RED - 4 : New Teacher

1506 Words
Kerusakan 4 . Loqestilla memandangi tubuh telanjangnya yang terpantul dari cermin. Seperti yang diharapkan, luka-lukanya sudah menutup, tetapi selalu menimbulkan bekas. Kadang Loqestilla berpikir, mengapa tubuhnya tidak beregenerasi dengan sempurna? Seingatnya, kaum tertentu punya kemampuan regenerasi yang menakjubkan. Luka yang terbuka dapat langsung sembuh tanpa menimbulkan bekas. Lalu, mengapa dia tidak seperti itu? “Apa aku perlu memakan mereka supaya memiliki kemampuan seperti itu?” tanyanya pada wajah dalam cermin. Kemudian ia terkekeh tanpa alasan, membayangkan bagaimana rasa para makhluk abadi yang suci dan dianugerahi kemampuan beregenerasi menakjubkan itu. Ah, Loqestilla benar-benar merasa lapar tak tertahan. Kapan ia bisa kembali makan? . *** . Neuri benar-benar memenuhi janjinya. Ia membawa Loqestilla menyeberangi sungai menggunakan sebuah perahu, pergi ke salah satu pulau kecil yang masih menjadi tanah kekuasaan Lunadhia. Usai turun dari perahu, mereka berdua berjalan berbaris melewati hutan, meninggalkan seorang pendayung yang bertugas menjaga perahu. Hari itu gerimis, sehingga Neuri meminjamkan sebuah payung hitam bertepi renda kepada Loqestilla. Dan, entah mengapa, Neuri merasa payung tersebut terlalu cocok dengan image Loqestilla. Sepanjang kaki melangkah, jalanan becek menjadi teman yang tidak terlewatkan. Tidak salah jika Neuri menyarankan memakai boots tinggi sebelum mereka berangkat tadi. “Di balik hutan ini, ada sebuah desa. Masih satu paroki dengan desa Lunadhia.” Loqestilla mengangguk ringan. Mata yang semerah rambutnya memandangi percikan lumpur dan air kotor pada sepatu. Dalam hati sedang membuat rencana bahwa dia akan membawa lap kemana pun ia pergi, terutama ketika ia ingin berjalan-jalan di wilayah Lunadhia yang sering hujan dan banyak dijumpai rawa-rawa basah. Memikirkan hal itu, pegangan tangannya pada gagang payung bahkan sampai mengerat, terlampau gemas ingin segera membersihkan lumpur yang m*****i boots barunya, pemberian Lord of Lunadhia yang dermawan dan baik hati. “Anda nanti akan mengajar anak-anak desa yang berusia lima sampai sepuluh tahun. Kurasa Anda akan bisa mengatasinya.” Neuri masih terus berceloteh, berusaha menjelaskan ini dan itu supaya Loqestilla punya rencana untuk menghadapi pekerjaan baru yang diberikan. Sayanng sekali,  ketika Neuri menoleh ke belakang, matanya memincing kesal. Bisa dilihatnya teman bicaranya lebih fokus melihat ke bawah daripada melihat padanya. “Anda mendengar saya, Miss Loqestilla?” hardiknya keras. Loqestilla mendongak, tanpa terlihat kaget atau takut, ia menjawab. “Sangat jelas, My Lord.” “Tapi Anda tidak fokus.” “Maaf. Lumpur di sepatu ini mengganggu perhatian saya.” Neuri mendengkus melihat Loqestilla yang dengan santainya mengangkat sedikit kaki berbalut boots kotor. “Anda mungkin seorang pecinta kebersihan, tapi mohon sesuaikan perilaku Anda pada tempatnya.” “Baik, My Lord.” “Saya juga suka kerapihan dan kebersihan, tapi ada waktu sendiri untuk menunjukkannya.” Sambil kembali menghadap depan, Neuri masih mengomel. Sekilas Loqestilla merasa bahwa Neuri lebih mirip nyonya bangsawan beranak lima, daripada seorang Earl yang gagah dan maskulin. Namun, harus Loqestilla akui, Neuri itu termasuk salah satu manusia dengan kepribadian beraneka ragam yang cukup unik. Kadang sangat ramah layaknya gambaran gentleman yang ditulis dalam majalah-majalah tata krama. Sekali waktu dapat menjadi sangat sarkastik dan bahkan mampu mengucapkan kata-kata jujur yang begitu menyakitkan. Lalu, tiba-tiba menjadi pemarah seperti yang baru saja terjadi. Sebenarnya kepribadian yang berubah-ubah bukan lah sesuatu yang buruk. Sayangnya, hal itu malah membuat Loqestilla tidak bisa mengontrol produksi air liurnya. Ah, Loqestilla tiba-tiba merasa sangat lapar. Untuk ke dua kali di hari ini, ia bertanya pada dirinya sendiri, kapan ia bisa kembali makan? . *** . “Earl of Lunadhia! My Lord, selamat pagi.” Sewaktu Neuri dan Loqestilla berada di halaman luas berpaving, seorang pria pirang keriting menghampiri dengan riang. Mata hijaunya berkilau, dan bulu mata lentik miliknya bergoyang pelan tertiup angin. Pria keriting itu membungkuk pada Neuri, dan setelahnya berbicara seolah punya keakraban yang tidak bisa Loqestilla masuki. Tentu Loqestilla tahu bahwa pria itu mengabaikan kehadirannya. Atau mungkin, di matanya yang indah dan cantik itu hanya ada Neuri seorang. Yang manapun itu, Loqestilla sudah dapat menyimpulkan bahwa ia tidak disukai. Kesombongan teman lama, batin Loqestilla dengan wajah tersenyum manis. “Miss Loqestilla, perkenalkan, dia adalah Ferguso Albanero. Satu-satunya guru yang mengajar di tempat ini.” Akhirnya Neuri memberi jalan untuk Loqestilla dapat bergabung dalam obrolan. Menyambut niat baik Neuri, Loqestilla menekuk lututnya, dan diberi anggukan ringan oleh Ferguso. “Lalu Ferguso, seperti yang pernah kubicarakan padamu sebelumnya, ini Miss Loqestilla yang akan menemanimu mengajar di sini,” lanjut Neuri. Ferguso tersenyum singkat, tetapi ia kembali memusatkan perhatikan pada Neuri seorang. Tampak enggan berhadapan dengan Loqestilla. “Anda sangat mulia, Lord Lycaon. Sampai mencarikan guru tambahan untuk saya di sini. Terima kasih banyak.” “Tidak masalah. Saya hanya membantu Miss Loqestilla yang sedang mencari pekerjaan. Benar begitu, Miss Loqestilla?” “Tepat sekali, My Lord,” sahut Loqestilla. “Namun, yang dikatakan Mr. Albanero mengenai Anda memang benar adanya. Anda sangat mulia dan baik hati. Bahkan, Anda sudah terlalu banyak membantu saya. Ketika saya sakit pun, Anda merawat saya hingga dapat sebugar ini. Saya sangat berterima kasih.” Dari sudut mata, Loqestilla dapat melihat betapa Ferguso tampak terusik dengan perkataannya. Menyenangkan sekali bisa menjatuhkan orang sok akrab yang menyombongkan diri pada kenalan baru. Namun, tampaknya perang dingin itu tidak disadari oleh Neuri. Ia dengan santainya kembali bicara. “Ferguso.” “Y-ya, Milord?” “Setelah ini, tolong bantu Miss Loqestilla mengajar di sini. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu.” Neuri tersenyum singkat, luka bakarnya sedikit mengkerut. Namun, dihantam senyuman sebaik itu, bahkan Ferguso pun langsung menurut tanpa banyak alasan. “Serahkan pada saya, My Lord.” Setelahnya, Neuri pamit ingin berkeliling desa. Ia meninggalkan Loqestilla dan Ferguso yang berdampingan dalam keheningan. Angin hangat usai hujan mengembus tubuh keduanya. Rambut pirang Ferguso memantul-mantul, sedangkan helai merah Loqestilla meliuk seperti ekor rubah. Ferguso sempat melirik-lirik penasaran pada sosok baru di sampingnya. Terlebih karena telinga runcing Loqestilla yang sesekali menjentik ketika ada angin atau serangga yang lewat. Ia penasaran, dan ingin coba menyentuh telinga itu. Namun, demi sopan santun dan harga diri, ia menahannya sekuat hati. “Ehem.” Suara deheman Ferguso terdengar dibuat-buat. “Ayo, kuperkenalkan kau pada anak-anak.” “Baik, Mr. Albanero.” Dan seperti biasa, Loqestilla selalu memberi senyum terbaiknya. Payung yang terbuka, ia lipat dalam perjalanan. . *** . Loqestilla pikir, murid di sebuah desa kecil tidaklah seberapa. Namun, ketika Ferguso mengajaknya masuk kelas, ia bisa melihat puluhan anak duduk tertib dengan tangan melipat di atas meja. Satu, dua, tiga, dua puluh lima, tiga puluh, tiga puluh tiga. Tiga puluh tiga adalah jumlah yang terlalu banyak, sedangkan ini adalah pengalaman pertama Loqestilla menjadi guru. Tanpa sadar, ia meneguk ludah hampir empat kali. “Anak-anak, beri salam kepada Miss Loqestilla.” Ferguso memulai perkenalan. Kemudian siswa-siswi di dalam kelas menyahut bersamaan. “Selamat pagi, Miss Loqestilla. Semoga Moon Goddes memberkatimu.” Loqestilla memberi senyum seraya mengangguk kecil, mata masih awas memperhatikan tiap wajah yang kini juga sedang berfokus memandangnya. “Miss Loqestilla adalah guru baru di sini. Dia akan mengajar anak-anak dari usia lima sampai sepuluh. Di atas itu, kalian akan tetap bersamaku.” Ferguso melanjutkan. Bisa dilihatnya beberapa murid perempuan di atas sepuluh tahun tersenyum berseri, sedangkan anak laki-laki mendebas kecil. Tampaknya, pria muda nan menawan ini cukup banyak memiliki penggemar. Sebenarnya, ucapan Ferguso itu juga cukup melegakan untuk Loqestilla. Sebab, dia tidak akan mengajar seluruh anak di kelas ini. Artinya, bebannya berkurang. Entah berkurang berapa, tetapi tetap membuat perasaan Loqestilla lebih lega. Ia masih merasa belum mampu berurusan dengan banyak anak kecil, terlebih harus berperan sebagai pendidik untuk mereka. Semakin sedikit kepala yang harus ia ajar, semakin gembira hatinya. “Kalian yang berusia di atas sepuluh tahun, ayo pindah ke ruangan sebelah,” ucap Ferguso lagi lebih keras. “Baik ....” Murid-murid berbondong berdiri. Seraya membawa sebuah buku, mereka keluar dari kelas. Ferguso tidak lantas mengikuti kepergian murid-muridnya. Dengan sikap seorang senior, dia tampak ingin mengatakan hal-hal bijaksana. ”Jika mereka nakal, Anda boleh memukul mereka. Dan sebaiknya Anda tidak mengiyakan setiap keluhan mereka. Anak-anak cenderung mengarang cerita untuk menarik perhatian. Meskipun mereka kecil, sebaiknya Anda waspada.” “Akan saya ingat dengan baik, Mr. Albanero.” Ferguso mengangguk-angguk. “Nikmati hari pertama Anda, Miss Loqestilla,” ucapnya disertai seringai. Setelahnya, ia berlalu pergi dengan membawa senyum mencurigakan. Namun, Loqestilla tahu bahwa pria keriting penjilat itu sedang merencanakan sesuatu yang memalukan untuknya. Tidak masalah. Akan Loqestilla tunggu dengan hati riang gembira, seperti ketika ia mengunyah belalang musim semi di taman Lord Lycaon yang berwarna-warni bunga. . *** . Cukup lama Loqestilla hanya memandangi murid-muridnya, dan ia pun menyadari bahwa seluruh mata sedang menunggu perintah darinya, sehingga ia mengawalinya dengan hal yang paling mudah. “Kalian sudah berdoa?” Murid-murid pun menggeleng serempak, masih dengan pandangan yang terus diarahkan pada Loqestilla seorang. Terutama pada telinga runcing yang sesekali berkedut. “Kalau begitu, mari berdoa terlebih dulu. Siapa yang biasa memimpin doa?” “Saya, Miss Loqestilla.” Seorang anak laki-laki paling tinggi di kelas mengangkat tangan sembari berdiri. “Namamu?” “Venecia.” “Silakan memimpin doa.” Venecia mengangguk, tanpa duduk kembali ia mulai berucap dengan keras. “Mari satukan jemari dan menutup mata.” Murid-murid pun menautkan kedua tangan di atas meja, kemudian memejamkan mata. Setelahnya, Venecia memulai doanya. “Demi nama Moon Goddes yang maha pengasih. Berilah rahmat kepada kami hari ini. Selamatkanlah kami dari godaan iblis, baik pada saat matahari bersinar atau ketika matahari tenggelam. Lindungi kami dari bisikan yang menyesatkan supaya kami tetap menjadi hambamu yang suci. Semoga Moon Goddes mendengar doa kami.” Lalu diikuti sebelas murid lainnya. “Semoga Moon Goddes mendengar doa kami.” Di depan kelas, Loqestilla memperhatikan satu demi satu murid-muridnya yang masih terpejam dan berdoa. Mereka berupa-rupa tampilannya; ada yang kecil, ada yang gemuk, berambut seperti jerami, atau sehalus benang sutera. Meskipun begitu, aroma mereka semua sama. Segar dan ceria, favorit Loqestilla. Tanpa ada yang tahu, Loqestilla menggelengkan kepalanya sekali, mengusir pemikiran yang sempat melintas sekelebat. Hampir saja, hampir saja ia menghasratkan anak-anak ini untuk menjadi makanannya. Sangat tidak beretika, tidak baik, tidak baik. Seorang guru seharusnya tidak menyakiti murid-muridnya. Loqestilla pun mengambil napas dalam-dalam, dan dengan ceria ia berucap. "Jika sudah selesai berdoa, mari kita belajar. Apa yang ingin kalian pelajari?" . TBC 03 Juni 2020 by Pepperrujak
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD