Beberapa hari ini Neina memang tidak pergi ke kampus sama sekali karena ia memang tidak sanggup. Pagi ini, keadaannya mulai membaik dan Neina memutuskan untuk mandi setelah beberapa hari ini ibunya melarangnya mandi karena demamnya yang sangat tinggi.
Neina memilih untuk mandi dengan air hangat dan membersihkan tubuhnya. Rasanya begitu menyenangkan bisa terkena air apalagi air hangat seperti ini. Begitu menyegarkan bagi tubuhnya yang tidak kena air selama beberapa hari belakangan.
Seusai mandi, Neina memilih memakai sweater karena cuaca diluar juga hujan dan dingin. Ia lalu memilih turun ke bawah karena berada di dalam kamar selama beberapa hari membuat merasa jenuh.
Neina ke dapur hendak membuat coklat panas karena ia benar-benar menginginkannya. Ia mulai menyeduh coklat bubuk yang dibawa pulang oleh ayahnya langsung dari Belgia.
“Gimana keadaan kamu?” tanya Kak Adel yang kini menyusulnya ke dapur.
“Masih pusing sedikit, Kak.”
“Sini, kakak aja yang bikin coklatnya. Kamu duduk aja dulu.” Adel memaksa lalu merebut cangkir dari Neina dan membiarkan adiknya duduk. Ia mulai menyeduh coklat untuk Neina.
“Payung waktu itu, udah balikin, ‘kan?”
Adel mengangguk. “Tante Ola nanya kok bisa payungnya sama kakak. Tapi, kakak bilang, itu payung dari kamu dan Mas Farraz yang pinjamin ke kamu.”
“Terus?”
“Ya udah tante Ola cuma senyum aja. Terus, kakak langsung pulang soalnya emang nggak lama disana.”
Tak lama Adel menyerahkan coklat itu ke hadapan adiknya. Ia memilih duduk di sebelah Neina sambil menatap wajah adiknya yang kemarin terlihat pucat kini berangsur membaik.
“Kamu sama Mas Farraz ada hubungan apa sih, Dek? Kayaknya deket banget sampai dia pinjami payung ke kamu.”
Neina menghela napas pelan lalu menggeleng. “Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Pak Farraz, Kak. Cuma kebetulan aja kemarin dia nawarin aku untuk ke parkiran bareng soalnya udah sore, nggak ada siapa-siapa lagi di kampus, hujan juga lebat banget makanya gitu deh.”
Adel menyipitkan mata curiga. “Selain itu nggak ada ketemu lagi?”
Neina terdiam sejenak membuat kecurigaan Adel semakin menjadi.
“Ada ‘kan? Dimana?”
Menghela napas pelan, Neina bergumam. “Di gramedia waktu aku antar Ica beli buku. Eh, malah nggak jadi kebeli karena Ica memilih bermain sama Aziz.”
“Jodoh emang,” gumam Adel membuat Neina melebarkan matanya.
“Ih, apaan sih.” Neina menipiskan bibirnya setelah menyesap coklat hangat itu. “Lagian seperti yang kakak tahu, Pak Farraz nggak akan bisa lupain mantan isterinya.”
“Bukan nggak akan, tapi belum melupakan.” Adel menyahut cepat. “Siapa tahu kan, dia mulai tergerak hatinya untuk deketin kamu.”
“Udah ah, nggak usah ngomong aneh-aneh.” Neina benar-benar malas membahas hal itu. “Lagian, cewek yang lebih kaya, cantik dari aku juga di tolak mentah-mentah sama dia.”
“Cewek itu kan bukan kamu, dek.” Adel bertingkah jahil. “Siapa tahu dia tertarik sama kamu.”
“Ih, udah ah!” seru Neina memotong pembahasan yang dihindarinya itu. Ia benar-benar tidak ingin diberi harapan apapun karena hatinya juga mulai merasa debaran itu sehingga Neina memilih untuk mengabaikannya dan tidak ingin berharap lebih. Sejujurnya jatuh Cinta pada Pak Farraz bukanlah hal sulit, apalagi dengan kesempurnaan yang dimiliki oleh laki-laki itu terlihat tak bercela.
Adel langsung tersenyum lebar. “Tuh lihat, pipi kamu merah gitu.”
Neina memutar bola matanya seketika dan memilih mengalihkan. “Jadi, hubungan kakak sama Mas Vano gimana?”
“Hari ini rencananya kakak mau ajak Olive jalan-jalan. Kamu mau ikut?” Adel sambil menyiapkan sarapan roti panggang untuk mereka berdua mengingat orang tua mereka masih diluar kota dan Bang Rega juga belum bangun tidur.
Neina berdecih seketika. “Sebelum kenal Mas Vano aja, nangis-nangis karena nggak mau dijodohin. Giliran udah kenal, eh langsung main bawa anaknya lagi.”
“Usil kamu ya!”
Neina hanya mengendikkan bahu dan kembali menyesap coklat yang sudah terasa hangat.
“Jadi, kamu ikut nggak? Kakak cuma berdua sama Olive soalnya Mas Vano sibuk sama perusahaannya.”
Neina tampak menimbang-nimbang lalu mengangguk. “Boleh, deh. Lagian ini juga hari minggu.”
“Biar kamu juga nggak bosen di rumah terus. Kita pergi jam sebelas ntar, sambilan nunggu hujan reda juga biar enak kemana-mana.”
Neina setuju lalu menerima roti panggang buatan kakaknya. “Thank you, Kak. Besok-besok nggak bisa dibikinin lagi, soalnya udah punya suami.” Neina terkekeh pelan lalu melahap roti panggangnya berselaikan stroberi ditemani coklat hangat.
*
Olive berada di pangkuan Neina karena Adel memilih untuk menyetir mobilnya mengingat Neina masih belum begitu sembuh. Gadis kecil itu tampak riang dan akrab dengan Adel mungkin karena beberapa kali mereka sudah bertemu. Apalagi kakaknya sangat mudah dekat dengan anak-anak sehingga membuat anak-anak menempel begitu saja padanya.
Mereka memilih untuk berjalan-jalan ke Mall dan membawa Olive bermain di tempat khusus mainan anak berusia 3 tahunan. Neina memilih duduk tak jauh dari sana dan memperhatikan sang kakak yang tampak bahagia sambil bermain bersama Olive.
“Kak Neina!” seru suara anak laki-laki membuat Neina seketika menoleh dan melebarkan matanya. Aziz berlari lalu memeluk Neina dengan cepat tanpa Neina menyadarinya. “I miss you,” gumamnya seketika.
Neina tersenyum lalu membalas pelukan Aziz. “I miss you too, Sweetheart.” Ia lalu menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. “Sama siapa kamu kemari?”
“With Daddy and aunty.”
Dahi Neina berkerut seketika. “Aunty?” tanyanya bingung.
“There!” Aziz menunjuk ke arah dimana Pak Farraz dan seorang wanita cantik nan elegan sedang mengobrol tanpa disadari oleh mereka.
Ada rasa tidak suka menyelinap di benak Neina saat melihat Pak Farraz bersama dengan seorang wanita yang begitu cantik. Ia memang tidak pernah melihat Pak Farraz di kampus dekat dengan seorang wanita, tapi, di luar kampus ia juga tidak tahu apa-apa mengenai pria itu.
Neina menghela napas pelan. Tampaknya ia harus membunuh rasa itu sebelum semakin membesar di dadanya.
“Kak Neina!” Aziz memanggil kembali membuat Neina mengerjap seketika.
“Aziz?” panggil Adel yang kini menggendong Olive.
“Olive!” seru Aziz lagi saat melihat anak dari paman Vano juga berada disana.
Adel tersenyum lalu bertanya pada Aziz. “Kamu sama siapa disini?”
“Sama Daddy dan Aunty.”
“Aunty?” tanya Adel bingung lalu menatap Neina yang mengendikkan bahunya acuh.
“Aziz, kenapa lari-lari?” tanya perempuan itu yang ternyata Aziz sudah berada bersama orang-orang yang tak dikenalinya.
“Aziz wanna meet Neina!”
“Neina?” tanya perempuan anggun dengan pakaian yang tentu saja mewah.
Adel lebih dulu mengulurkan tangannya pada perempuan yang disebut sebagai aunty oleh Aziz. “Adel, ini adik saya, Neina.” Adel lalu menunjuk Neina yang masih duduk tanpa berniat berdiri karena ia kini benar-benar pusing.
“Neina,” gumam Neina memperkenalkan diri sambil membalas salaman wanita yang dikatakan aunty oleh Aziz.
“Mas Farraz,” Adel menyapa lalu bersalaman juga dengan Farraz yang memilih menyusul anak dan adik iparnya.
Pria itu kini menatap Neina yang juga terlihat terpaksa mensalaminya karena bagaimana pun Farraz adalah dosen Neina.
“Ah, perkenalkan ini Disa, adik ipar saya.”
Adel tersenyum lalu melirik Neina yang tampak menunduk sama sekali tidak berminat untuk ikut dalam obrolan tersebut. “Iya, Mas. Kami juga sudah kenalan barusan.”
Farraz lalu mengenalkan Adel kepada Disa. “Ini Adel, calonnya Vano, Dis. Dan ini adiknya Adel, mahasiswi saya juga.” Farraz menunjukkan ke arah Neina.
Disa tersenyum yang membuat pria manapun akan jatuh hati saat ini juga. “Iya, saya tahu, Mas. Ini mereka membawa Olive.”
Jawaban itu membuat pipi Adel merona seketika.
“Keadaan kamu gimana? Sudah baikan?” tanya Farraz membuat Neina seketika menengadah lalu mengangguk tipis.
“Alhamdulillah, Pak. Sudah lumayan.” Neina menjawab seadanya.
“Saya membawa Neina supaya dia nggak merasa jenuh di rumah.” Adel berucap tanpa diminta karena tahu Mas Farraz membutuhkan kejelasan sementara Neina belum benar-benar sehat.
Farraz mengangguk lalu menatap puteranya sambil berjongkok. “So, kita pulang?”
Aziz tampak tidak setuju. “Tapi, Aziz masih mau bermain sama Kak Neina, Dad. Aziz miss her.”
“Aziz akrab sama Kak Neina ya?” tanya Disa kemudian.
Aziz mengangguk. “Kak Neina and Ica are the best partners, Aunty.”
“I see,” jawab Disa lalu berkata. “Kalau gitu, aku permisi dulu, Mas. Soalnya masih ada kerjaan yang harus diselesaikan di rumah.” Melihat Mas Farraz mengangguk, Disa menatap Adel dan Neina bergantian lalu meminta izin untuk pulang lebih dulu. Ia kemudian menatap Aziz. “Aunty pulang dulu ya? We’ll meet again, okay?”
“Okay, Aunty. Bye!”
“Bye-bye, sayang.”
Setelah wanita itu pergi, Neina terlihat menatap kakaknya dan berkata. “Kak, aku izin bentar mau ke toilet.”
Adel mengangguk.
Neina menatap Aziz dan berkata. “I need to go to the loo.”
“Loo?” tanya Aziz bingung membuat Neina terkekeh kecil lalu mengacak rambut Aziz yang terlihat berantakan namun tetap tampan.
“Toilet, Sweetheart.”
“Ah, okay.”
Neina kemudian segera ke toilet meninggalkan kakaknya bersama Pak Farraz dan juga Aziz. Ia merasakan perutnya seketika mual, keadaanya memang membaik tapi Neina tidak menyangka bahwa ia masih merasa mual.
Neina tidak muntah hanya merasa keadaannya tampaknya tidak begitu sehat. Memejamkan matanya erat, Neina berusaha kembali menguatkan diri untuk tidak terlihat sakit di depan mereka karena ia benar-benar tidak ingin merepotkan kakaknya.
Neina kembali bersama mereka dan melihat Kak Adel dan Pak Farraz sedang mengobrol, membiarkan Aziz dan Olive bermain sesukanya.
“Kamu baik-baik aja, dek?” tanya Adel sadar saat ia melihat Neina sudah kembali.
Neina mengangguk. “Aku baik-baik aja kok, Kak. Cuma sedikit pusing.”
“Harusnya kamu istirahat di rumah aja tadi ya.” Adel merasa sedikit menyesal.
Neina menggeleng pelan. “Nggak apa-apa kok, Kak.”
“Wajah kamu pucat banget itu. Iya ‘kan, Mas?” tanya Adel meminta pembelaan Mas Farraz.
Farraz mengangguk, lalu berkata. “Ayo, saya antar pulang.”
“Nggak apa-apa kok, Pak.” Neina tidak lagi membiarkan mereka berdua tanpa siapapun lagi. Ia tidak akan membiarkan itu terjadi lagi.
“Saya memaksa.” Terlihat wajah Pak Farraz yang begitu serius. “Kamu masih belum baik-baik saja, Neina. Apa kamu mau kuliah kamu terbengkalai lebih lama karena kamu tidak mau beristirahat sampai sembuh?”
Baik Neina dan Adel terdiam tidak berani berkutik.
“T-tapi Aziz masih ingin bermain P-ak,” lanjut Neina dengan pelan saat melihat tatapan Pak Farraz begitu tajam.
“Aziz nanti bisa pulang sama saya, Mas.” Adel menawarkan diri. “Kalau dipaksa pulang sekarang kasihan karena mungkin dia masih mau bermain.”
Neina melebarkan matanya, niat hati ingin membatalkan rencananya Pak Farraz malah kakaknya dengan senang hati menawarkan diri.
“Apa tidak kerepotan?” tanya Pak Farraz dengan suara lembut, tidak enak karena harus merepotkan Adel.
“Nggak sama sekali, Mas. Lagi pula, Neina tampaknya memang benar-benar butuh istirahat.”
Pak Farraz tampak menghampiri Aziz dan terlihat memberitahu lelaki kecil itu. Dilihatnya Aziz mengangguk kemudian kembali bermain. Pak Farraz kembali menatap Adel dan berkata. “Makasih, Del. Saya sama Neina pulang dulu.”
“Iya, Mas. Hati-hati.”
Farraz mengangguk tipis lalu menghampiri Neina. “Ayo, kita pulang.”
Neina hanya bisa memasrahkan kembali dirinya yang benar-benar terpaksa berduaan dengan Pak Farraz. Ah, sialan sekali.