BAB 02: BENTLEY

2188 Words
Empat hari yang lalu. “La?” “Hey, Dok!” Kane melepas snelinya, lalu menjatuhkan diri di atas dudukan sofa tepat di samping Isla. “Udah mau jam sepuluh, ga balik?” “Balik kok. Bentar lagi. Nanggung nih ngerekap laporan, kalau udah di kosan udah males buka laptop.” Kane mengangguk. Ia menutup kedua matanya. Tak tidur, hanya mengistirahatkan diri sejenak. “Ada kejadian apa hari ini, Dok?” tanya Isla lagi. “Kasus terakhir fraktur kominutif, kecelakaan motor.” “I see.” “Gary mana, La?” “Toilet. Abis minum es kelapa basi katanya.” Kane malah terkekeh geli. “Sobat lo tuh, La... Ancur banget! Baru kali ini gue liat makhluk modelnya begitu. Itu dia beneran belok ga sih?” Kini Isla yang terkekeh. “Ngga. Bawaannya aja.” “Kok bisa?” “Mmm, gue cuma bisa bilang, semua orang punya traumanya masing-masing. Dan mungkin itu caranya Gary melindungi dirinya.” “I see. Dari awal lo kenal dia udah begitu?” “Oh, sekarang sih udah jauh lebih macho. Waktu SMA duh gemulai banget. Ketua cheers gue aja kalah kalau udah soal meliuk-liuk!” “Serius, La?” kekeh Kane. Isla menganggukkan kepalanya, tegas. Lalu kembali terkekeh mengingat kekonyolan sahabatnya itu. “La?” tegur Kane lagi. “Apa?” “Kok lo biasa banget sih sama gue?” tanya Kane usil. “Hah?” Isla menolehkan wajahnya ke kanan, menatap Kane yang sedang mencengir padanya. “Emang harusnya gue gimana?” tanya Isla, heran. “Ya... Pura-pura gugup gitu kek.” “Dih! Kenapa gue harus nervous dekat lo?” “Karena gue secakep Ahn Hyo Seop?” “Pasti yang ngomong Gary!” Tawa Kane justru membahana. “Gary lo percaya! Musyrik tau ga! Istighfar, Dok! Tobat!” Kane terus saja terkekeh geli. “Haduuuh! Ngilu perut gue.” “Dia mah satu rumah sakit bakalan dikasih nama Korea. Ga usah tersanjung Dok,” ujar Isla. “Lo ga balik Dok?” tanya Isla kemudian. “Mau balik sih. Nunggu sepupu gue. Kantornya ga jauh dari sini.” “Oh.” “Tuh kan!” “Apa?” “Datar. Bukan deh, biasa banget malah. Dan ga sama gue doang. Sama semua cowok malah. Apa karena lo udah tunangan, La?” “Mungkin sih. Emang lo ga punya cewek, Dok?” “Ada. Di Surabaya.” “Oh ya?” “Iya.” “Terus kenapa lo hobi banget tebar pesona?” “Siapa? Gue?” Isla kembali mengangguk tegas. “Masa sih?” tanya Kane lagi, tak percaya. “Banget!” suara Gary muncul dari balik sofa di ruang tunggu poli umum yang Isla dan Kane duduki. “Serius Ger?” “Lo pura-pura ga nyadar apa emang ga nyadar beneran Dok?” “Beneran ga nyadar!” Isla yang menjawab. “Kok lo tau, Nek?” “Lo ingat kakak kelas kita dulu ga? Si Abror? Persis kan kelakuannya kayak dokter Kane. Bikin cewek-cewek baper mulu, padahal mah emang bawaan dia begitu.” Gary mengerutkan keningnya, berpikir sejenak, lalu menjentikkan ibu jari dan telunjukknya. “Aha! Inget, Nek!” “Berarti yey sering jadi mantan ya Dok?” tuduh Gary pada Kane. “Sial lo Ger!” “Tapi bener kan?” “Iya sih. Kenapa ya? Bentar lagi juga kayaknya gue jomblo lagi.” “Kasian banget yey Dok!” kekeh Gary. “Makanya jangan terlalu ramah sama semua cewek.” “Masa gue musti kasar sama cewek sih, La?” “Ya ga kasar juga Dok.” “Tadi pas jam jaga gue abis, cewek gue nelpon, katanya minta break dulu. Gue susah dihubungin katanya. Padahal dia lagi koas lho, La. Harusnya kan dia ngerti gimana sibuknya intern kayak gue.” “Lo ga membela diri?” “Udah capek, La. Apapun alasan gue ujung-ujungnya ribut.” “Putusin aja sih Dok. Yeiy dan yeiy sama ribetnya!” “Lah kok gue jadi kena?” ketus Isla, tak terima. “Kenyataannya kan gitu, Nek. Yang satu diem aja diporotin, yang satu lagi diem aja dituduh serong kiri serong kanan. Tinggalin aja yang model begitu! Hidup udah susah malah milih hubungan yang susah!” “Ah ngemeng doang lo! Punya cewek juga kagak pake nyeramahin gue sama Isla!” Gary spontan memberengut. “Nek, yuk pulang. Eyke udah lelah jiwa raga tapi aib eyke malah diumbar-umbar! Sakit hati eyke, Nek! Yuk, Nek! Eyke ingin menangis!” “Eh siput! Pulang sendiri sana ke Bikini Bottom!” “Yuk, besok gue mau ke kantor dulu sebelum ketemu dr. Zhen,” ujar Isla seraya tak henti terkekeh melihat wajah Gary yang kesal karena cercaan Kane. “Akhirnya dapet slot, La?” Isla mengangguk. “Mudah-mudahan gue ga sial ya Dok? Ya ampun, tinggal si Ji Sung itu doang lho yang bikin gue bolak balik ke sini tiap hari. Sumpah susah banget nemuin dia.” “Wajar, La. Dia salah satu dokter trauma di sini. Jadi beliau ga nanganin pasien reguler aja. Lebih banyak pasien daruratnya daripada yang reguler.” “Gitu ya? Tampang aslinya kayak apa aja gue ga tau lho, Dok.” “Ngga searching?” “Sekilas doang. Artikel-artikel berita yang narasumbernya dr. Zhen nyaris ga ada foto beliau.” “Kalaupun ada tampak jauh dan blur. Iya kan?” “Iya banget!” “Dan orangnya emang ga mau ditemuin di luar jam praktek, La. Sementara tiap dia praktek poli Paru dan Jantung udah kayak pasar pagi.” “Berarti ga ada medrep yang bisa nemuin dia?” “Ada. Kalau dia yang butuh, dia yang akan nyari.” *** Tiga hari yang lalu. Tahun ini adalah tahun ketiga Isla menjalani karirnya sebagai seorang Medical Representative. Sebuah profesi yang menjembatani perusahaan farmasi dengan para tenaga medis khususnya para dokter. Dari merekalah para dokter mendapatkan informasi terbaru mengenai obat-obatan, cara dan teknik pengobatan, bahkan alat-alat kesehatan. Maka tak heran jika dikatakan para medrep inilah duta perusahaan-perusahaan farmasi. Dan sepanjang karirnya, Isla sudah dikenal sebagai medrep yang patut diperhitungkan. Dokter-dokter ternama di Jakarta bisa dikatakan hampir semua mengenalnya. Cara Isla mempresentasikan informasi produk selalu detail, jelas, dan menarik. Mungkin karena latar pendidikannya yang juga berasal dari dunia medis. Belum pernah ada dokter yang tak memakai produk yang Isla tawarkan setelah menyimak penjelasan cerdasnya. Dengan kata lain, Isla tak pernah meleset dari target penjualan yang diberikan perusahaan. Dari sekian banyak dokter ternama di Jakarta, Zhen Ryu Raiden adalah salah satu dari barisan para Dokter Spesialis yang belum pernah bertatap muka dengan Isla. Pendirian Zhen yang tak mau diganggu di luar waktu praktik membuat Isla selalu gagal menemui pria bertitel Dokter Spesialis Bedah Toraks dan Kardio Vaskular itu. Rumah Sakit tempat Zhen praktik memang banyak mendapatkan pasien dengan kasus trauma. Mungkin karena posisinya yang tak jauh dari beberapa jalan tol juga area bisnis dan perkantoran. Salah satu wilayah di Jakarta dengan tingkat kesibukan dan tekanan hidup yang tinggi. Namun sore ini, Isla sudah mendapatkan titik terang dari penantian tiga bulannya sejak ditugaskan di wilayah ini; bertatap muka dengan Zhen! Praktek Zhen dijadwalkan berakhir pada pukul 17:00 petang. Namun Isla sudah duduk tenang seraya terus tersenyum manis sejak pukul 16.00 tadi. Isla pun tampil dengan paripurna demi pertemuannya dengan dokter yang dielu-elukan setampan Ji Sung itu. Ia bahkan mengenakan dress putih terbaiknya. Sebuah dress formal tanpa lengan dengan aksen pleated tule dari pinggang hingga tepat di tengah betis. Dress bersejarah yang baru kali kedua ini ia gunakan. Kali pertamanya adalah kala Ichiro Oki sang kekasih datang bersama keluarganya untuk melamar dan menyematkan cincin pertunangan mereka di jari manis Isla. Dan penampilan Isla sore itu disempurnakan dengan sebuah blazer berwarna beige. Cantik, elegan dan smart, tiga kata yang pantas mewakilinya. Seperti yang selalu diucapkan oleh orang bijak; manusia bisa berencana, tetapi Tuhan pulalah yang menentukan. Kali ini, Isla terpaksa mengutipnya dengan sedikit penyesuaian; Isla bisa berencana, tetapi Zhen pulalah yang menentukan. Tepat pukul 16:45 pintu di hadapan Isla terbuka lebar, seorang perawat menempelkan selembar kertas bertuliskan ‘DOKTER SEDANG MELAKUKAN TINDAKAN’. Isla merosot di tempatnya duduk, tiba-tiba rasa lelah dan putus harapan menderanya. Jarum jam yang tergantung di dinding tepat di depan Isla seolah melambatkan diri. Sudah dua jam, dan pintu ruang pemeriksaan sang dokter masih saja seperti itu, terbuka, yang menandakan Zhen belum kembali ke ruang praktiknya. Kegelisahan para pasien pun mulai membawa hawa panas di ruang tunggu. Perawat akhirnya mengabarkan jika dokter masih melakukan operasi darurat pada seorang pasien yang mengalami kecelakaan di satu ruas tol petang tadi. Bahkan beberapa pasien ditawarkan untuk berkonsultasi dengan dokter torakoplastik lainnya. Perasaan Isla mulai tak enak, kemungkinan jika jadwal temu akan kembali dibatalkan berputar di benaknya. “Mbak Isla?” panggil seorang perawat. Isla berdiri, mendekati nurse station dengan wajahnya yang menekuk kesal. Perawat itu justru terkekeh pelan. “Maaf ya Mbak.” “Batal lagi?” Perawat itu mengangguk, sementara Isla mendengus keras. Ia berbalik, memaksa langkahnya meninggalkan poli Paru dan Jantung. Di lobby rumah sakit, Isla melepas heels-nya, mengganti dengan sepatu kets yang jauh lebih nyaman. Ia memutuskan untuk berjalan kaki menuju sebuah café yang terletak beberapa ratus meter dari tempatnya berdiri. Isla kerap datang ke café itu bersama Oki. Sebuah café yang menyajikan hidangan Italia dengan rasa yang sangat otentik. Hanya tinggal beberapa meter lagi menuju tempat tujuan, hujan turun begitu deras tanpa aba-aba. Di bawah canopy sebuah coffee shop Isla terpaksa meneduhkan diri. Ia tak pernah bercita-cita kuyup saat mengenakan dress putih, bisa-bisa semua orang melihat sisi dalamnya. Isla menatap langit, lalu menyapukan pandangannya ke sekitar, tepat di muka café tujuannya sebuah city car sejuta umat dengan nomor polisi yang sangat ia kenali terparkir. Isla mengeluarkan ponselnya, yang sungguh menjadi kesialan ketiganya, ponsel itu kehabisan daya. Mau tak mau ia pasrah, terpaksa menunggu hujan reda. Sudah setengah jam lebih berlalu, langit masih saja terus menangis, tak jua mereda. Tepi bawah dress Isla bahkan sudah berubah warna, tak lagi putih melainkan coklat kehitaman karena percikan debu dan tanah yang tersiram tetesan hujan. ‘Apa nekat aja ya lari ke café?’ Isla menoleh kembali ke arah café, dan di saat yang sama, pria yang sangat dicintainya keluar dari pintu dengan menggenggam sebuah payung. Kedua sudut bibir Isla otomatis terangkat naik. Ia baru saja akan berteriak memanggil Oki saat seorang perempuan bergabung dengan sang kekasih. Mereka melangkah beriringan menembus hujan menuju trotoar dengan satu tangan Oki yang merangkul perempuan itu mesra. Isla terkesiap, benaknya terus saja bertanya, siapa gerangan perempuan itu? Oki dan perempuan yang tak Isla kenali itu berdiri di tepi jalan. Yang selanjutnya terjadi seakan membuat jantung Isla terlepas dari raganya, Oki membisikkan sesuatu di telinga perempuan itu, mengecup pipi, sebelum akhirnya ia melabuhkan sebuah kecupan singkat di bibir. Tak lama, sebuah Bentley New Continental berwarna royal blue menepi tepat di depan mereka. Pandangan Isla justru fokus ke nomor polisi di bagian belakang, susunan angkanya begitu cantik. Nomor pengenal kendaraan yang hanya dimiliki orang-orang berduit di negeri ini. Sang wanita masuk ke dalam sedan mewah itu, sementara Oki mundur selangkah dan membiarkan mobil itu melaju. Saat Oki berbalik, Isla pun memalingkan wajah dan tubuhnya, menghapus air mata yang entah sejak kapan mengalir begitu saja. Setelah merasa lebih tenang, Isla menghirup napas dalam-dalam, menahan di paru-parunya sesaat, lalu menghembuskan kembali udara itu perlahan. Kedua tangan Isla mengepal di kedua sisi tubuhnya. Ia merapatkan blazernya, menguatkan hati, lalu berjalan tegap menembus hujan. Di depan pintu kaca café Isla terdiam. Oki ada di sana, duduk di meja favorit mereka. Pandangannya lekat menatap layar laptop, pasti ada data hasil test yang sedang ia olah. Meja yang Oki tempati dipisahkan partisi dengan meja di sampingnya. Keberadaan Oki tertangkap kedua mata Isla dari pantulan kaca di sisi samping meja. Namun Isla yakin, Oki tak akan memandang pantulan di kaca itu untuk kembali mendapatinya yang tertegun bisu. Oki memang seperti itu jika sudah tenggelam dalam pekerjaannya. Isla melangkah masuk ke dalam café dengan tubuh yang basah kuyup. Para staf yang melihatnya bahkan sempat tertegun walaupun tak berani bersuara. “Mba,” lirih Isla pada seorang perempuan di balik meja pembayaran. Kasir itu bisa melihat jelas kedua mata Isla yang sembab dan berduka. “Ya Kak, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya lembut. Isla merogoh tasnya, mengambil sebuah kantong kain kecil. Ia lalu melepaskan cincin pertunangan yang disematkan Oki lima bulan yang lalu, memasukkan benda mungil itu ke dalam kantong. “Ini mba,” lirih Isla seraya menyodorkan kantung itu pada sang kasir. “Tolong kasih ke cowok yang duduk di meja nomor sembilan,” lanjut Isla lagi. Kasir itu tak berani bicara apapun, sudah terbayang ada skenario menyakitkan yang menyebabkan perempuan di depannya datang dengan basah kuyup dan menitipkan sebuah cincin padanya. “Bisa kan mba?” tanya Isla. “Sekarang Kak?” kasir itu bertanya balik. “Nanti aja pas dia bayar bill-nya. Belum bayar kan dia?” “Iya, belum Kak.” “Tolong ya Mba. Bisa kan saya minta tolong ke Mbanya?” “Iya Kak, bisa.” Isla mengangguk, lalu berbalik kembali, meninggalkan café favoritnya yang mungkin tidak akan ia kunjungi dalam beberapa waktu ke depan. ‘Oki, haruskah aku percaya, jika kamu punya alasan di balik ini semua? Datanglah. Mohon maaf padaku.’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD