cantik. Secantik orangnya." Raihana tertawa kecil. Kehadiran Ibu Asih sedikit mengobati kesedihannya. "Kalau nama ibu siapa?" "Nama ibu, Asih. Semua memanggil Ibu Asih. Ibu kepala dapur di sini." "Ooo ... di dapur ada kepalanya juga. Ternyata Tuan monster itu sangat kaya." Ibu Asih tersentak. "Apa tadi kamu bilang? Tu-Tuan Monster? Kamu memanggilnya Tuan Monster? Tuan Kin bisa marah kalau mendengar ini." "Tapi dia tadi sudah mendengarnya. Aku mengatakannya langsung kepadanya. Dia tidak marah." Ibu Asih menghela nafas. Perasaannya tidak enak. "Ya sudah. Lupakan tentang itu. Sekarang ikutlah denganku." Ibu Asih melangkah dan Raihana mengikuti dari belakang. Rupanya dia memperkenalkan gadis itu dengan seluruh pelayan bagian dapur. * Klak. Pintu kamar mandi terbuka. Dari baliknya Tuan Kin muncul dengan hanya dengan selembar handuk tebal berwarna coklat yang melingkari pinggang, memperlihatkan badan atas tubuhnya yang berotot dan perutnya yang kotak-kotak. Tak hanya memiliki wajah yang sangat tampan, Tuan Kin juga memang memiliki tubuh yang bagus. Dia adalah paket lengkap dari seorang pria. Tampan, bertubuh bagus, dewasa, sukses, dan kaya raya. Banyak wanita yang tergila-gila dengan apa yang dipunya. Tapi itu semua tidak membuatnya bahagia. Tak ada yang tahu kalau hatinya hampa. Dia seperti kotak perhiasan yang dibentuk sedemikian indah dan menariknya oleh Tuhan, tapi tak ada isi apalagi perhiasan yang menyilaukan mata. Tuan Kin melangkah melintasi kamarnya yang luas dan berlantai karpet beludru tebal, nyaris tanpa suara langkah kaki. Dia hendak mendekati lemari pakaian, tapi ketika melewati tempat tidur berwarna gold ukuran King Size yang ada di ruangan itu, langkahnya terhenti karena kedua matanya yang tajam menangkap sesuatu yang menarik mata. Yaitu selembar hijab yang tergeletak di atas tempat tidur itu. Tuan Kin tercenung menatap hijab tersebut dan ingatannya kembali pada kejadian di ruang tamu. Yaitu saat untuk pertama kalinya dia bertemu dengan seorang gadis yang tidak terpikat sedikit pun kepadanya dan malah tanpa rasa takut mencacinya. Ini adalah kejadian langka menurutnya, dan ... dia menikmatinya. Ini aneh. Tapi itulah kenyataannya. Hari ini dia merasa hatinya tidak kosong lagi dan mulai terisi. Bahkan, kini tanpa bisa dihalangi, dia bisa tersenyum setelah sekian lama kehilangan ekspresi wajah yang satu itu. Yakni sejak kecelakaan yang menimpa keluarganya terjadi. Saat dimana dia kehilangan seluruh keluarganya. Papa, mama, dan adik tercinta. Tuan Kin meraih hijab itu dan menatapnya lekat. Ada bayangan wajah jelita di sana dan membuatnya ingin bertemu kembali. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD