“Kak, hari ini kakak ketemu Mas Vano?” tanya Neina sejenak. Siapa tahu kakaknya ingin bertamu ke rumah orang tuanya Pak Farraz sehingga Neina bisa menitipkan payung yang dipinjamnya sore itu.
Adel menggeleng pelan. “Enggak sih. Paling ke rumahnya Tante Ola aja mau kasih brownies titipan Mamah.”
Mata Neina melebar seketika. “Kalau gitu aku titip sesuatu ya?”
“Titip apa?” tanya Adel curiga sambil menyipitkan mata.
“Sebentar!” Neina segera berlari dan kembali dengan membawa sebuah payung berwarna putih. “Ini tolong kasih sama Pak Farraz.”
“Heh? Sejak kapan payung Mas Farraz sama kamu?”
Neina berdecak. “Udah kakak kasih aja ya?”
“Kasih sendiri ah, dek. Lagian Mas Farraz nggak tinggal sama orang tuanya. Dia tinggal sendiri di rumahnya setahu kakak.”
Neina lagi-lagi berdecak. “Ya sudah nggak pa-pa. Ntar kakak titipkan saja sama orang tua Pak Farraz.”
Memutar bola matanya Adel memilih mengiyakan daripada harus berdebat dengan adik bawelnya ini. “Emang kamu hari ini nggak ngampus?”
“Nanti jam dua.”
“Kan tinggal kamu kasih sendiri sama Mas Farraz di kampus.”
Neina menggeleng pelan. “Aku nggak ketemu sama dia. Lagian kalau anak-anak yang lain lihat, bisa berpikir macam-macam mereka.”
Adel mengedikkan bahunya. “Berpikir macam-macam juga kamu nggak rugi. Toh, Mas Farraz adalah paket complete seorang pria impian wanita.”
“Udah sana pergi! Keburu browniesnya dingin tuh.” Neina langsung mengusir kakaknya untuk segera pergi.
“Iya bawel! Bye, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
*
Siang ini dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas dengan gontai. Ia benar-benar merasakan tidak enak badan sejak kemarin karena kepalanya mendadak pusing. Bahkan Neina merasa mulai bersin dan pilek. Mungkin memang cuaca sedang tidak mendukung yang kadang terasa panas banget kemudian sorenya langsung hujan tiba-tiba.
“Lo baik-baik aja, Na?” tanya Jihan saat melihat wajah Neina pucat.
Neina mengangguk. “Gue baik-baik aja kok.”
“Yakin?” Jihan tampaknya tidak mudah mempercayai temannya ini. Namun, melihat Neina mengangguk, Jihan pun tidak bertanya apapun lagi.
Neina memainkan pulpennya sambil menunggu dosen masuk. Seorang wanita muda yang baru saja menikah masuk untuk memberikan materi hari ini. Mata kuliah hari ini cuma satu dan hanya 2 sks saja sehingga Neina bisa pulang lebih cepat.
Setelah diberikan penjelasan materi dan sebagainya mengenai bioteknologi kedokteran tentang cloning, pembuatan vaksin, pembuatan antibiotik, rekombinasi DNA dan lain sebagainya. Mereka minta mengulas kembali di rumah mengenai hal-hal di atas.
Selesai pelajaran tentang bioteknologi, Neina kini menyandarkan wajahnya ke meja membiarkan pipinya menempel disana. Kepalanya benar-benar pusing seketika sehingga untuk berdiri saja terasa sangat berat.
“Na, gue anter aja mau?” Jihan menawar saat ia meraba kening Neina yang terasa panas. “Lo demam ini.”
“Nggak apa-apa. Lo pulang aja duluan ntar gue bisa telepon abang gue kok. Kebetulan dia juga di rumah.” Neina memang tidak membawa mobilnya sendiri dan tadi dia minta diantar oleh abangnya karena memang firasatnya dari rumah sudah tidak enak dan tidak akan sanggup bawa mobil sendirian.
Jihan yang tadinya berdiri memilih untuk kembali duduk. “Ya udah, gue tunggu disini sampai abang lo jemput.”
Melihat temannya yang keras kepala membuat Neina berdecak. “Lo pulang aja, nggak apa-apa.” Ia lalu mengeluarkan ponsel dari tasnya kemudian menghubungi sang kakak. “Nih lihat, gue telepon abang gue.” Tunjuk Neina pada Jihan agar gadis itu percaya, dia benar-benar meminta abangnya untuk menjemputnya.
Tak lama, panggilan itu terangkat. “Bang, jemput bang.”
“Berasa jadi tukang gojek gue cara lo minta jemput, dek.”
Neina tersenyum kecil. “Gue pusing banget ini. Tolong bang.”
“Iya, kamu tunggu di tempat tadi abang anter ya?”
“Oke.”
Neina segera mematikan teleponnya dan menatap Jihan yang menunggu reaksinya. “Udah lo pulang aja. Gue bisa nunggu abang gue disini sebentar lagi sebelum dia sampai.”
“Beneran?”
“Iya, Jihan!” seru Neina gemas akan sahabatnya ini. “Gue masih kuat untuk sekedar berdiri.”
“Ya udah, gue duluan nih ya? Lo kalau ada apa-apa kabarin.”
“Iya!” jawab Neina cepat lalu mengusir Jihan segera. Dia bahkan lebih pusing jika Jihan banyak bertanya seperti ini.
Sepeninggal Jihan, Neina kembali menyandarkan pipinya di atas meja, mencoba memejamkan matanya. Untungnya kelas ini tidak digunakan sore ini sehingga dia bisa menunggu sekitar tiga puluh menit disini sambil menunggu abangnya.
*
Farraz siang ini mengajar sore jam 4. Ia hendak melewati kelas A1, namun melihat sosok yang tampak dikenalnya, pria itu memilih untuk masuk lalu menatap Neina yang seorang diri sedang tertidur.
Sudah beberapa hari dia tidak bertemu dengan gadis ini. Terlihat seperti gadis ini menghindarinya setelah kejadian di gramedia siang itu. Dia sendiri juga paham kenapa Neina menghindarinya, karena pertemuan mereka bukanlah kebetulan semata.
Farraz mencoba menggoyangkan bahu Neina membuat perempuan itu melenguh sesaat. Tak lama, Neina mengerjapkan matanya perlahan. Ia menatap Pak Farraz dengan mata melebar.
“P-Pak Farraz,” serunya pelan sebelum melirik ponselnya. Neina melihat sudah jam 4 sore dan setengah jam dia tertidur. Bahkan, disana ada panggilan dari abangnya.
“Kamu tidur disini?”
“Ma-afkan saya, Pak. Saya harus pergi sekarang.” Neina hendak melangkah lalu tarikan di lengannya membuatnya mau tidak mau tertarik ke arah pria itu.
“Wajah kamu pucat.” Farraz lalu meraba dahi Neina yang terasa sangat panas. “Kamu demam, Neina.”
Neina hanya mengangguk kecil. “A-abang saya sudah di depan, Pak. Saya harus segera pulang.”
Farraz tahu betul bahwa selain demam, gadis ini benar-benar menghindarinya. Ia tidak memaksa dan mengangguk apalagi keadaan Neina yang tidak baik-baik saja.
“Langsung ke rumah sakit.”
Neina hanya mengangguk cepat lalu berusaha melepaskan genggaman di tangannya yang membuat jantungnya kembali berdebar hebat. “T-terima kasih perhatiannya, Pak.”
Tidak butuh menunggu jawaban, Neina segera keluar dari ruangan yang menyesakkan rongga dadanya tersebut. Ia langsung melihat mobil abangnya yang terpakir dan masuk dengan segera.
“Kenapa nggak diangkat sih, dari tadi abang telpon.”
Neina meringis. “Maaf Bang, aku ketiduran.”
“Kamu pucat banget, dek.” Pria itu merasakan tangannya di dahi Neina. “Astaghfirullah, badan kamu panas banget. Kita ke rumah sakit sekarang.”
“Ke apotik aja, Bang. Minum obat, besok juga baikan.”
Rega menggeleng tegas. Ia segera membawa mobilnya untuk menuju ke rumah sakit di universitas itu dan memeriksakan keadaan Neina mengingat itulah rumah sakit terdekat saat ini.
*
“Ini obat kamu.” Rega memberikan obat Neina yang diberikan gratis oleh pihak rumah sakit mengingat Neina adalah mahasiswa disana. “Harus rutin diminum karena keadaan kamu juga nggak baik-baik aja. Sampai rumah langsung makan, minum obat, terus istirahat. Besok nggak usah kuliah dulu, abang udah minta surat dokter. Abang sendiri yang kasih sama dosen kamu besok.”
Neina hanya mengangguk mengiyakan. Daripada ia membantah, abangnya akan semakin cerewet. Ya, setiap dia atau Kak Adel sakit, Rega akan selalu cerewet dan memberikan wejangan lebih daripada orang tua mereka sendiri. Tapi, Neina sangat bersyukur ia bisa memiliki abang yang sangat pengertian dan perhatian seperti ini.
“Ayo, kita pulang.”
Neina lantas mengikuti langkah abangnya untuk segera pulang dan beristirahat di rumah.