Bab 3. Memakai Payung

1466 Words
“Kirain aku mau dijodohin sama yang satunya. Soalnya lebih tampan.” Adel menatap Neina dan Rega yang saat ini memilih duduk di ruang tengah setelah jamuan tadi. Semua para tamu itu juga sudah pulang membuat Adel dan keluarganya sudah bisa kembali bersantai. Namun, kedua orang tua mereka memilih untuk masuk ke dalam kamar. “Pak Farraz maksud kakak? Dia mah dosen aku.” Adel mengangguk. “Iya, dosen kamu itu.” Ia lalu bergerak mendekati Neina. “Kamu kenapa nggak pernah bilang punya dosen secakep itu?” Tuk. Kali ini Rega melempar kulit kacang ke kepala Adel. “Kamu dijodohin sama Vano bukan Farraz. Jangan serakah.” Adel berdecak. “Ya kan bisa aja gitu Farraz yang dijodohin sama aku, lagian anaknya juga satu sekolah sama Ica kan? Hm, pas tuh padahal.” Neina memutar bola matanya. “Kakak tahu mendiang istri Pak Farraz itu cantik, sangat cantik bahkan melebihi kakak cantiknya. Jadi, jauh-jauh deh. Jangan berharap lebih. Soalnya, jatuhnya ntar sakit. Lagian, Pak Farraz masih belum bisa melupakan istrinya.” “Tahu darimana kamu istrinya cantik?” “Tadi, aku pas jagain Ica sama Aziz aku sekilas lihat wallpaper hp Aziz ada gambar Ibunya. Jadi, aku tanya.” Adel seketika mengerucutkan bibirnya. “Tapi, Vano juga oke sih. Kelihatan lebih ramah juga daripada dosen kamu yang dingin begitu.” “Cowok yang dingin itu biasanya lebih hot lho, dek.” Rega tersenyum misterius membuat kedua adik perempuannya itu menatapnya bingung. “Hot gimana?” tanya Neina dan Adel bersamaan. “Hot diatas ranjang.” Rega menjawab lalu terbahak saat melihat kedua adiknya memerah dan segera menyerbu untuk memukulnya tanpa ampun. * Neina melepaskan snelli putih yang dikenakan saat praktek sebelumnya. Ia lalu keluar dari laboratorium dengan menggantungkan snelli putih itu di kedua lengannya di depan d**a. Hari ini tiba-tiba saja hujan deras, membuat Neina terjebak di kampusnya. Ia hendak ke parkiran pun tidak bisa mengingat mobilnya terparkir cukup jauh dari laboratorium dan bisa saja membuatnya basah kuyup. Musim hujan akhir-akhir ini memang sedikit mengganggu aktifitas, namun tak urung Neina begitu menyukai hujan karena bagaimana pun cuaca saat hujan mampu mendamaikan perasaannya. Seketika ia melihat Pak Farraz yang berjalan keluar dari laboratorium masih menggunakan snelli putih lalu tampak dahinya berkerut samar melihat hujan yang begitu lebat. Seakan merasa diperhatikan, pria itu menoleh dan menatap Neina dengan wajah datar tanpa ekspresi. Neina segera mengalihkan pandangannya ke depan dengan ekspresi malu saat ketahuan menatap dosennya itu. Ia menggigit tipis bibirnya benar-benar merasa seperti orang bodoh yang ketahuan mengintip. “Kamu mau ke parkiran?” tanya suara dengan aksen yang begitu maskulin terdengar di telinga Neina. Gadis itu melebarkan mata tak percaya, ternyata Pak Farraz menghampirinya sambil membawa payung yang tampaknya memang sudah ia siapkan sejak awal. “P-Pak Farraz,” gumamnya gugup seketika karena jarak mereka yang begitu dekat. “Saya tanya, kamu mau ke parkiran?” Neina menipiskan bibir lantas mengangguk. “Ayo barengan. Sudah mau gelap dan hujan masih belum reda.” Sekali lagi Neina tidak percaya akan tawaran tersebut. Memang benar jadwal kuliahnya hari ini sampai jam 5 sore tapi karena memang dia terlambat menyelesaikan praktiknya sehingga Neina keluar paling akhir dan sekarang sudah jam setengah 6. Kampus sudah sangat sepi dan tidak lagi terlihat mahasiswa dimana pun. Satu-satunya jalan adalah menerima bantuan Pak Farraz. “B-baik, Pak.” Keduanya berjalan bersisian menembus air hujan itu menuju parkiran. Untung saja tidak lagi terlihat mahasiswa atau jika tidak bisa digosipkan dia dengan dosen ini dan itu membuatnya semakin merasa segan pada sosok di sebelahnya ini. Neina merasakan air tetesan hujan mengenai bahunya karena dia benar-benar tidak berani sedekat itu dengan Pak Farraz. Jantungnya bahkan berdebar sangat kencang karena takut. Tiba-tiba ia merasakan bahunya dipegang lalu tak lama kakinya dipaksa bergeser lebih dekat. “Kalau kamu berdiri terlalu jauh sama saja kamu tetap basah,” gumam Pak Farraz sambil merangkul bahunya dan memaksanya untuk tetap mendekat dengan pria itu. Tentu saja apa yang dilakukan Pak Farraz membuat wajah Neina merona dengan jantung berdebar hebat. “P-pak—” “Diam, sudah hampir sampai.” Neina menelan salivanya seketika. Ia benar-benar diam dan terus melangkahkan kakinya sampai akhirnya keduanya tiba di parkiran. “Mana mobil kamu?” Neina menunjukkan mobil suv berwarna putih. “Terima kasih, Pak.” Ia berniat untuk berlari saja ke mobilnya yang sudah tidak jauh karena saat ini mereka berdiri di sebelah mobil Pak Farraz. “Sebentar,” Pria itu seketika membuka mobilnya kemudian segera masuk. “Kamu bawa saja payungnya.” “Eh, tapi Pak—” “Tidak apa-apa. Bisa kamu kembalikan kapan-kapan ke saya. Saya pulang dulu.” Tanpa menunggu jawaban Neina, pria itu menutup mobilnya dan mulai meninggalkan parkir. Neina seketika menepuk pipinya. “Apakah ini semua mimpi?” tanyanya lebih kepada dirinya sendiri. Ia langsung berlari ke arah mobilnya diantara beberapa mobil yang masih ada disana dan segera cabut dari kampus. * Malam ini Neina memilih untuk membuka i********: dan melihat nama dosen yang membuatnya terus memikirkan pria itu sejak sore hari. Biasanya Neina tidak terlalu penasaran, tapi malam ini tampaknya ia tak bisa tidur karena perlakuan Pak Farraz yang tidak biasa. Ia mendapatkan i********: pria itu karena memang diberi tahu oleh teman-teman yang tergila-gila dengan Pak Farraz. Pengikutnya tidak terlalu banyak dan mungkin dilihat dari story terakhir saja sekitar tiga bulan lalu. Neina bergerak men-scroll story dari dosennya yang tidak terlalu banyak. Di bagian bawah ada foto Pak Farraz bersama istrinya yang sedang hamil. Pria itu memeluk istrinya dari belakang sambil mengelus perut istrinya yang membesar. Melihat itu membuat Neina seketika tersenyum kecil dan memikirkan di dalam kandungan itu ada Aziz. Tanpa sengaja ia mengklik tanda love disana membuat Neina melebarkan bola matanya. “Eh eh eh?!” Neina menepuk dahinya seketika. “Duh, bego banget gue. Bisa-bisanya gue like itu foto!” Ia bahkan bingung bagaimana ia berani bertemu dengan Pak Farraz esok hari dan mengembalikan payung Bapak itu? Neina menenggelamkan wajahnya di bantal lalu berteriak keras seakan mampu melampiaskan rasa malunya. Ia hanya berharap bahwa Pak Farraz tidak lagi membuka instagramnya. Apalagi terlihat Bapak itu tidak pernah post sesuatu sejak tiga bulan lalu. Ya, semoga saja begitu. * Bunyi notifikasi di ponselnya membuat Farraz yang baru saja mandi sambil mengeringkan rambut basahnya dengan handuk langsung meraih ponselnya. Ia mengernyitkan dahinya melihat ada notifikasi dari i********: yang digunakan hanya untuk sekedar membaca informasi dan ataupun berita yang sedang hangat-hangat terjadi di Indonesia. Bibirnya seketika menipis melihat nama ‘Neina_C’ menyukai salah satu fotonya bersama Zia. Lelaki itu lalu memilih menggantung handuknya dan memilih tidur dengan mengenakan celana piyama hitam panjang yang melorot ke pinggang tanpa mengenakan pakaian atasnya. Ia membuka profil Neina kemudian menatap sekilas foto-foto dari mahasiswinya itu. Ada satu foto yang membuat Farraz penasaran dan itu foto di kampus yang diambil secara candid. Tak lama Farraz melihat ada notifikasi ke pesannya. Ia membuka pesan dan melihat bahwa Neina mengiriminya pesan. ‘Maaf Pak, saya benar-benar tidak sengaja telah meng-like foto Bapak. Saya tidak bermaksud apa-apa kok, pak. Dan saya juga mau berterima kasih atas bantuan Bapak tadi sore.’ * Neina nyaris gila melihat dosennya online tepat setelah ia menyukai salah satu foto Pak Farraz bersama istrinya. Menarik napas dalam-dalam, Neina memilih untuk mengikuti pria itu lalu mengirimi pesan. Berharap, Pak Farraz tidak akan salah paham padanya. Tak lama ponselnya berbunyi dan benar saja, itu adalah balasan dari dosennya. Jantungnya bahkan berdebar keras untuk membuka isi pesan tersebut. ‘Ya, tidak apa-apa, Neina.’ Neina memilih untuk tidak membalas lagi karena benar-benar tidak ingin mengganggu lelaki itu yang pastinya lelah, apalagi ini sudah hampir tengah malam. Tapi, tidak lama ponselnya kembali berbunyi. Mata Neina melebar seketika saat Pak Farraz kembali mengiriminya pesan. ‘Kamu belum tidur?’ “Oh my!” seru Neina dengan jantung yang terus berdebar. “Ini gue mimpi apaan sih tadi malem, bisa-bisanya hari ini Pak Farraz bikin jantung gue ketar-ketir terus.” Tak menunggu lama, Neina segera membalas. ‘Saya belum ngantuk, Pak. Bapak sendiri tidak tidur? Sekali lagi maafkan saya karena sudah mengganggu bapak.’ Neina memang merasa bersalah. Seandainya dia tidak kepo akan dosennya itu, mungkin Pak Farraz sudah tidur dengan nyenyak dan beraktifitas kembali esok hari. ‘Saya mau tidur sekarang. Kamu juga, ini sudah malam. See you, Neina. Good night.’ ‘Baik, Pak. Good Night.’ Hanya itu yang Neina balas. Ia berharap bahwa pertemuan dengan Pak Farraz besok tidak akan canggung mengingat mereka membalas pesan malam ini seperti orang yang memiliki hubungan lebih dari dosen dan mahasiswa. Tidak! Neina tidak boleh berpikir seperti itu. Ia tidak ingin berharap disaat hatinya mulai tergerak untuk menyukai dosen ini. Tidak boleh! Tidak boleh! Neina tidak boleh jatuh begitu saja akan perhatian kecil dari Pak Farraz jika tidak ingin sakit hati seperti wanita lainnya yang ditolak mentah-mentah oleh lelaki itu dengan sadis dan kejam. Ya, Neina harus menguatkan hatinya dan tidak boleh lemah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD