Bab 4. Bertemu Kembali

1201 Words
Siang ini Neina menemani Ica ke gramedia untuk membeli buku-buku yang diinginkan oleh adik kecilnya. Ica ingin membeli buku cerita bergambar karena setiap malam gadis kecil ini meminta Mama selalu menceritakan dongeng sebelum tidur. Tapi, sayangnya bukunya sudah tamat maka itu Ica ingin dibelikan buku baru dan Mama meminta Neina menemani adiknya karena hanya dia yang libur hari ini. “Look at that!” Ica menarik ujung baju kemeja Neina sambil menunjuk ke satu arah di bawah. “Tak Aziz!” seru Ica memanggil Aziz yang ternyata sedang memilah buku juga. Neina melebarkan matanya saat Ica berlari begitu saja menghampiri Aziz yang jaraknya cukup jauh dan di lantai bawah. “Ca, slow down!” Ica tak mendengar. Adik kecilnya itu terus berlari sampai tiba di tempat Aziz membuat lelaki itu melebarkan mata tidak percaya bertemu Ica disini. Neina yang berhasil mengejar Ica kini menundukkan badannya dengan kedua tangan menumpu pada lututnya sambil menghela napas tersengal. Adiknya benar-benar mengajaknya berolahraga. “Wow, Kak Neina!” seru Aziz saat melihat Neina kemudian yang kini sedang mencoba menarik napas perlahan. “Ic-a, hah hah hah.” Neina tidak habis pikir, adiknya apa tidak capek berlari seperti itu? Neina memang tidak pernah sama sekali berolahraga sehingga tubuhnya mudah lelah padahal hanya berlari yang tak sampai lima menit. Kini Neina sudah tampak bisa mengatur napasnya dan berkacak pinggang. “Duh, sesak napas gue!” gumamnya pada dirinya sendiri sambil mengkipas wajahnya dengan tangannya seketika, padahal ac-nya begitu dingin, namun kelakuannya saat ini sia-sia karena memang tidak berefek apapun. “Aziz sama siapa kemari?” tanya Neina saat melihat Aziz memilih mainan di lantai dasar dan tidak melihat siapapun mendampingi lelaki kecil ini. “Sama Daddy, tuh!” Aziz menunjuk Daddy-nya yang sedang berjalan ke arahnya sambil membawa sebuah buku tebal di tangan pria itu. Saat pria itu sudah berada di dekat mereka, Aziz langsung berkata. “Dad, Ica and Neina here.” “Pak,” Neina mengangguk sopan. Tentu saja malam setelah mereka mengirim pesan itu, dia sama sekali tidak berani untuk sekedar bertatap muka dengan Pak Farraz. “Kami permisi dulu.” Neina menarik tangan Ica untuk kembali ke lantai atas dan memilih buku yang belum sempat mereka beli. “Ica mau sama tak Aziz.” Ica merengut membuat Neina langsung berjongkok mensejajarkan diri pada adiknya itu. Ia menyelipkan rambut panjang Ica ke belakang telinga. “Ica kan belum pilih bukunya. Kak Aziz juga sibuk. Besok kan bisa ketemu di sekolah, ‘kan?” “Tapi—” “It’s okay. You can play with me, Ca.” Aziz menjawab sambil mengacak rambut Ica membuat gadis itu seketika tersenyum lebar. “Tapi, Ca. Kakak udah janji sama Mama supaya kita cepat pulang.” “Tidak apa-apa, Neina.” Kini Pak Farraz yang sedari tadi menyimak memilih untuk menyela percakapan tiga orang di depannya. “Nanti saya yang akan menghubungi orang tua kamu.” “Pak—” “Sebaiknya, kita makan siang dulu, setelahnya baru kalian main sepuasnya. Gimana?” Aziz mendengar tawaran itu langsung mengangguk. “Okay Daddy!” Ia menggandeng tangan Ica dan langsung mengajak Ica untuk berjalan lebih dulu di depan ayahnya. Neina hanya bisa pasrah dan memilih berjalan disebelah dosennya. Mereka hendak ke restauran yang memang tersedia di sebelah gramedia. Sebelum itu, Farraz membayar dulu bukunya dan juga mainan yang telah dipilih oleh puteranya sebelum mereka berempat ke restauran sebelah. * Farraz memanggil pelayan setelah mereka memutuskan untuk memilih makanan masing-masing. “I want ice cream, Daddy,” gumam Aziz pelan. “After lunch.” Farraz menjawab tegas membuat Neina menatap Aziz sambil tersenyum kecil memberikan semangat pada lelaki kecil itu. “Anak Mas sama Mbaknya lucu-lucu ya?” Pelayan wanita itu tampaknya tidak tahan jika tidak mengucapkan kalimat itu. Sejak tadi pasangan ini memang sudah menarik perhatian pengunjung dan juga pelayan restauran. “Eh?” tanya Neina seketika. “Saya bu—” “Makasih, Mbak.” Pak Farraz menjawab cepat membuat Neina melebarkan matanya menatap sosok Pak Farraz dengan tidak percaya. Pelayan wanita itu tampak tersenyum lalu mengangguk sebelum mencatat makanan mereka dan menyerahkan pesanannya itu pada pihak dapur. Setelah pelayan itu pergi, Neina langsung menatap Pak Farraz dengan tatapan penasaran. “Kenapa Bapak mengiyakan kata-kata mbak itu?” Farraz menipiskan bibirnya seketika, menatap Neina dengan tatapan datar. “Kenapa? Lagi pula, dia tidak mengenal kita dan itu tidak ada hubungan ke depannya, bukan?” “T-tapi tetap saja, Pak—” “Neina.” Suara Pak Farraz terdengar begitu dalam membuat Neina seketika langsung terdiam. Kini, mereka hanya mendengar Aziz dan Ica yang berceloteh karena keduanya memilih duduk berdampingan begitupula dengan Farraz dan Neina sehingga terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia. * Ketika Aziz dan Ica asik bermain di sebuah tempat bermain, Neina memilih untuk memperhatikan adiknya itu sambil duduk seorang diri karena sebelumnya Pak Farraz meminta izin untuk keluar sejenak. Kejadian ini benar-benar sama sekali tidak diduganya ketika ia harus bertemu dengan dosennya ini. “Ini untuk kamu.” Seketika Neina menengadah dan menerima minuman kaleng yang dibeli oleh Pak Farraz. “Terima kasih, Pak.” Pria itu tidak menjawab dan hanya duduk di sebelah Neina lalu menatap puteranya dan Ica bergantian. Sebelum tatapannya jatuh pada sosok Neina yang entah kenapa akhir-akhir ini terasa begitu dekat dengannya. Entah takdir atau kebetulan sehingga mereka terus menerus dalam keadaan yang tidak bisa dihindari untuk terus bersama. Farraz menghela napas sepelan mungkin. Ia bahkan melihat puteranya juga cukup antusias sama Neina, tapi, ia masih belum bisa membuka hati untuk wanita lain setelah ditinggal pergi oleh Zia. “Neina,” Mulutnya seketika memanggil gadis itu. Neina menoleh dan menatap Pak Farraz bingung dengan wajah datar yang tidak bisa dimengerti oleh siapa pun kini menatapnya seakan menilainya. “Saya—” “Daddy!” seru Aziz memanggil ayahnya membuat Farraz mengalihkan tatapannya dan menuju ke arah puteranya. Neina sendiri memilih diam di tempat karena ia benar-benar penasaran apa yang hendak Pak Farraz katakan dengan wajah datar dan mata yang tajam itu? Ia meraba dadanya seketika yang berdetak sangat kencang. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ia benar mulai menyukai Pak Farraz seperti teman-temannya yang lain. Neina menggeleng cepat. Ia tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. Neina segera menghampiri Ica yang tampak asik bermain. Semakin lama di dekat dosennya ini, keadaan jantungnya semakin tidak bagus. “Ca, ayo kita pulang!” “Ica macih mau main, Tak.” Neina menajamkan matanya melihat Ica membantah. Jujur saja, dia tidak tega tapi dia tidak punya pilihan lain selain dari menghindari Pak Farraz yang sudah membuat dampak lain untuk hati dan jantungnya. “Ca, kita pulang—” Neina menatap Ica yang kini terdiam sambil menatap Aziz seakan meminta bantuan pada lelaki kecil itu. “Now, Ca!” Ica menurut. Dia keluar dari tempat permainan itu dan meraih tangan Neina. “Neina, saya sudah mengabari orang tua kamu—” Neina menggeleng pelan dan menunduk sedikit untuk menghormati dosennya. “Sebaiknya saya permisi, Pak.” Ia menoleh pada Aziz yang tampak diam menatap Neina. “Maafin kakak ya? Lain kali kita bermain lagi, okay?” Aziz terpaksa mengangguk dan mengulurkan kelingkingnya. “Promise?” Neina menyambut uluran kelingking pria kecil itu. “Promise, Sweetheart,” balas Neina sebelum kembali menatap Pak Farraz dan memilih pergi meninggalkan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD