BAB 09: KEMBANG KOL

1627 Words
Isla masih memeluk seorang balita berumur dua tahun dengan selang oksigen yang tersambung ke hidung mungilnya, mengusap-usap lembut punggung sang anak seraya menina bobokannya. Sementara bayi lucu itu masih mendelik seraya mencengir pada Zhen yang menggodanya dengan beragam ekspresi jahil. “Dok, ga tidur-tidur nih,” rajuk Isla. Zhen langsung merubah ekspresinya, datar. Tetapi begitu Isla berbalik, ia mulai lagi menggoda balita itu. Ambar yang memperhatikan keusilan Zhen sedari tadi menahan kekehannya. Menyerah, pada akhirnya Isla menyerahkan bayi menggemaskan itu pada salah seorang perawat di sana. “Jadi, kalian sudah saling kenal?” Ambar memastikan kembali arti dari respon terkejut Isla saat mendapati Zhen adalah anak pemilik panti asuhan itu. “Ngga, Umi.” “Iiih Dokter jahat banget!” “Loh, emang kapan kita kenalan?” “Ish! Emangnya harus kenalan baru kenal?” Zhen melengos lagi, pura-pura tak perduli. “Kalian itu lucu sekali!” kekeh Ambar. “Nak Isla sudah punya pacar?” Kalimat yang sedari tadi sudah berada di list pertanyaan teratas Ambar, akhirnya terucap juga. “Udah ga punya, Mi. Abis diputusin dia,” Zhen yang menjawab. “Giliran yang begitu aja cepet bener jawabnya!” gumam Isla. “Apa?” “Ngga, Dok.” “Kok kamu jadi jutek?” “Dok, tuh di aula ada kaca gedenya sedinding. Mau saya kenalin ga sama orang paling jutek dan ngeselin?” “Ngga! Kurang kerjaan!” ‘Astaghfirullah. Aritmia dah gue lama-lama!’ Ambar terus saja terkekeh geli. “Jadi, yang punya panti asuhan ini tuh orang tuanya Dokter Zhen, Umi?” Isla memilih bertanya ke Ambar daripada tiba-tiba terserang tekanan darah tinggi jika bertanya pada pria yang duduk tepat di sampingnya. “Iya, nak. Rumah Sakit Permata Indah kan juga punya Ayahnya Zhen.” “Hah?” “Tadinya Dokter Rayden minta Zhen yang jalanin Rumah Sakit itu. Tapi dia masih idealis. Masih cinta sama scalpel katanya. Kalau jadi Direktur kan banyaknya di balik meja kantor, bukan di balik meja operasi,” jelas Ambar. “Berarti Direktur Utama itu?” “Pamannya Zhen, adik ipar Ayahnya.” Mulut Isla spontan membentuk huruf O. ‘Pantes aja tajir bener! Mana ada dokter seumur dia udah bawa Bentley dan BMW kalau ga karena punya dana sampingan! Bagian dari hasil usaha aja udah berapa!’ “Aduh!” lirih Isla. “Dokter ngapain sih?” ketusnya lagi. Isla melepaskan secarik kertas yang Zhen tempelkan di keningnya dengan selembar plester. Di setiap meja ruang kreasi itu memang terdapat beberapa pernak pernik yang kerap digunakan anak-anak menyalurkan keterampilannya, salah satunya adalah setumpuk plester bergambar. ‘LAGI KESAMBET!’ tulis Zhen di kertas berwarna kuning itu. “Iiih Dokter! Jahil banget sih!” “Besok sampai rumah sakit saya daftarin kamu ke Irgi! Ada yang salah sama syaraf otak kamu itu!” “Dokter mah,” rajuk Isla lagi. “Yang sering berantem itu biasanya jodoh lho,” goda Ambar. Zhen diam saja, sementara Isla memiringkan kepalanya, menatap Zhen lekat, menunggu reaksi pria itu. Tak ada. Tetap saja datar. ‘Dasar tukang es!’ Isla mendengus, tetapi di saat yang sama perkataan Gary beberapa hari lalu terngiang kembali di benaknya. ‘Gue ga setuju-setuju amat sih dengan rencana lo. Tapi kalau lo menargetkan Ji Sung jadi laki lo ya gue setuju sangat, Nek. Jauh banget cyn kualitasnya Ji Sung sama mantan lo itu. Intinya, rencana lo ini ada resikonya. Asalkan lo siap nanggung ya eyke sih seperti biasa jadi cheerleaders pribadi yeiy! Kalau yeiy udah yakin, ya ga usah pake malu, Nek. Ngadepin es batu begitu yeiy yang harus sering-sering panas biar doi melted.’ “Astaghfirullah, Isla!” ketus Zhen tepat di depan wajah Isla. Isla refleks mencengir. “Yang kayak gini jadi jodoh saya Umi? Bisa kena infark miokard saya. Ada saya aja dia bengong melulu mikirin mantan!” “Kata siapa saya mikirin mantan?” sulut Isla, tak terima. “Oh, udah ada yang lain? Cepet bener!” “Dokter kenapa sih?” “Saya ga suka liat orang halu!” “Kan saya haluin Dokter!” Zhen diam seketika sementara tawa Ambar menyembur otomatis. *** Begitu hari semakin larut dan waktu mendekati pukul sepuluh malam, keduanya pun pamit undur diri. Di ruang admission panti, Isla menolehkan pandangannya, terpaku pada sebuah gambar yang terbingkai dan diletakkan di salah satu lemari kabinet terbuka. Isla melangkah mendekat, menatap lekat sebuah gambar anak kecil yang sedang duduk berdua dengan teman bermainnya. Tetapi bukan hanya gambar itu yang menarik perhatian Isla, melainkan sebuah cap bergambar lumba-lumba berwarna merah jambu di tengah bawah gambar. ‘Di mana ya pernah lihat cap ini?’ “La?” “Oh iya, Dok.” “Ayo, sudah malam banget.” Isla menjauh dari gambar itu, masih berusaha menggali ingatannya di mana ia pernah melihat cap serupa. Entah mengapa gambar dan cap itu mengganggunya, seolah ada hal atau sesuatu yang luput ia ingat. Lamunan Isla pecah kala mendengar suara kunci jarak jauh yang Zhen tekan. Tetapi bukannya terus melangkah, Isla justru membatu saat menyadari kendaraan yang Zhen bawa malam itu. “Ayo, La,” ujar Zhen, lelah. Kesal dengan sikap Isla yang selalu saja termangu. “Nak Isla?” tegur Ambar. “Oh iya, Umi. Isla kaget aja liat mobilnya Dokter Zhen.” “Ya sudah sana, nanti kalau Zhen ngambek kamu malah dipesanin taksi sama dia!” Isla tersenyum, kemudian menganggukkan kepalanya sebelum kembali melangkah dan masuk ke kursi co-pilot sedan mewah yang membawa suasana buruk di hatinya. Zhen menyadari mood Isla yang tiba-tiba amblas. Dalam diamnya ia berkali-kali memutar semua interaksi mereka kala di panti, apa yang salah, apa yang membuat Isla menjadi diam seperti itu. “Saya mau beli nasi goreng. Kamu mau?” “Hmm!” ‘Waduh?’ “Makan di tempat, La.” “Hmm!” “La?” “Hmm!” “Apa yang salah?” “Hmm!” 'Ini gue di prank apa ya?’ Zhen menghentikan usahanya, menepikan sedan kesayangannya di bahu jalan, tepat di depan sebuah gerobak yang menjual nasi goreng terlezat menurut penilaian lidah Zhen. “Di sini?” Akhirnya Isla bicara juga. “Iya.” “Dokter makan di pinggir jalan?” “Lah, emang apa yang salah?” “Oh.” Zhen hanya mendengus. Ia menarik tuas pintu dan melangkah keluar, langsung mendekati sang penjual makan malam sejuta umat itu. “Nasi goreng ati ampela dua, capcay gorengnya satu, banyakin kembang kolnya ya Bang. Capcaynya jangan kasih telur dan baso. Sayuran aja. Semua pedasnya sedang.” “Oke Pak Dokter!” “Dokter tau nasi goreng ini?” tanya Isla begitu Zhen duduk berhadapan dengannya. “Kamu bukan anak JakSel kalau ga tau nasi goreng ini.” “I see.” Sekitar sepuluh menit kemudian, nasi goreng pesanan Zhen pun tiba di hadapan mereka. Lagi, Isla tertegun. “Ati ampela?” tanya Isla, “Kenapa?” Zhen malah balik bertanya. “Justru saya yang kepingin nanya, kenapa Dokter mesanin saya nasi goreng ati ampela?” “Kan saya yang pesan, saya yang bayar, saya maunya ati ampela, biar abangnya ga ribet ya saya pesan dua. Paham?” “Paham, Dok!” ‘Sabar La, sabar!’ Isla mulai menyuap makanannya, begitu pun Zhen. Tetapi apa yang terjadi tepat di depan matanya membuat Isla kembali meragukan sosok pria yang duduk berhadapan dengannya ini. Zhen memisahkan kembang kol dan sayuran lainnya seolah berkubu di atas wadahnya. Kubu kembang kol di sisi Isla, dan kubu sayuran lain di sisi Zhen. “Dok?” “Saya ga suka kembang kol. Kamu aja yang makan!” Isla masih diam. Benarkah karena Zhen tak menyukai sayuran berkuntum putih itu? Ataukah karena Zhen tau itu sayuran favorit Isla? Dan Isla membenci wortel juga kol putih. Bahkan Isla baru sadar jika di wadah itu hanya ada sayur, tanpa telur ataupun baso seperti yang biasanya tercampur bersama. “La, sumpah saya ga suka lihat orang melamun terus.” “Maaf, Dok.” “Kamu butuh bantuan psikiater?” “Ngga, Dok.” “Terlalu sering melamun itu termasuk gangguan kejiwaan lho, La.” “Iya, Dok. Saya tau.” “Lalu?” “Saya cuma bingung.” “Bingung apa?” Isla mengangkat tatapannya yang tadi ia tundukkan saat Zhen mencecarnya barusan. “Entah kenapa, saya ngerasa Dokter cukup baik mengenal saya.” Zhen hanya menatapnya, tak berkata apapun. Tak pula terkejut. Tak jua salah tingkah. “Makan, La. Ga bagus perempuan pulang terlalu larut.” “Iya, Dok.” *** Zhen melirik jam di dashboard, sudah pukul 23:17 saat ia menarik tuas rem tangan tepat di depan kosan Isla. Sepanjang perjalanan Isla kembali diam saja. Tetapi alih-alih melamun, ia justru terlihat menahan kesal di mata Zhen. Zhen yang sudah merasa lelah enggan memancing perdebatan dengan mempertanyakan sikap Isla yang seperti ombak itu. “Kamu ga turun?” tanya Zhen, datar. Isla mendengus. Entah sudah yang keberapa kali. Lalu ia menolehkan wajahnya, menantang tatapan Zhen. “Lain kali, kalau mau ngajak saya jalan-jalan, tolong jangan pakai mobil ini,” tegas Isla. Zhen mengerutkan keningnya, merasa aneh dengan permintaan Isla. ‘Dih! Dia yang numpang kenapa dia yang ngatur?’ “Dengar ga Dok?” “Kenapa saya harus dengarin kamu?” “Karena saya ga suka sama mobil ini!” “Kok kamu marah?” “Iya, mobil ini bikin saya emosi!” “Kan saya cuma nanya, mau bareng ga? Kamu yang bilang mau. Ya salah kamu!” Isla menghembuskan napasnya keras. Satu tangannya sudah menggenggam tuas pintu. Ia menyerongkan tubuhnya, bersiap turun. Namun sebelum pintu itu terbuka, Isla kembali menolehkan kepalanya. “Dengar ya Mas Ji Sung, sekali lagi kamu ngajak saya naik sedan ini, kita resmi pacaran!” Zhen membeku. Kedua matanya terpaku menatap Isla yang keluar dari mobilnya, melangkah, membuka kunci pagar, dan melangkah masuk ke kosannya. Dua kalimat bergema keras di benaknya. ‘Mas Ji Sung? Gue?’ ‘Resmi pacaran? Ya Allah, Jisoo!’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD