RED - 2 : Lord Neuri and Miss Loqestilla

1974 Words
Kerusakan 2 . Seorang pelayan membebat tubuhnya dengan perban usai mengoleskan salep. Loqestilla mengernyit ketika bebatan yang cukup erat menggesek luka yang masih basah. Usai si pelayan menyelesaikan pekerjaannya, Loqestilla hanya memberi ucapan terima kasih. Si pelayan mengangguk, tanpa tersenyum atau bersuara, dia pergi begitu saja. Loqestilla pun mengenakan baju tidur berwarna putih gading. Lalu duduk di sofa dekat jendela, sambil menunggu pelayan tadi datang membawakan makanan dan juga meracikkan obat. “Tempat yang indah,” gumamnya samar. Ada senyum kecil ketika Loqestilla melihat suasana taman dari balik jendela. Di taman itu, ada kebun mawar membentang. Terlihat mawar burgundi, red and white, pale peach, dan bahkan mawar lavender yang mekar berjejalan. Berbagai jenis anggrek terangkai berdempetan. Bunga cosmos menghampar seperti karpet mewah. “Tidak ada mawar balerina. Sayang sekali.” Senyum itu pun perlahan pudar. Di tengah lamunan yang tidak bertujuan, sebuah suara menginterupsi Loqestilla. “Anda tampak kecewa karena di taman saya tidak ada mawar balerina.” Loqestilla menoleh, dan ia tersenyum melihat siapa yang datang. Dalam hati sedikit heran, mengapa orang itu bisa mendengar bisikannya padahal disuarakan dengan begitu lirih. Namun, seolah tidak menyadari kesalahan, Loqestilla tetap menyapa ramah. “Selamat pagi, Milord. Maaf jika keluhan saya terdengar lancang.” Orang yang baru datang itu, Neuri, memasukkan kedua tangannya ke masing-masing saku celana. Seraya tersenyum miring, dia berkata, “Tidak masalah. Mungkin lain kali saya akan menanam mawar balerina. Sebagai variasi.” Tawa kecil menghias bibir Loqestilla. “Hari ini, sebaiknya Anda sarapan bersama saya di ruang makan. Anda tampak sehat untuk sekadar berjalan di dalam rumah.” “Baik, Milord.” Neuri tersenyum miring lagi, dan hal itu membuat Loqestilla memperhatikan lebih dalam. Sebab ketika tersenyum, bekas luka di wajah Neuri tertarik ke atas dan membentuk pemandangan mengerikan. Sebenarnya, di bawah mata kanan yang cemerlang itu, ada luka bakar yang mengurat sampai telinga. Saat pemiliknya tersenyum, luka tersebut berkerut. Untung saja, meskipun sedikit cacat, Neuri masih tetap terlihat rupawan. Loqestilla yakin, beberapa gadis bahkan menyukai pria yang seperti itu. Sebab tampak jantan dan liar, tidak jarang memicu imajinasi yang di luar nalar. . oOo . Meskipun hanya makan berdua, tetapi Neuri tetap mengajak tamunya menikmati hidangan di meja utama. Sebuah meja persegi panjang dengan vas berisikan mawar lavender yang baru dipetik tadi pagi, permukaannya terlihat berkilau dan licin, pertanda sudah digosok sedemikian lama oleh pelayan. “Bagaimana tidur Anda semalam, Miss Loqestilla?” “Saya tidur nyenyak, My Lord. Terima kasih telah bersedia meminjamkan kamar dengan kasur yang begitu nyaman.” “Ya.” Kemudian cecapan dilanjutkan. Tidak ada lagi kata yang terlontar. Hanya suara lentingan sendok dan garpu yang menemani. Neuri tidak berusaha mencari bahan obrolan, Loqestilla pun demikian. Keduanya pasif dan lebih khusyuk menikmati hidangan. Lagi pula, siapa yang tidak tertarik dengan ayam kalkun bakar yang diberi rempah dan beraroma menggoda. Bahkan ketika Loqestilla baru memasuki ruang makan, ia sudah meneguk ludah. Baru setelah Neuri meneguk air di dalam gelas kaca, beberapa kalimat mulai disuarakan kembali. “Hari ini saya ada jadwal ke kuil. Mungkin esok hari baru kembali ke estat ini. Miss Loqestilla tidak keberatan jika saya tinggal, bukan?” Loqestilla mengangguk sembari mengelap mulutnya menggunakan serbet biru bermotif bunga. “Tentu saja. Saya akan beristirahat kalau begitu.” Neuri mengangguk. Diambilnya serangkai anggur merah dari wadah, lalu dimakan satu demi satu. Sebenarnya, anggur itu hanya upaya agar ia bisa berada di meja makan lebih lama. Sebab, ada hasrat ingin mengamati individu asing di hadapannya sekarang ini. Curiga, penasaran, dan sedikit rasa takut. Perasaan-perasaan itu membuat Neuri ingin tahu lebih banyak tentang Loqestilla. Sebab, cukup jarang orang asing yang bersinggah di Lunadhia. Apalagi orang asing itu dari ras separuh binatang. “Miss Loqestilla?” “Ya?” Jeda beberapa saat, Neuri menimang-nimang kalimat seperti apa hendaknya yang boleh keluar dari mulutnya. Sebutir anggur pun dikunyah beserta bijinya, ada rasa sepat tercecap. “Boleh saya tahu, demihuman jenis apa Anda ini? Anjing? Serigala?” Seraya memberi senyum sopan santun, Loqestilla menjawab. “Rubah. Saya rubah betina, vixen. Dari ras rubah merah.” Tampak kernyitan di dahi Neuri. “Rubah merah? Saya belum pernah mendengarnya.” Telinga Loqestilla berjengit, dan itu sedikit menarik perhatian. Mengapa harus berjengit? Ada sesuatu kah? Sayangnya, Neuri menyimpan pertanyaan itu dalam hati, sehingga terus saja bertanya. “Dan Anda tidak bersama kelompok? Biasanya, demihuman jenis anjing seperti Anda suka berkelompok.” Loqestilla menggeleng. “Saya sudah tidak memiliki kelompok.” Neuri hanya mengangguk, tak terlihat besimpati. Mungkin karena nada bicara Loqestilla yang tenang, sehingga pernyataan yang seharusnya terkesan sedih itu terdengar biasa-biasa saja. “Berarti Anda sekarang ini seorang rogue?” Namun, Loqestilla menggeleng dengan cepat, bahkan ada kikik geli dari bibirnya yang masih pucat. “Saya bukan werewolf, My Lord. Saya seorang werefox. Dan jenis kami bisa hidup sendiri tanpa ada kasta maupun kelompok yang mengikat.” Jemari Neuri yang akan mencuil anggur pun berhenti. “Hmm,” gumamnya ambigu. “Tapi Anda bilang tadi, tidak memiliki kelompok?” “Yang saya maksud adalah saya sudah tidak tinggal bersama sesama. Saya pergi dari desa.” Bibir Neuri mengerucut berbentuk o. Sebenarnya, masih banyak yang ingin Neuri ketahui, tetapi anggur yang diambilnya sudah tak tersisa. Tidak ada alasan untuk berlama-lama mengobrol. “Saya sangat tertarik dengan asal-usul Anda. Tetapi saya harus undur diri. Selamat beristirahat, Miss Loqestilla.” Earl of Lunadhia itu berdiri usai mengelap sudut bibirnya. “Anda juga, Milord. Selamat berdoa.” Neuri tersenyum, lalu seorang pelayan memakaikan mantel dan top hat berwarna hitam. Tidak lupa menyerahkan tongkat jalan bersemat batu bulan di atasnya. “Ya.” Setelah itu, ia berjalan meninggalkan Loqestilla yang terdiam memandangi punggungnya. Mantel Neuri yang panjang mengombak ketika ia berjalan, sangat berwibawa. . . . Lunadhia memiliki satu kuil pusat yang biasa digunakan beribadah penduduknya. Letaknya agak jauh dari desa, dan cenderung lebih dekat hutan. Kuil tersebut terbuat dari campuran berbagai macam batuan, tetapi dinding-dindingnya berasal dari batu sungai berwarna hitam mengilat. Jendelanya terbuat dari mosaik kaca yang membentuk bulan. Pertanda bahwa kuil tersebut milik para pengikut Moon Goddes, Dewi Bulan yang katanya berseng-gama dengan Dewa Serigala sehingga melahirkan keturunan yang dipercaya mampu mengubah wujudnya menjadi serigala mistis raksasa. Banyak yang percaya bahwa dari legenda tersebut kaum manusia serigala berasal. Hanya saja, hal itu masih simpang siur. Neuri kadang berpikir-dan memang sering memikirkannya- bagaimana mungkin penduduk Lunadhia bisa memuja dewi milik para werewolf. Sementara tidak ada sejarah sama sekali Lunadhia pernah disinggahi kaum pengubah wujud itu. Apa mungkin Moon Goddes yang dimaksud adalah sosok yang berbeda? Lagi pula, pada ornamen kuil juga tidak ada satu pun gambar, ukiran, bahkan patung serigala. Hanya aksesori bulan di mana-mana. Sering kali Neuri ingin menanyakan hal itu pada pendeta, tetapi kata yang sudah di ujung lidah, tiba-tiba ditelan kembali. “Begini, Bapa. Kemarin malam, saya bermimpi cukup buruk dan mengerikan. Saya melihat taman yang dipenuhi mawar balerina. Kemudian angin berwarna merah menghancurkannya dengan beringas. Lalu saya bertemu dengan seseorang. Tidak tahu mengapa, dia mengoyak tubuh saya hingga tidak bersisa. Rasa sakitnya sangat nyata. Hingga saya terbangun dalam keadaan yang kurang bugar. Saya bersyukur semua itu hanya mimpi. Namun, saya takut mimpi buruk seperti itu juga merupakan pertanda akan datangnya badai bencana.” Neuri menyelesaikan keluh kesahnya dengan baik. Kedua tangan yang bersarung hitam saling mengait di atas meja, sedangkan seorang pendeta berbaju putih menatapnya pengertian. “Apakah Lord Lycaon bertemu orang baru, akhir-akhir ini?” Neuri mengangguk. “Lord Lycaon memang memiliki kebiasaan bermimpi buruk ketika bertemu orang baru, bukan? Dan selama ini, saya kira tidak ada hal buruk yang terjadi. Saya percaya Anda tidak berdoa malam itu.” Sekali lagi Neuri mengangguk. “Untuk menghapus keresahan dan mungkin dosa yang tidak sengaja dilakukan. Ada baiknya My Lord mulai mendekatkan diri pada Sang Dewi. Hati yang jauh dari cahaya ilahi, kerap kali disusupi iblis. Jangan sampai hal itu terjadi pada Lord Lycaon.” Neuri mengangguk lagi. “Untuk itulah saya akan berada di sini sampai tengah malam. Mohon diizinkan.” “Tentu saja, My Lord.” Usai mendapat restu dari pendeta kuil, dan bahkan diizinkan berada di dalam bangunan kusam itu sendirian, Neuri hanya duduk menatap patung Moon Goddes yang melingkari bulan seperti bayi yang meringkuk. Tidak ada doa diucapkan, tidak ada pujian-pujian. Suasana sore yang jingga membuat kuil itu sedikit berpendar kemerahan. Rasanya hangat dan menentramkan. Neuri duduk di sana sampai langit menjadi benar-benar petang. Patung Dewi Bulan yang tadinya bercahaya keemasan, kini berubah putih oleh pendaran bulan. Suasana kuil yang hangat memudar, berganti gelap dan semakin dingin. Di tengah suasana yang mampu membius siapa pun untuk terlelap, Neuri mulai berceracau. “Mana mungkin aku berdoa padamu, sementara di tubuhku ini ada jiwa musuhmu. Anak-anakmu, mungkin dapat berubah wujud berkat dirimu. Dan mereka pasti sangat gagah saat melakukannya. Tapi, lihatlah aku. Musuh abadimu telah membuatku dapat berubah wujud. Tapi rupaku sangat menjijikkan. Kau pun akan memalingkan wajah saat melihatku, ‘kan?” Patung Moon Goddes yang terbuat dari batu bulan tak menjawab apa-apa. “Kau memang begitu. Selalu saja diam setiap kali aku bercerita. Bahkan saat aku berdoa padamu, kau juga diam.” Tarikan napas panjang terdengar memenuhi ruangan. “Masih ingat? dulu aku berdoa supaya keluargaku selamat dari bencana. Tapi kau tidak mengabulkannya. Jangan salahkan aku jika aku berdoa pada musuh abadimu.” Moon Goddes yang indah dan dingin tetap tersenyum. Seakan tidak berempati pada kisah pilu yang dituturkan Neuri. “Setelah itu, kau masih saja tidak peduli padaku. Setiap tiga puluh hari, cahayamu selalu datang dan membuatku menjadi monster. Aku tahu kau menghukumku, tapi mengapa hukuman itu begitu lama. Sedangkan doa-doaku tidak pernah kau kabulkan satu pun.” Celotehan Neuri mengalir bagai anak sungai yang mengalirkan air menuju muara. Tidak terasa, tengah malam pun datang dengan cepatnya. Ditandai dengan suasana kuil yang makin menggelap dan udara yang lebih dingin daripada beberapa saat tadi. Cahaya rembulan pun semakin terang, menembus kaca-kaca mosaik kuil, menyinari patung Moon Goddes hingga membuatnya berpendar lebih putih seolah-olah akan hidup dan tiba-tiba berkedip. Neuri membuka sarung tangannya. Kedua tangan yang bergetar itu, perlahan mengeluarkan urat-urat merah, lalu bulu kehitaman tumbuh dengan cepat. “Sudah saatnya.” Dengan kaki yang agak gemetar, Neuri berjalan ke luar melalui pintu belakang yang sering tidak terkunci. Setelah itu, ia pun berlari semampu yang didapat, menembus jalanan yang becek menuju hutan lebat di depan sana. Seraya berlari, kedua tangan yang mulai bercakar digunakan membuka kravat, jas, rompi, dan kemeja. Tidak sampai semenit, Neuri sudah telanjang bulat. Seraya berusaha meredam raungan, tubuh Neuri berbunyi sangat keras. Seperti tulang yang dipatahkan satu demi satu. Urat-urat kemerahan menyembul pula dari seluruh tubuh. Lalu punggung yang mulai bungkuk itu tumbuh daging yang menjulang, lama-lama membentuk sayap kelelawar. Bulu-bulu lebat mulai memanjang ke seluruh tubuh. Wajah Neuri berekspresi sedemikian rupa, hingga gigi mulai tumbuh taring, mulut melebar dan condong, telinga meruncing, dan mata yang beriris coklat perlahan menjadi merah. Sewaktu kaki bercakar yang sudah berubah menjadi seperti binatang menjejak di atas bebatuan besar, dan tubuh monster itu tersirami cahaya rembulan, makhluk itu melolong memecah kesunyian malam. Haus ... lapar .... Disetir insting hewani. Neuri berlari kemana pun kaki melangkah. Telinga runcing yang mendengar detakan jantung dengan jelas, menggiringnya kepada seekor induk rusa yang tengah menyusui anak-anaknya. Diterjangnya induk rusa itu. Dicabik-cabik tubuh rusa yang tidak berdaya, dan taring yang serupa hewan dari neraka itu terus saja menggerogoti daging segar berlumuran darah. Tidak peduli dengan bayi-bayi rusa yang tertatih melarikan diri. Cahaya bulan menyinari sosok rakus yang tak kenal ampun. Seolah memberi kekuatan, sekaligus kutukan. Sayang sekali, Neuri tidak menyadari mata merah lainnya dari balik batang pohon randu raksasa. Sosok yang memakai pakaian tidur putih itu melihat dengan antusias, memindai setiap gerakan Neuri dengan mata semerah rubi. Berkali-kali saliva diteguk. Ada hasrat ingin bergabung menikmati segarnya darah rusa di sana. Akan tetapi, belum waktunya. Seraya menelan kecewa, sosok itu pun berlalu pergi. . TBC 01 Juni 2020 by Pepperrujak in Dreame
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD