BAB 11: ARCHERY

1464 Words
“Baru jam segini keluar dari rumah sakit, main masuk aja ke mobil orang. Kamu ga ada kerjaan?” sinis Zhen. “Tumben banget perhatian, Dok? Jangan-jangan--” Ponsel Isla kembali berbunyi. Ia merogoh tasnya, mencari benda pipih itu. “Assalammu’alaikum, Ma,” sapa Isla begitu ia menekan tombol hijau di layar ponselnya. “Wa’alaikumsalam,” jawab Yuki, ibu Isla. “Ada apa, Ma?” “La... Kok Mama dapat berita ga enak ya tadi?” “Soal apa Ma?” “Kamu ingat Bu Dibyo kan? Itu sepupu jauh Ibunya Oki. Masa tadi dia bilang kalau kata Oki kalian sudah putus?” Isla terdiam. Jemari tangan kanannya yang bebas memilin-milin tepi blouse-nya. Sikap khas Isla jika ia dilanda kebingungan. “Nduk? Ada apa?” tegur Yuki lagi. “Itu benar, Ma,” lirih Isla. Anehnya, Isla tak lagi ingin menangis. “Itu benar. Isla dan Oki sudah putus,” lanjut Isla lagi. “Kalian sudah tunangan, Nduk! Apa kata orang nanti? Kamu pasti diomongin karena gagal menikah.” Isla kembali terdiam. Ada rasa kesal di hatinya karena merasa jika sang Ibu justru mengkhawatirkan status mereka. “Kenapa, Nduk? Apa ga bisa diperbaiki?” “Mama lebih suka Isla menikah dengan cowok yang khianatin Isla? Dia pacaran sama cewek lain, dia ciuman sama selingkuhannya di depan umum, bahkan dia ngaku sendiri dia ga bisa ninggalin cewek itu karena perempuan k*****t itu bisa naikin status sosial dia dan keluarganya. Jadi maksud dia kita ini strata miskin banget gitu, Ma? Mama mau punya menantu yang menganggap rendah keluarga kita? Isla sih ga sudi!” Tak ada suara sama sekali di ujung panggilan. Entah apa yang terjadi pada Yuki. “Nduk, nanti Papa telpon lagi ya?” “Papa...” “Mamamu shock. Papa tenangin Mama dulu ya?” “Maaf, Pa...” “Jangan minta maaf, Nduk. Kamu ga salah apa-apa.” “Kabarin Isla ya Pa.” “Isla...” panggil Darpa, Ayah Isla. “Ya Pa?” “Jangan lama-lama menangis ya, Nduk. b******n seperti Oki tidak pantas mendapatkan putri Papa yang paling berharga.” “Iya, Pa. Isla udah ga sedih lagi kok.” “Bagus, Nduk. Ya sudah, nanti Papa telpon lagi ya?” “Iya, Pa. Assalammu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam, Nduk.” Isla terdiam cukup lama, hanya lekat memandang layar ponselnya yang sudah menggelap sedari tadi. Ia tau, seharusnya sedari hubungannya dan Oki berakhir, Isla mengabari kedua orang tuanya. Tetapi hancurnya hati dan kesedihannya yang masih teramat sangat membuat Isla urung mengatakan kabar buruk tersebut pada Yuki dan Darpa. Isla tak mau keduanya terlalu khawatir akan kondisinya. Umur mereka tak lagi muda, bahkan sang Ayah memiliki riwayat stroke. Tepat di samping Isla, Zhen pun mempertahankan ekpresi datar, walaupun sesekali ujung matanya tertuju pada Isla. Ia tak pernah punya pengalaman menenangkan seorang wanita yang baru putus cinta. Kesibukan sejak masa pendidikan kedokterannya membuat Zhen nyaris tak pernah berurusan dengan wanita. Kalaupun ia memiliki beberapa mantan kekasih, tak satupun yang sempat ia sentuh. Jangankan menyentuh, bertemu pacar dengan tenang tanpa khawatir panggilan darurat dari rumah sakit menyapa saja amat sangat langka terjadi. Berat memang menjadi seorang dokter, pendidikan mereka yang panjang dan melelahkan benar-benar menyita waktu dan tenaga. Jangankan pacaran, bisa makan teratur saja sudah alhamdulillah. “Maaf ya Dok,” lirih Isla akhirnya. Sepertinya kini ia sadar jika ia tak sendiri di mobil itu. “Hmm. Tidurlah. Kita masih jauh.” “Emang kita mau kemana, Dok?” “Kamu ga jadi ikut?” “Ikut.” “Kalau gitu ga usah nanya. Sekitar satu jam lagi kita sampai tujuan.” Isla mengangguk. Ia lalu merebahkan sedikit sandaran kursinya sebelum menutup kedua mata. Sekitar lima belas menit kemudian, Isla sudah terlihat pulas. Kala tidurnya telah lelap, mata Isla akan sedikit terbuka, dan Zhen sangat tau itu. Zhen menepikan mobilnya, menyalakan lampu hazard, lalu meliukkan sedikit tubuhnya untuk mengambil bantal leher dan selimut tipis yang ia letakkan di kursi penumpang tepat di belakangnya. Dengan lembut Zhen memasangkan bantal leher itu agar Isla tak merasa nyeri atau pegal begitu terbangun nanti, dan kemudian menutup tubuh Isla dengan selimut rajut tipis nan hangat berwarna dusty blue. “It'll be alright, La,” bisiknya. *** Isla terbangun dari tidurnya, dan menyadari jika ia kini sendiri di dalam mobil mewah yang tadi dikendarai oleh Zhen. Isla gegas merapihkan dirinya, memastikan jika tak terlihat kusut dan berantakan. Setelah yakin penampilannya tak memalukan, Isla pun keluar dari kendaraan itu. Isla belum mendorong kembali pintu yang dibukanya, tertegun menatap pemandangan tepat di belakang Porsche Cayenne GTS Tiptronic milik Zhen. Rerumputan pendek yang luas terbentang di hadapannya. Lapangan itu dikelilingi pembatas dengan pagar kayu. Di tengah lahan nan luas itu berderet beberapa papan target; layar putih berlukiskan lingkaran beberapa ukuran dengan ukuran terbesar di sisi luar dan yang terkecil di pusatnya. Di balik pagar pembatas, pepohonan tinggi dan rimbun berjajar. Bahkan langit di tempat itu terlihat begitu bersih dan cerah hingga gerakan pelan awan-awan seputih kapas pun terlihat. Isla masih menyapukan pandangannya, menelisik setiap hal yang memanjakan penglihatannya. Dan di sisi kanannya, Zhen berdiri di depan beberapa gantungan dan lemari kayu yang berisi peralatan memanah. Pintu mobil Isla tutup, ia kemudian berjalan mendekati Zhen yang hanya melirik sinis dari pantulan kaca pintu lemari, seolah di belakang kepala Zhen tertulis ‘I don’t care about you!’ “Dok?” Zhen diam saja, tak menjawab teguran Isla. “Kita di mana, Dok?” Seraya mengencangkan chest guard di d**a kirinya, Zhen menyapukan pandangannya ke lapangan. Lalu kembali memandang Isla, mengangkat satu alisnya. “Ga bisa lihat?” ketusnya. Isla mendengus malas. “Kalau nanya tuh yang emang ga tau jawabannya apa!” sinis Zhen lagi, kali ini seraya memasang quiver di pinggangnya. “Dokter punya pacar ga sebenernya?” Pertanyaan itu meluncur tanpa hambatan dari bibir Isla, membuat Zhen otomatis mengangkat pandangan, menantang iris coklat milik Isla. Baru saja mulut Zhen terbuka hendak menggerutu kembali, suara pria lain menyapa telinga keduanya. “Zhen!” sapa pria itu. Sama saja, sepertinya sikap dingin dan tak perduli sudah menjadi default setting bagi Zhen. Ia hanya mengangkat kedua alisnya, lalu sibuk kembali memasang berbagai peralatan dan pernik memanah di tubuh dan busurnya. Isla memiliki penglihatan jarak jauh yang kurang baik, dan ia sedang tak menggunakan kaca mata ataupun lensa kontaknya saat ini. Otomatis, Isla tak tau siapa yang menyapa Zhen. Hanya suaranya yang cukup Isla kenali. Begitu jarak antara mereka semakin terkikis, Isla pun semakin menyadari siapa sosok yang kini berhadapan dengannya. “Dokter Kenji?” Kenji memiringkan kepalanya, mencoba mengingat sosok gadis cantik yang sepertinya tak asing. “Isla, Dok. Isla Meili Zain,” ujar Isla seraya mengulurkan tangannya. “Ah, Medicament Laboratoria?” “Betul sekali, Dok. Wah, saya boleh nyombongin diri nih dikenal sama Dokter.” “Ah! Bisa aja kamu.” “Heh, bocah sombong! Orang tua nyapa malah dicuekin!” omel Kenji pada Zhen yang masih bersikap tak perduli. “Tumben banget ngaku tua!” gumam Zhen. Isla menganga, sementara Kenji menggelengkan kepalanya. “Kamu bisa memanah?” Kenji beralih pada Isla kembali. “Ngga, Dok.” “Bagus lho olahraga ini. Melatih fokus dan kekuatan.” “Iya, Dok,” kekeh Isla. “Siap-siaplah. Nanti diajari Zhen.” “Lho kok saya?” tanya Zhen, tak terima diberi tugas dadakan. “Siapa lagi? Saya? Biasa disuruh bikin tenda di luar rumah sama Tantemu!” ketus Kenji seraya melangkah menjauh meninggalkan keduanya. Zhen mendengus menatap punggung Kenji. Dan begitu pandangannya kembali pada Isla, cengiran gadis cantik itu membuatnya salah tingkah kembali. “Buruan!” “Buruan ngapain, Dok?” “Siap-siap!” “Caranya?” Dengan malas, Zhen menyiapkan semua kebutuhan Isla, meletakkannya di atas meja. “Lihat saya, tiru! Kalau ga mau main, duduk aja di situ sendirian.” “Mau.” “Buruan! Lima menit!” “Kok gitu, Dok?” “Empat menit tiga puluh detik!” “Dokter ih!” “Empat menit!” “Najong! Ngaco bener ngitungnya!” “Apa kamu bilang?” “Ngga!” “Buruan. Kalau ga beres dalam empat menit, saya yang pakein!” ‘Dari tadi aja pakein!’ Zhen mengikis jarak, membuat kedua ujung sepatu mereka saling bersinggungan. Isla mendongak, mempertemukan titik pandang. Tatapan Zhen begitu teduh, tak seperti biasanya yang terlihat dingin dan mengintimidasi. Wangi parfumnya pun mulai menyihir Isla, rasanya ia rela berlama-lama di posisi ini asalkan bisa terus menikmati wangi khas Zhen. Mereka saling menatap selama beberapa saat. Yang selanjutnya terjadi adalah Isla menyadari betul jika wajah keduanya semakin mendekat. Aroma napas Zhen bahkan membuat Isla mulai kehilangan kewarasannya. Jantungnya berdetak kencang, jauh dari nilai normal. Kedua tangan Zhen sudah melingkar di tubuh Isla, memasangkan quiver tepat di pinggangnya. “Kamu... Rela kalau saya yang makein?” tanya Zhen pelan tepat di depan wajah Isla yang hanya terpisahkan jarak setebal satu jari. Sementara Isla, membeku sempurna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD