Di mobil, baik Neina maupun Pak Farraz tampak diam dan tidak mengatakan apapun. Neina sendiri begitu gugup sehingga sejak tadi ia memilih untuk memilin kedua tangannya. Sementara Pak Farraz terlihat fokus menyetir.
Lama mereka dalam keadaan hening sampai akhirnya Neina yang tidak tahan memilih untuk membuka suaranya. “Pak,” gumamnya pelan. Ia tahu bahwa Pak Farraz menoleh dan seakan menunggu kalimatnya. “Sebaiknya... kita mulai sekarang nggak usah terlalu sering bertemu.” Neina menelan salivanya seketika. “Maksud saya, jika pertemuan diluar kampus yang tidak disengaja, sebaiknya anggap saja kita tidak saling kenal. Apa bisa, Pak?” tanyanya dengan takut karena bagaimana pun pria yang sedang menyetir di sebelahnya ini adalah dosennya.
“Tidak bisa dan saya tidak mau!” jawaban pendek dan tegas itu membuat Neina memejamkan matanya erat.
Ia juga tidak bisa jika terus begini. Lantas bagaimana Neina harus menjawab?
“T-tapi Pak, Bapak ngerasa nggak sih kayak ini tuh nggak wajar sebagai dosen dan mahasiswa?” Kini Neina lebih berani mengemukakan apa yang ada di pikirannya.
Farraz tidak langsung menjawab. Pria itu memilih menghentikan mobilnya di pinggir jalan kemudian menatap Neina serius. “Saya sadar memang hubungan kita nggak wajar karena akhir-akhir ini, kita memang begitu dekat.”
Neina kembali menelan salivanya dengan takut apalagi saat melihat Pak Farraz menghentikan mobilnya di pinggir jalan seperti ini.
“Saya ingin kamu tahu Neina, mulai saat ini, saya dengan terang-terangan akan mendekati kamu. Bukan sebagai dosen dan mahasiswa, tapi sebagai pria yang menginginkan wanitanya.”
Mata Neina melebar seketika. Ia tidak menyangka hal itu akan keluar dari bibir Pak Farraz sendiri.
“Saya ingin membuka hati saya lebih lebar dan lebih luas untuk kamu. Hanya untuk kamu, Neina. Saya tidak akan memaksa kamu, tapi apa yang saya katakan tidak main-main. Jadi, jangan pernah menolak setiap perhatian yang saya berikan ke kamu mulai sekarang.”
*
Neina menepuk kedua pipinya ketika pernyataan Pak Farraz sebelumnya terus terngiang-ngiang di kepalanya. Jantungnya bahkan masih berdebar hingga sekarang.
Apakah perasaannya terbalaskan?
Ataukah ini hanya mimpi karena bagaimana pun saat ini Neina sedang sakit sehingga ini mungkin hanya haluannya saja. Neina memilih membaringkan diri di kasurnya. Lalu, membuka ponselnya yang terdapat pesan dari teman-temannya menanyakan apakah besok ia sudah bisa masuk kuliah?
Neina ingin menjawab iya, dan berharap besok keadaannya sudah membaik. Lagi pula, sudah banyak mata kuliahnya yang terbengkalai hampir satu minggu ini.
Tak lama notifikasi baru muncul. Pak Farraz mengiriminya pesan. Neina lagi-lagi tidak bisa menahan euforianya walau hanya sesaat. Ia membuka pesan dari pria itu.
‘Segera makan dan minum obatmu. Lalu istirahat.’
Bibir Neina menipis seketika melihat pesan yang berisi perhatian dari sang dosen. Memang ini sudah malam dan kakaknya juga sudah pulang sejak tadi. Ia lantas membalas.
‘Baik, Pak. Terima kasih.’
Tidak butuh lama, lelaki itu langsung membalas.
‘Tidak perlu berterima kasih. Sudah kewajiban saya untuk memberikan perhatian kepada orang yang saya suka, bukan?’
Neina benar-benar merasa tidak yakin dengan semua ini. Rasanya ia tidak sabar menunggu hari esok untuk bertemu dengan dosennya itu. Ah, Neina berharap terlalu tinggi tampaknya. Tapi, jangan salahkan dia karena pria itu lebih dulu yang memulai memantik percikan api hatinya yang membuat kobaran itu membesar seketika.
Neina lalu membalas,
‘Terserah Bapak saja. Saya tidak ingin terlalu berharap.’
Ya, hanya itu jawaban yang mungkin saat ini cocok, padahal dia benar-benar sudah terlanjur berharap.
‘Saya serius sama kamu dan apa yang saya katakan, Neina. Saya akan melamar kamu setelah kamu benar-benar siap untuk berumah tangga sama saya.’
Jawaban yang diberikan oleh Pak Farraz membuat jantungnya semakin tidak aman. Ia benar-benar tidak akan bisa tidur malam ini dan terus membayangkan Pak Farraz serta perkataannya yang masih belum diterima di otaknya. Apakah ini sekedar janji kosong yang biasa diucapkan oleh laki-laki lainnya? Kemudian mematahkan janji itu begitu saja?
‘Saya tidur dulu, Pak. Saya butuh waktu untuk mencerna semua yang bapak katakan.’
Neina menghela napas pendek. Benar-benar tidak bisa di nalar jika seorang pria seperti Pak Farraz menyukainya.
Ting.
Ponselnya berbunyi dan Neina kembali menatap jawaban Pak Farraz dengan bibir menipis.
‘Silakan kamu berpikir. Good nite, Neina, see you tomorrow.’
Neina tidak membalas lagi karena ia tahu besok adalah mata kuliah pria itu. Sejenak, ia menatap langit-langit kamar sebelum memutuskan untuk minum obat yang disediakan oleh Kak Adel. Kemudian, segera beranjak tidur pulas malam ini.
*
“Farraz Atharuf As’ad!”
Farraz mengangguk mantap sambil menatap ayahnya yang kini sedang berada di perusahaan mereka. Ya, pagi ini adalah jadwal Farraz ke perusahaan dan membantu ayahnya sebelum benar-benar diturunkan kepada putera satu-satunya itu.
“Benar, Dad. Aku tidak main-main dan aku ingin menikah.” Ia tidak gentar sama sekali saat meminta restu sang ayah secara langsung seperti ini dengan tiba-tiba.
Abizar seketika menyugar rambutnya yang memang sudah rapi. Pikiran puteranya ini sama sekali tidak bisa di tebak. Ia menghela napas pelan lantas bertanya,
“Apa ibumu sudah tahu?”
“Belum.” Farraz menggeleng pelan. “I’m telling you first.”
“Who is she?”
Farraz menipiskan bibirnya dengan ironi. “Adiknya Adel, Neina.”
“What?!” seru sang ayah tidak percaya. Lelaki itu mengusap wajahnya kasar. “Her sister gonna married your cousin.”
“I know, Dad. But, please biarin aku jalanin sama Neina dulu. Lagi pula, tidak ada hubungan terlarang disini. Kalau pun Adel dan Vano mau menikah duluan, silakan.”
Abizar tidak habis pikir akan kemauan puteranya ini. Tapi, dia pun tidak mampu untuk melarangnya karena sejak lama memang ia dan istrinya mengharapkan bahwa suatu saat putera mereka ini mau membuka hati pada wanita lain selain Zia.
“Bukankah kalian ingin aku menikah agar ada yang bisa mendidik Aziz? Aku sudah menemukan wanitanya dan aku tidak main-main, Dad,” sambung Farraz berusaha meyakinkan sang ayah.
Abizar menghela napas panjang. “Tell your mom about this. We’ll see what she said.”
Farraz mengangguk lalu ia pamit untuk pulang mengingat ada jam mengajar pukul satu siang nanti dan itu adalah kelasnya Neina. Lalu, malamnya akan ada operasi di rumah sakit sehingga ia memutuskan akan membahas ini kembali pada orang tuanya nanti, setelah Neina benar-benar menyatakan kesetujuannya untuk menjalin komitmen bersamanya.
*
Neina membiarkan rambutnya disapa angin lembut yang menerbangkannya kesana kemari tanpa mengeluh. Ia menggunakan jarinya untuk menyelipkan rambutnya di belakang telinga sebelum memilih masuk ke kelas dan kembali membaca buku di depannya dengan seksama.
Tangannya bergerak menyapu lembar per lembar buku kedokteran yang ia baca. Kuliah di jurusan kedokteran membuatnya harus terus belajar untuk mengejar mimpinya menjadi dokter spesialis bedah umum. Untung saja keadaannya memang sudah lebih baik dari sebelumnya.
Tak lama, seorang pria dengan tubuh tegap nan tinggi yang memiliki struktur wajah begitu maskulin dan tulang rahang yang sempurna masuk dengan wajah dingin. Kacamata yang membingkai wajah tampan pria itu membuat kegagahan lelaki itu semakin menjadi karena tak sedikit dari mahasiswi yang melirik pandang pada dosen sekaligus dokter yang umurnya 30-an.
Neina mengalihkan perhatiannya pada lelaki itu untuk menyimak penjelasan mata kuliah selama 3 sks. Ya, cukup panjang dan membosankan tapi bagi mahasiswi mungkin tidak, karena mereka akan senang hati memandangi wajah tampan itu. Ia bahkan tidak bisa membayangkan bahwa yang mengiriminya pesan semalam adalah dosen yang kini berdiri sambil menjelaskan tentang bedah minor yang akan mereka praktikkan dalam minggu ini juga.
Pria itu terus menerangkan mata kuliahnya sebelum memberi kesempatan kepada mahasiswa atau mahasiswinya bertanya tentang apa yang tidak dimengerti. Lalu, jika tidak ada yang bertanya, maka dia akan memberikan tugas dan dikumpulkan di pertemuan selanjutnya.
“Akifah Neina Clemira.”
Ketika namanya disebut, semua mahasiswi menatapnya bingung pun dengan dirinya sendiri.
“S-saya, Pak.” Neina menunjukkan tangannya.
“Ke ruangan saya, sekarang.” Terus terlihat Pak Farraz segera meninggalkan ruangan itu membuat tanda tanya pada Neina dan teman-temannya yang lain.
Jihan bahkan hendak bertanya, namun Neina lebih dulu mengikuti lelaki itu, tak lupa ia membawa tasnya, berharap bahwa apa yang akan di katakan oleh Pak Farraz semoga bukan hal aneh.