Empat

1423 Words
Terdengar ketukan pintu dari luar ruang rapat. Dariel bergumam kata masuk tanpa minat ia sudah lelah berharap, yang di tunggu, tak kunjung tiba. Kini ia hanya tinggal memikirkan kemungkinan kedua, plan B. "Maaf kita telat." Semua mata memandang seseorang didepan pintu dengan raut bingung. Bahkan Dariel yang tadinya menunduk kini mendongak melihat siapa yang seenaknya masuk ruang rapatnya. "Kalian Siapa?" tanya Dariel sambil berdiri dari duduknya. Pemuda berambut jabrik pendek melirik orang disampingnya sebagai tanda agar menjawab. "Maaf Tuan Kedrick, saya Ben sekretaris dari Tuan Aldrich Axton." Pria bernama Ben menunjuk pemuda jabrik, saat mengucapkan Aldrich Axton. "Beliau adalah pemimpin perusahaan INC ." lanjut Ben, "Apa?" Fredo berteriak Shock, Dariel sempat kaget namun selanjutnya senyum terukir diwajahnya, ia lalu bangkit dari duduknya diikuti yang lainnya juga untuk menyambut tamu yang sudah ditunggu-tunggu. "Selamat datang di Brantson Group." Dariel menjulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Aldrich dan disambut jabat tangan pula. "Perkenalkan diujung sana adikku Aarav." ucap Dariel sambil menunjuk arah adiknya. "Di sebelahnya Fredo, perusahaan miliknya akan ikut bekerja sama juga," jelas Dariel, Aldrich pun membungkuk sebagai salam. "Silahkan duduk." 30 Menit kemudian. Rapat berjalan lancar, Dariel merasa senang akan hal itu. Perusahaan INC menyukai idenya dan sudi menjalin kerja sama untuk pertama kalinya. Dengan ini, pasti secara perlahan Brantson Group akan bangkit kembali. Kepercayaan akan mereka dapat dan perusahaan-perusahaan yang meragukan mereka, akan tertarik untuk bekerja sama. "Terima kasih Tuan Axton semoga kerja sama proyek ini berjalan dengan baik." Tidak hanya kerja sama, ternyata perusahaan INC juga memberikan suntikan dana pada mereka. "Sama-sama Tuan Kedrick, saya permisi," ucap Aldrich kemudian berlalu pergi meninggalkan yang lainnya. "Ini gila Kak Dariel, kau gila mengirim proposal permohonan ke perusahaan itu dan lebih gilanya lagi kerja sama diterima, oh menakjubkan," decak Fredo dengan berbagai raut muka berubah-ubah, ikut gembira. Karena yang di perjuangkan oleh teman dekatnya yang sudah ia anggap saudara juga, tidak jadi gulung tikar. "Ini suatu keberuntungan di tengah keterpurukan bukan," ujar Dariel, ia sempat tidak percaya tadi. Namun kehadiran Aldrich dan Ben cukup nyata untuk di lihat. Mereka profesional tanpa memiliki rencana buruk dibaliknya. Tidak sama sekali. "Kau benar Kak Dariel, kita tidak akan menyia-nyiakan ini." "Tentu saja." Di sisi lain, Kennandra dan Reinnandra memasuki halaman tempat mereka menuntut ilmu menggunakan motor sportnya masing-masing. Warna merah untuk Kennandra dan biru untuk Reinnandra. Motor sport pemberian paman mereka Brian Calton di ulang tahun mereka ke 16, tahun lalu. Baru memasuki halaman saja banyak perempuan yang meneriaki nama mereka berdua karena mereka memang termasuk jajaran pemuda populer di sekolah. Ken dan Rein usianya 16 tahun mereka sudah memasuki senior high school di tingkat dua. Walau kembar, keduanya mengambil jurusan yang berbeda. Ken berada di jurusan IPS dan Rein berada di jurusan IPA. Keduanya menempuh pendidikan di tempat yang sama, tentunya disalah satu SMA ternama di Jakarta. "Berhenti mengumbar hal tak berguna." Rein terlihat sangat kesal dengan tingkah kembaran beda lima menit. Bertingkah genit dan lebay pada semua wanita yang meneriaki mereka. "Kita harus bersikap ramah, Little Brother. Lihat mereka senang bukan." Rein mendengus. "Itu menjijikan." Tak peduli akan tingkah konyol Kakaknya Rein melangkah dengan cepat menuju kelasnya meninggalkan Ken bersama para perempuan yang mengelilinginya. "Kau harus memberikan salam pada mereka setidaknya sebuah senyuman," ujar Ken namun tak ada tanggapan. "Rein," panggil Ken, ia pun menolehkan kepalanya kesamping di mana tempat adiknya berada, seketika itu pula mata Ken membola. Adiknya sudah hilang. "Dasar Rein kurang ajar, seenaknya saja dia meninggalkanku tanpa pamit," gerutu Ken lalu tanpa aba-aba meninggalkan kerumunan perempuan itu lalu berlari menuju kelasnya juga. *** Waktu menunjukan pukul 7 malam. Aldrich Axton melangkah dengan gagahnya masuk ke dalam rumah. Wajah letihnya terlihat jelas namun bertemu dan berkumpul dengan keluarga dapat menghilangkan letih ditubuhnya. Dari luar terdengar suara ribut-ribut ibu dan adik-adiknya membuat Aldrich menyunggingkan senyum meski tipis. Tanpa sadar ia melangkah lebih lebar agar lebih cepat masuk kedalam rumah. "Aku pulang." "Selamat datang." Aldrich bukanlah anak kandung dari Cerys namun Aldrich dibesarkan oleh Cerys diberi segalanya termasuk kasih sayang yang Aldrich rindukan dari sosok seorang ibu. Ibu kandungnya meninggal usai melahirkannya, ayahnya Austin Axton lah yang merawatnya seorang diri dari kecil hingga umur 3 tahun. Diusia itu Aldrich dipertemukan dengan Cerys dan si kembar Cerys yang baru lahir. Sejak saat itulah hidup seorang Aldrich tidak hanya berdua saja dengan sang ayah. Bertahun-tahun berlalu, Aldrich akhirnya memiliki keluarga lengkap impiannya, mempunyai ibu dan tiga orang adik, meskipun di usianya ke 16 ia harus kehilangan sosok sang ayah. Baginya keluarga adalah segalanya. Apapun akan Aldrich lakukan untuk kebahagian keluarganya. Termasuk merelakan masa kecilnya untuk menjadi tulang punggung keluarga dan menggantikan sosok Austin sebagai Direktur utama perusahaan Axton yang kini berganti menjadi perusahaan INC. Ia tidak sepenuhnya menjadi tulang punggung keluarga karena ibunya juga tetap gigih bekerja mempertahankan predikat sebagai seorang Dokter, tidak ingin berhenti. Sebenarnya Cerys melarang Aldrich waktu itu, hanya saja Aldrich berusia 16 tahun begitu sangat ingin menggantikan sosok sang ayah memimpin perusahaan yang dibangun ayahnya dari nol. Dengan dukungan dari Pamannya satu-satunya sepupu dari Austin yaitu Brian Calton dan orang kepercayaan ayahnya Ben serta dukungan dari Ibu juga adik-adiknya membuat Aldrich semangat dan berhasil. Hasilnya perusahaan peninggalan Austin sangat sukses dan berkembang luas. Kini Aldrich tidak sendiri, kedua adiknya juga membantu mengurus perusahaan dari rumah karena mereka lebih suka bekerja dibalik perusahaan. "Kakak, apa semua berjalan baik?" Makan malam telah usai, di meja makan tinggal Rein, Ken, Aldrich dan Cerys mencuci piring bekas makan malam di dapur sedangkan Grace pergi ke kamarnya untuk tidur. "Semuanya baik- baik saja Ken. Aku menyetujui kerja sama yang mereka tawarkan. Dengan syarat, masalah desain untuk pembangunan resort nya, kita yang tentukan dan aku menunjuk mu untuk itu. Apa kau siap bertemu mereka?" Seperti seorang ahli, Ken pintar dalam mendesain bangunan. Hobinya itu, menggambar. Ia menerima jasa bagi orang yang butuh untuk di desainkan segala macam bangunan. Entah, rumah, kafe, tempat praktek dan sebagainya. Ken menunduk bingung. "Sebenarnya aku masih ragu apalagi jika harus bertemu dengannya secepat ini?" "Kau harus siap sayang, kalian menginginkan untuk membantunya bukan, jadi kalian harus siap apapun itu," sahut Cerys dari arah dapur, tangannya bekerja telinganya pun juga ikut bekerja mendengarkan pembicaraan anak-anaknya. "Biarkan takdir berjalan, seberapapun kita menghindar pasti Tuhan memiliki rencana sendiri membawa kita bertemu dengannya kapanpun itu. Kita juga tidak bisa menghilangkan dia, karena dia memiliki ikatan sendiri dengan kita. Ikatan yang bukan hanya sekedar ikatan biasa, tidak ada bekas jika berakhir pun akan selalu ada keterkaitan. Kalian mengerti?" Tiga kepala itu mengangguk paham atas setiap nasehat ibunya. "Cukup jalani seperti biasa, oke." Senyum Cerys mengembang, menambah kadar kecantikannya. Pasti banyak orang yang tidak menyangka jika sosok cantik itu sudah memiliki empat orang anak bahkan tiga diantaranya telah memasuki fase remaja. "Jadi Al bagaimana selanjutnya?" tanya Cerys yang kini berdiri diantara si kembar dan Aldrich diruang makan. Ia berdiri dan ketiga anaknya duduk. "Kau harus menyiapkan presentasinya, besok siang usai makan siang temui mereka di perusahaan Brantson Group. Datanglah bersama Yama, dia yang akan menjadi tangan kananmu. Teman paman Ben, dia dapat dipercaya. Sudah bekerja selama 7 tahun di perusahaan kita sebagai manager keuangan." "Aku mengerti, Kak Al," balas Ken. Cerys semakin melebarkan senyumnya, bangga atas kerja keras anak-anaknya. Beberapa detik kemudian senyumnya memudar, melihat Rein diam dan melamun. Cerys menghampiri anaknya itu, berdiri di samping dan merangkul bahu tegap Rein. Sejenak ia dapat merasakan tubuh Rein tersentak kaget. "Ada apa, Rein?" mendengar suara lembut Cerys membuat Rein menatap ibunya lalu ia menggelengkan kepalanya. "Tidak ada apa-apa, Ma." Sebagai seorang ibu, Cerys dapat merasakan dan mengerti. Hal yang membuat putranya murung. "Kau kenapa adik, putus cinta? Ow, siapa yang telah membuat adikku galau seperti ini, harus diberi penghargaan karena berhasil meluluhkan Rein yang kaku," tanya plus goda Ken pada adik beda lima menitnya itu. Rein mendengus mendengarnya. "Ken." Tatapan tajam dari Cerys berhasil menghentikan cekikikan Ken. "Rein, mungkin kali ini Kakak-kakakmu terlebih dahulu bertemu dia, tapi percayalah kau akan bertemu dengan dia juga nanti. Bersabarlah, Sayang." "Jadi itu alasanmu bermuram durja adik." Ken menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kau tidak usah khawatir, aku akan menceritakan pertemuanku dengan dia seluruhnya. Apa perlu aku membawa penyadap suara sekalian? Tapi tidak, pasti kau akan mengejek kegugupanku nantinya." Rein menahan tawa melihat kelakuan Kakaknya sendiri. "Dasar bodoh." Ken melotot mendengar umpatan dari sang adik. "Apa kau bilang? Lihat Ma bahkan sebelum aku melakukan rencanaku Rein sudah mengumpati ku dengan kata yang posisinya berada di atas makna mengejek." "Itu memang kenyataannya." "Kalau aku bodoh, berarti kau gila menganggap orang setampan diriku bodoh." Adu mulut pun tak terhindarkan. Itulah warna di setiap keluarga di seluruh dunia. Pertengkaran antara adik dan kakak. Percayalah dibalik pertengkaran terselip kasih sayang yang besar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD