BAB 10: PORSCHE

1792 Words
Rumah Sakit cukup ramai hari itu. Isla akhirnya memilih sebuah sofa yang letaknya tak jauh dari pintu ruang operasi dan berbatasan dengan dinding kaca berwarna gelap. Di belakang sofa yang ia duduki adalah ruangan bagi para dokter trauma. Pagi menjelang siang itu, Isla baru saja memenuhi janji temunya dengan seorang Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, melakukan short detailing product untuk kemudian meminta janji temu berikutnya dengan durasi meeting yang lebih panjang agar Isla bisa menjelaskan lebih detail spesifikasi, indikasi, kontradiksi, dan evidence-based dari produk yang diwakilkannya. Dan tentu saja, Isla mendapatkan waktu untuk janji temu itu, lusa, meals during discussion. Isla membuka laptopnya, membarui laporan mingguannya yang salah satunya berisi estimasi pencapaian penjualan produk. Dalam doanya ia berharap semoga target seratus juta yang diembannya bulan ini bisa terpenuhi. Begitu email yang ia kirimkan ke superintendent-nya terkirim, satu chat masuk menyapa. [Aryo Garing] La, gimana Lian? [Isla] Gimana bini di rumah? [Aryo Garing] Astaghfirullah. Lo su’udzon aja sih sama gue. [Isla] Waspada! Bukan su’udzon, Bang. Jika ada perselingkuhan, pihak wanita lebih banyak dirugikan you know? [Aryo Garing] Tergantung siapa yang selingkuh, La. Lo ya, gara-gara mantan sampah lo semua cowok disama ratain! [Isla] Ngga kok. [Aryo Garing] Bos nanya, La. Gimana si Lian? [Isla] Oh. Mayan kok. Lagi nunggu di poli paru. [Aryo Garing] Oke. Inget, La... 100 juta [Isla] Situ pengen banget jadi manager? [Aryo Garing] Ngapa dah gue punya anak buah ngeselinnya kayak lo! [Isla] Semangat bos! Tenang, inshaaAllah dapet 100 juta. Baca dong laporan gue. [Aryo Garing] Oke. Aamiin. [Isla] Tapi gue naik superintendent dong! [Aryo Garing] Klo gue manager, lo gue naikin. [Isla] YANG BENER KLO NGOMONG! [Aryo Garing] Bujug! Caps lock woy matiin dulu! Astaghfirullah. Maksud gue, lo gue rekomendasiin naik jadi superintendent, neng Isla. Kawin lo sana! Ngeres aja otak lo! [Isla] Bye, Bos! Ada satu hal yang tak Isla sadari, dinding kaca gelap di sampingnya hanya membuat Isla tak bisa menembuskan pandangannya. Berbeda dengan sosok yang ikut membaca semua ketikan Isla, sedari tadi Isla duduk di sofa itu, Zhen tak lekang mengamatinya. Ia bahkan berdiri di samping Isla yang hanya terpisahkan selembar kaca. “Woy! Bintitan lo!” ujar seorang kolega Zhen yang baru saja masuk ke ruangan itu. “Woy!” balas Zhen. Kedua matanya masih fokus memandang layar laptop Isla. “Apaan sih?” tanya Irgi seraya meletakkan dagunya di bahu Zhen. Ikut mengintip. “Ga ada. Cuma ikutan baca spesifikasi produk.” “Dia belum ngeh lo siapa?” “Ga akan ngeh kayaknya.” “Terus? Rencana lo apa?” “Ga tau, Gi,” lirih Zhen. “Terbukti kan yang gue bilang? Lo ga akan bisa lari dari dia. Tiga bulan lo ngindarin dia, taunya dia ngejegat lo di parkiran.” “Sebenernya ga gitu, Gi.” “Terus?” “Sehari sebelumnya, gue ada praktek pengganti. Nah gue pikir dia datang ke sini. Waktu itu pas gue lagi agak senggang. Then, Suster Alma ngomongin Isla gitu deh. Biasalah, women support women. Ya gue akhirnya ga tega juga. Gue mintalah Alma panggilin Isla, kalau orangnya ada. Dilalah, yang masuk bukan Isla.” “Siapa?” “Adalah, medrep lain.” “Hah? Kok berani banget? Dari perusahaan yang sama?” Zhen menggeleng. “Gue ga pernah pakai obat dari mereka.” “Ya kan lo juga paling susah ditemuin medrep.” “Iya sih. Kayak lo ngga aja!” Irgi terkekeh sebelum meneruskan cecarannya. “Terus?” “Intinya dia memanfaatkan waktu saat Alma juga lagi terburu-buru entah ngurusin apa, dan Isla yang ternyata ga ada. Gue mau ngusir tapi keburu kelewat dongkol. Ya lo tau kan kalau gue diusik reaksi gue kayak apa.” “Jahat!” “Nah!” “Terus?” “Gue biarin dia presentasi. Gue tanda tangan bukti kunjungan.” “Tapi?” “Form listing gue hold! Ga gue oke-in produknya.” “Parah lo, Zhen!” “Ga seberapa parah kok. Toh gue belum ngirim complaint ke bosnya.” Irgi mencengir, lalu menggelengkan kepalanya. “Dan akhirnya yang lo oke-in obatnya Isla?” “Terlepas dari siapa medrepnya, obat yang Isla presentasiin lebih cocok buat pasien-pasien gue.” Irgi duduk di sofa tamu tepat di depan meja kerja Zhen, membuka tutup mie instan seduh, mengaduk makanan itu dengan garpu plastiknya. “Lo dan bini lo kenapa sih kalau makan di sini mulu? Mana makanan gue mulu yang diembat!” “Biar ruangan adek sepupu ipar aja yang terkontaminasi, ruangan gue jangan.” “Boncos gue punya sepupu ipar macam lo, Gi!” “Eh, Zhen! Tuh lihat!” Zhen mengembalikan pandangannya ke seberang kaca, mengikuti titik pandang Irgi, mendapati Isla yang tengah terdiam mendengar perkataan yang tidak menyenangkan dari orang yang berdiri dengan angkuh di hadapannya. *** “Berapa yang perusahaan lo tawarin untuk si Zhen?” Isla yang sedari tadi asik membaca materi detailing sebuah produk baru, mengangkat pandangan, menatap seorang koleganya dari perusahaan lain yang berdiri tepat di depannya. “Lo ngomong sama gue?” “Emang ada orang lain di sini?” “Oke. Ada apa Susan?” tanya Isla ramah. Susan tersenyum sinis, menarik napas dalam untuk menahan kekesalannya. “Gue yang presentasi, La! Gue! Tapi kenapa obat lo yang masuk listing rumah sakit?” “Hah?” “Ga usah belagak bego lo!” “San!” “Jangan-jangan bener gosip yang gue dengar. Lo berani kasih servis lebih supaya dokter-dokter pakai produk lo. Ga heran sih gue kalau lo selalu lolos target berapapun!” Kedua pupil Isla melebar, terhenyak dengan ucapan kasar Sandra barusan. “Dibawa kemana lo sama si Zhen? Atau in-car service?” sinisnya lagi. Isla mengepalkan kedua tangannya erat, menahan pekikan yang sudah di ujung lidahnya. Akibatnya, air matanya justru menggenang. “Malah nangis! Jaga tuh kelakuan lo! Kalau mau ngelonte liat tempat!” Isla gegas menghapus genangan air matanya. Meletakkan laptop di pangkuannya ke sofa. Berdiri tegap, meraih dan menahan lengan Susan yang baru saja hendak meninggalkannya. “Tiga bulan gue di sini baru akhirnya gue bisa dapet waktu dari dr. Zhen. Dan lo baru sebulan lalu lo bilang lo presentasi ke dia? Sekarang gue tanya, siapa yang berniat ngelonte? Lo atau gue?” “b******k! Lepas!” “Dua minggu ini gue diam aja saat ada yang nyampein ke gue kalau beberapa waktu lalu beliau nyediain waktu untuk gue detailing product, dan lucunya justru medrep lain yang masuk seenaknya. Ternyata itu lo?” “Gue bilang LEPAS!” Isla melepas cengkramannya, menatap murka pada Susan. “Satu lagi. Orang yang suka menuduhkan sesuatu ke orang lain, biasanya justru dia yang seringkali melakukan sesuatu itu!” Isla meraup semua bawaannya, melangkah lebih dulu meninggalkan Susan yang masih berdiri mematung, menahan geram. “La?” tegur Kane. Setelah keributannya dengan Susan tadi, Isla berpindah tempat ke ruang tunggu farmasi yang posisinya berdampingan dengan ruang tunggu IGD. Laptopnya terbuka dan menyala, namun Isla hanya termangu, masih terganggu dengan emosinya yang tiba-tiba meletup karena ucapan Susan. “Air putih mulu. Kopi kenapa, Dok!” “Ini yang gratis! Ga tau kalau magang bayarannya ga seberapa?” Isla hanya terkekeh. Ia lalu menepuk-nepuk tempat duduk di sampingnya, mempersilahkan Kane duduk bersamanya. “Udah selesai atau baru mau mulai?” tanya Isla. “Baru mau mulai.” “Kok lo magang di sini sih Dok? Kenapa ga di RSUD?” “Di sini kan salah satu pusat trauma, La. Dan rumah sakit ini memang nerima magang kok.” “Oh gitu.” “Lo kapan mau lanjut koas?” Kane balas bertanya. “Mending lo tanya gue kapan gue naik jabatan jadi superintendent!” “Kapan la?” “Nanti kalau bos gue tembus target 300 juta, Dok! Kalau itu juga!” Kane malah terkekeh. “Berat ya La?” “Emang lo ngerasa berat, Dok?” “Kadang sih.” “Kenapa?” “Entahlah. Dulu gue pikir kalau mau kaya itu jadi dokter. Makanya gue sekolah kedokteran. Ternyata, ya beginilah. Lo tau kan gimana puyengnya?” “Semangat, Dok!” “Hmm!” “Gue doain lancar sampai dapet STR dan SIP. Lanjut spesialis, Dok! Wajar kok lo pengen kaya! Kalau ada orang yang kerja bukan karena uang, mungkin itu orang udah tajir dari sananya Dok!” Kane tersenyum hangat. Ia lalu mengepalkan kedua tangannya di depan d**a, merespon perkataan Isla. “Semangat!” ujar Kane. “Gue pamit ya, La. Mau siap-siap.” “Sip, Dok. Gue juga mau ke farmasi kok. Tadi ada yang ngebocorin kalau obat gue masuk listing! Yeiy!” Usai mengkonfirmasi status produk ke bagian farmasi, Isla pamit meninggalkan rumah sakit pada Gary dan Lian. Pelipisnya masih berdenyut nyeri sedari tadi, mungkin karena terpancing ucapan sinis Susan sebelumnya. Isla tengah sibuk mencari ponselnya yang entah berada di bagian mana canvas bag-nya. Ponsel itu berdering, membuat Isla repot mencarinya. Di saat yang sama, bunyi klakson mobil membuatnya tersentak. Isla menoleh, memandang sang pengendara yang berada di balik roda kemudi. “Kurang ke tengah!” sindir Zhen setelah membuka kaca jendela di sampingnya. “Mobil baru Dok?” tanya Isla, acuh. Zhen tak menjawab, ia malah bersiap menutup kembali jendela itu. “Eh tunggu, Dok!” “Apa lagi?” “Nebeng.” “Saya ga bawa Bentley tuh.” “Ga apa-apa, Dok. Porsche juga oke kok.” Zhen hanya menggelengkan kepalanya. “Porsche saya ga bawa cewek yang belum move on!” ketus Zhen seraya menaikkan kaca jendela mobilnya. Isla tak kalah strategi. Ia malah berdiri tepat di depan kendaraan mewah berwarna putih itu. “Tenang Dok! Saya udah move on. Dunia akhirat!” ujar Isla lantang. Isla merambat-rambat hingga ke sisi co-pilot. Mencengir di sana. Pasrah, daripada malu jadi tontonan orang yang berlalu lalang, mau tak mau Zhen membukakan kunci pintu untuknya. “Terima kasih, Dok,” ujar Isla seraya memasang sabuk pengamannya. “Saya ga searah dengan kosan kamu, La.” “Siapa yang bilang saya mau ke kosan?” “Emang mau kemana?” “Ke hati Dokter.” Zhen mengernyit. “Dokter mah! Malu tau!” rajuk Isla. ‘Sial! Udah gue putusin urat malu gue, reaksi dia malah jijik gitu!’ “Kamu yang ngerayu saya kok kamu yang malu?” “Emangnya yang ngerayu duluan pasti orang ga tau malu? Faktanya--” “Ini Porsche Isla, bukan Bentley,” potong Zhen. “Paham, Dok!” “Terus?” ‘Kalau Bentley jadi pacar. Kalau Porche jadi calon juga boleh. Calon mamanya anak-anak kamu.’ ‘Istighfar, La! Istighfar! Nyebut but!’ “Ikut,” jawab Isla. Datar. “Ikut kemana?” “Jalan-jalan.” “Saya ga tanggung ya!” “Tanggung apa, Dok?” Tatapan lekat Zhen menghujam jantung Isla. Kali pertama di tengah kebersamaan mereka berdua, detak aneh menyapanya. Hangat. “Saya ga tanggung kalau kamu jatuh cinta beneran sama saya!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD