BAB 1

2205 Words
“Yaaah! Gagal lagi, apa yang salah coba?” gerutu Mark. Ia sudah mencoba berulang kali memperbaiki mesin kopi miliknya yang rusak akibat tidak sengaja tersenggol dan berakhir terjatuh hingga semua bagian pecah berkeping-keping. Ia juga sudah mengecek keseluruhan kopi, bahkan sampai mengulang mencari bagian detail kopi dan dari kesimpulannya mesin kopi ini baik-baik saja, tidak ada yang rusak sama sekali. Hanya bagian-bagiannya saja yang hancur dan lepas. “Ah sudahlah, ganti baru saja.” Mark terlanjur malas dan menyingkirkan peralatan yang sekarang ada di atas mejanya ke samping. Ia lalu memasukkan peralatan itu ke dalam sebuah kotak kuning dan menutupnya, tidak lupa ia menaruh kembali kotak itu ke tempat asalnya yang berada di bawah ranjang kamarnya. Mark merangkak sampai ke dalam bawah tempat tidurnya dan sekarang ia malas berbalik, rasanya menarik tubuhnya seperti memakan energi yang sangat banyak. Mau tidak mau dengan terpaksa ia menarik tubuhnya dengan tumpuan padda tumit kakinya, kemudian bangkit dari posisi merangkaknya dengan memegang pinggiran tempat tidur untuk membantunya berdiri. “Ahh sial ... rasanya pinggangku sakit sekali,” keluh Mark yang merasakan tulangnya seperti keropos. Ia merasa ini pasti dikarenakan dirinya yang keseringan tiduran setiap hari dan jam. Bukan! Bahkan dirinya tiduran di setiap ada kesempatan, walaupun hanya sedetik. Rasa malasnya itu sangat mengerikan pikir Mark. “MARK!!” teriak seorang perempuan memanggil Mark dengan nada penuh emosi dan menggebu-gebu. “Ck..” decak Mark kesal mendengar siapa yang barusan saja memanggilnya itu. Mark mendudukkan dirinya di sisi tempat tidurnya dan menunggu sosok yang sangat dibencinya itu datang masuk ke kamarnya. Pastinya sosok itu sekarang sedang memiliki aura marah yang besar kepadanya, entah karena apa. Biasanya ia hanya dijadikan lampiasan semata oleh alasan yang tidak jelas. Braak! Pintu kamar Mark terbuka lebar dan mengenai dinding di kamarnya, seorang wanita dewasa menatapnya dengan pandangan benci dan bengis. Ia menghampiri Mark yang duduk pada sisi tempat tidurnya dan menolakkan kepalanya dengan sekuat tenaga. “Ibu.. Apa aku memiliki kesalahan lagi? Sampai Ibu tega melakukan hal seperti ini lagi?” Mark bertanya dengan nada suara yang sangat lembut dan pelan. Ia berusaha untuk tidak memperkeruh keadaan dan memerbaiki suasana dengan tenang. “Tidak ada! Aku hanya membenci dirimu, kenapa kau tidak mati saja?” Jawaban yang sudah dapat ditebak Mark. Mark menarik salah satu ujung bibirnya dan tersenyum tipis, andai saja ia bisa menghilang dari dunia saat ini juga, maka ia sangat bersyukur. Mark sudah lelah setiap harinya ia selalu dijadikan sasaran pelampiasan oleh kedua orang tuanya, terlebih lagi dia merupakan seorang anak tunggal, hal itu semakin menjadi-jadi karena hanya dia sosok kecil yang terlihat paling lemah di rumahnya. “Kenapa Ibu tidak membunuhku saja? Aku juga sudah benci untuk hidup..” lirih Mark dan melihat sosok Ibunya dengan pandangan datar. “Tidak mungkin, kau harus bertanggung jawab atas semuanya. Tidak, lebih tepatnya kau harus membayar semua utangmu dahulu. Dasar anak tidak tau diri!” Ibu Mark pergi setelah ia puas memukul, menampar, hingga mencakar tubuh anaknya sendiri sampa berdarah dan membiru. Mark bagaimana? Apakah ia melawan? Tentu tidak, ia hanya diam saja tanpa berniat melakukan apapun. Ia emang merasa bersalah karena menjadi anak yang sangat tidak berguna di kehidupan kedua orang tuanya, Mark tidak tau ingin memberi apa lagi kepada kedua orang tuanya. Pencapaiannya selama ini? Mark meragukan semuanya. Prestasi? Tentu saja Mark menjadi yang pertama dimanapun ia berada, bahkan ia pernah memenangkan medali emas dengan nilai terbaik di ajang perlombaan dunia Matematika dan Fisika. Tetapi hal seperti itu hanya dianggap hal biasa saja oleh kedua orang tuanya. Budi pekerti? Mark sangat rendah hati dan ia sangat mengasihi siapapun, bahkan ia lebih mementingkan orang lain dibandingkan dirinya, semua orang memuji akan kebaikan hati Mark. Tetapi semua hal itu berbeda di mata kedua orang tua Mark, bagi kedua orang tuanya, Mark merupakan anak tidak tau diri yang selalu menyusahkan mereka. Orang di sekitar Mark menjuluki Mark orang yang mendekati kesempurnaan. Ia benar-benar layak pangeran yang patut dipuja-puja. Tetapi hal itu sangat berbeda dengan pelakuan kedua orang tuanya. Mark hanya bisa tersenyum dan pasrah sampai saat sekarang ini. Apapun yang dilakukannya, itu akan tetap salah dimata kedua orang tuanya. Kalau bisa ia menghilang dari dunia ini, Mark benar-benar ingin menghilang dan pergi ke dimensi lain. Ia lelah dengan semua hal yang ada di kehidupannya. “Sudahlah.. sebaiknya aku kembali tidur dan berjumpa dengan alam mimpi yang lebih indah..” lirih Mark dan memperbaiki posisi tidurnya lalu menutup matanya dengan tenang. --- Mark memasuki sekolahnya melewati gerbang utama, ia selalu naik ke bus untuk berangkat dari rumah ke sekolahnya. Itu semua karena ia malas mengendarai kendaraan pribadinya, ia tidak suka hal yang ribet dan lebih suka hal yang simpel tanpa melibatkan tenaganya keluar dengan banyak. Tentu saja saat Mark memasuki sekolah walaupun masih di gerbang, banyak siswa-siswi yang menyadari kehadirannya. Itu semua dikarenakan Mark emang sangat populer di kalangan murid, apalagi kalau bukan ketampanan dan kewibawaan yang dimiliki oleh seorang Mark. Sifanya yang tenang itu di depan banyak orang membuat aura pada dirinya semakin mendominasi orang yang ada di sekitarnya. Sebenarnya Mark merupakan murid tahun pertama di sekolahnya itu dan ia juga baru saja menginjakkan kaki disana selama dua bulan. Tetapi kepopularitasannya tidak bisa dibendung lagi karena kesempurnaan yang dimilikinya, bahkan sampai ke sekolah lain yang sangat jauh dari sekolahnya. SMA Adhitama emang menjadi sekolah yang sangat cocok dan sesuai dengan kesempurnaan yang dimiliki oleh Mark itu. Pada bulan pertama Mark sekolah di sekolah favorit kota Arthaz, ia bahkan sudah meraih medali emas dalam perlombaan Fisika tingkat internasional. Hal itu tentu menjadi daya tarik yang sangat kuat pada Mark, tidak lupa ia juga sudah membawakan medali emas permainan bulu tangkis tingkat nasional. Semua hal itu didapat olehnya pastinya dengan perjuangan yang tidak mudah, walaupun Mark emang dikenal dengan anak pemalas oleh teman dekatnya, tetapi ketika ia mengerahkan kemampuannya dengan keinginannya yang kuat, maka ia akan menjadi sosok yang tidak bisa dikalahkan. “Mark!” seru seseorang memanggil Mark dari arah belakangnya. Mark tetap melanjutkan jalannya, tetapi ia sedikit memelankan jalannya. Ia tidak menoleh karena ia tau seseorang itu akan menghampirinya dan menyesuaikan langkahnya dengan Mark. Saat suara langkah kaki terdengar semakin mendekat, Mark menolehkan kepalanya ke kanan, saat itulah ia mendapati sosok sahabatnya datang dengan wajah berseri-seri. Refleks Mark emang sangat bagus, bahkan ia dapat membaca pegerakan karena intuisinya yang bagus itu. “Ada apa denganmu?” tanya Mark dengan wajah datarnya. Itu tentu saja karena Mark kesal dengan teman satunya itu, dengan ia memanggil namanya, maka itu akan semakin menarik perhatian orang-orang di sekitar, apalagi saat ini suasana di depan gerbang sekolah saat itu sedang sangat ramai. “Kau sedikit tidak peka, apa kau tidak melihat bahwa aku sedang senang sekarang?” Mark melirik sedikit ke arah sahabatnya itu, benar juga pikir Mark, “Aku bertanya karena aku tidak tau Jean, jangan membuatku semakin kesal karena itu.” Tentu saja Mark membela dirinya, begitulah sifat alamiah Mark. Ia sangat pandai dalam memanipulasi. “Kau seperti biasanya Mark, sangat tidak asik.” Jean membaung mukanya dari Mark, menandakan kalau ia sedikit kesal dengan sahabatnya itu. “Kenapa kau tidak berhenti saja untuk berteman denganku kalau begitu?” tanya Mark penasaran. “Karena kau bisa dimanfaatin hehe..” Jean tersenyum sumringah, sedangkan Mark menghela napas melihat kelakuan temannya itu, sangat menjengkelkan. “Lihatlah apa yang kau perbuat Jean, mereka sekarang mulai mengerumuni kita.” “Apa salahnya?” “Lama-lama tanganku bergerak sendiri untuk..” Mark menghentikan perkatannya, berbicara terlalu formal sebenarnya emang sangat tidak nyaman baginya. “Kenapa berhenti?” Jean melirik Mark. “Gapapa, gue capek aja, lo mau cerita apa?” tanya Mark dan menatap Jean dengan pandangan bersahabatnya, berbeda dengan Mark yang sebelumnya. “Gileee, lo lama-lama makin menyeramkan aja. Sebenarnya gue juga heran kenapa lo tiba-tiba bicara kaku kek mayat, apa karena lo lagi labil-labilnya ya?” tanya Jean yang tepat sasaran. Mereka berdua sudah berada di depan kelas dan masuk secara bersamaan ke dalam kelas. “Lah? Kok masih sepi?” Jean penasaran dengan keanehan yang ada di depan matanya. “Lo nggak tau? Kelas unggulan lagi diliburkan, hanya beberapa anak yang terlibat dalam olimpiade minggu depan saja yang sekolah dan belajar khusus. Lo kenapa kaya nggak tau beritanya?” “Asli! Gue nggak tau, kalau kaya gitu gue ngapain sekolah?” Jean terlhat frustasi dan melemaskan tubuhnya. “Yaudah lo temenin gue aja, atau lo ambil aja tuh lomba cerdas cermat untuk minggu depan tentang pengetahuan umum. Belum ada yang ambil soalnya,” ujar Mark memberikan saran yang baik untuk Jean. “Ah baiklah.. nanti gue coba daftar ke Mrs. Zanti.” Mereka berdua duduk dan memilih bangku di depan. Kenapa masuk ke kelas? Karena biasanya sebelum mulai pelatihan, mereka akan diberi arahan terlebih dahulu dan sedikit basa-basi sebelum memulai semuanya. “Jadi.. coba gue tebak, lo senang karena dikasih masuk ke sekolah intel?” tanya Mark tanpa menoleh dan masih fokus dengan buku yang ada di depannya. “Ya, lo benar. Menurut lo gimana? Pilihan gue bagus atau nggak?” Mark berpikir sejenang dengan menopang wajahnya satu tangan. Tidak lama Mark kembali memperbaiki posisi duduknya dan menoleh ke Mark, “Sebenarnya itu sangat buruk kalau menurut gue, tapi kalau lo emang udah mutuskan kesana, apa boleh buat? Semuanya juga pasti akan baik-baik saja karena lo udah niat,” jawab Mark. “Kenapa begitu?” “Lo tau sendiri kan kalau lo jadi intel negara, lo nggak bakal bisa menjadi netral dan membela kebenaran. Karena lo akan jadi b***k negara, itu rasa gue akan sangat berat. Mengingat lo sendiri sangat perasa,” Jean terdiam, pemikiran Mark ada benarnya juga, ia tidak terpikirkan sampai kesana. Apa ia mengikuti saja apa kata-kata Mark? Untuk mengurungkan pilihannya itu karena terlalu buruk untuk ia mencoba menjadi agen. “Baiklah, sepertinya gue akan berpikir lebih lanjut untuk itu,” ucap Jean menutup pembicaraan mereka pada pagi hari itu. Karena setelahnya mereka berdua sibuk untuk belajar terlebih dahulu. --- “Eh Mark.. lo pernah dengar mitos tentang tukang bakso nggak?” tanya Jean Random, walaupun raut wajahnya sangat serius. “Gue nggak paham lo bilang apa..” ucap Mark dan melanjutkan makannya. Mereka berdua sekarang sedang berada di kantin sekolah dengan keadaan yang lumayan sepi, tetapi lama kelamaan bakalan ramai, tentu saja itu dikarenakan kehadiran Mark. “Lo sepertinya cocok kalau gue jual dijadikan pelaris,” ucap Jean setelah ia memperhatikan sekitarnya yang mulai ramai. “Sialan lo!” umpat Mark pada akhirnya setelah sekian lama Jean tidak mendengar Mark mengumpat. “Akhirnya lo bisa mengumpat juga ya..” Mark hanya diam dan tidak merespon temannya itu, karena akan sangat membuang-buang waktunya jika ia ikut merespon. “Kalian kenapa tinggalin gue sih?” kesal seorang gadis yang datang ke meja Jean dan Mark dengan menghempas mangkok baksonya begitu saja, untung saja kuahnya tumpah sedikit dan tidak banyak. “Habisnya lo dipanggilin sedari tadi nggak dengar di labor Biologi, udah budeg lo?” ujar Jean asal nyablak dan itu membuat gadis itu memukul mulut Jean cepat. “Anjir cepat amat gerakan tangan lo.” Jean sedikit kaget dengan kegesitan temannya itu. “Lo kaya nggak tau aja Cecil kan ikut kejuaraan bela diri,” ujar Mark dan itu membuat Jean mengernyit. “Kejuaraan bela diri? Asli gue ngga tau, sejak kapan?” Jean menatap Cecil yang berada di sampingnya itu yang sedang menyendokkan kuah bakso ke mulutnya. “Lo pikir sendiri!” teriak Cecil seperti menahan emosinya. “Jean.. kita sekolah disini baru berapa hari sih?” tanya Mark tiba-tiba. “Belum genap dua bulan kan?” tanya Jean balik. “Nah lo pikir sendiri,” ucap Mark dan kembali melanjukan makannya. “Ahhh iya! Gue paham, maafkan gue... gue sedikit linglung belakangan ini,” “Kalian nggak mau dengarin cerita gue tentang tukang bakso?” tanya Jean yang muali cemberut karena teman-temannya itu sangat tidak mengasyikkan. “Maksud lo mitos Mr. Meatball?” tanya Cecil yang sepertinya tau apa yang dimaksud oleh Jean. “Nah iya itu! Lo tau juga ternyata apa yang gue maksud.” Jean setidaknya merasa kalau bukan hanya dirinya yang konyol. “Coba deh gue mau dengar, gue selama seminggu ini hanya mendengar kata Mr. Meatball doang tanpa tau itu apa.” “Jadi gini.. katanya belakangan ini itu tukang bakso yang katanya tiap tahun muncul mulai menampakkan dirinya lagi. Tukang bakso ini juga katanya bakal menculik anak malang yang memiliki konflik berat di lingkungannya, terlebih bagi mereka yang memiliki masalah mental.” Jean menjelaskan dengan singkat dan pas ke inti. “Terus? Anak yang diculik itu bakalan dibawa kemana?” tanya Mark sedikit penasaran. “Ah iya. Sebelum mereka diculik katanya sih mereka juga udah buat perjanjian gitu sebelumnya. Mereka akan dibawa ke dunia Fantasi yang katanya sangat indah dan bayarannya itu adalah nyawa,” lanjut Jean menjelaskan ceritanya dan menjawab pertanyaan dari Mark. “Benar-benar seperti cerita fiksi..” lirih Cecil dan menganggukkan kepalanya paham dengan cerita Mr. Meatball. “Tapi kenapa gue rasa hal seperti itu beneran ada ya?” ujar Mark tiba-tiba dan hal itu membuat kedua teman lainnya menatap Mark dengan pandangan serius. “Wait.. berikan gue alasan yang masuk akal.” Cecil menuntut jawaban dari Mark. “Yah nggak mungkin kan cerita ada tiba-tiba tanpa sebuah kejadian yang pernah terjadi?” “Ah benar.. sepertinya iya juga,” ucap Cecil mulai setuju dengan Mark.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD