Dua

1262 Words
Di salah satu restoran, ada dua orang pria duduk saling berhadapan. Keduanya sama sekali tidak menyentuh makanan yang sudah tersaji di depan mereka. “Perusahaan milik ayahku mungkin bisa membantumu tapi kau dan aku sendiri tahu, itu tidak akan berefek besar.” Pria berwajah manis ini memandang lawan bicaranya. “Setidaknya kita butuh satu lagi kerja sama dengan perusahaan yang kemungkinan besar perusahaan lain menginginkan kerja sama dengan perusahaan itu juga. Setidaknya memancing perusahaan lain agar percaya pada perusahaan mu.” “Tidak mudah.” “Ck, aku tahu. Tidak ada salahnya usaha. Jangan berego tinggi jika memang butuh bantuan!” “Fredo!” “Apa?!” Pria berwajah manis yang ternyata bernama Fredo membalas seolah menantang. “Jangan sebut namaku dengan nada tinggi. Aku bahkan memiliki beribu-ribu makian yang ingin aku ucapkan padamu, Aarav.” Aarav mengepalkan tangannya. “Aku bingung dengan cinta bodoh mu itu. 13 Tahun kau bertahan dengan cintamu, putus nyambung, putus nyambung. Dia datang lalu kau di tinggalkan. Ajakan menikah yang selalu ditolak dengan macam-macam alasan. Ditambah empat tahun pernikahanmu, tidak juga menghasilkan apapun. Bahkan dia lebih banyak meninggalkanmu. Asyik sendiri bersama geng sosialitanya tanpa memperdulikan mu. Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiranmu, bagaimana bisa kau bertahan dengan hubungan yang seperti itu? Total 17 tahun, kau buat hidupmu sia-sia.” Gelas dan piring jatuh bersamaan, pelakunya tentu saja Aarav. Ia lakukan sebagai lampiasan kemarahan dalam dirinya untuk temannya ini. Fredo tak gentar. Tatapan tajam dari temannya itu, sama sekali tidak membuatnya takut. Ia dengan santainya membalas tatapan tersebut sampai temannya itu hilang dari pandangan matanya. “Tuan.” Seorang pelayan menghampiri Fredo “Saya akan ganti rugi. Masukkan saja dalam bil.” “Baik, Tuan.” Pelayan itu pergi. Tak berapa lama datang seseorang yang seharusnya Fredo dan Aarav tunggu. “Kau yang melakukan?” “Adikmu.” “Aarav?” “Kau punya adik siapa lagi, Kak Dariel?” Dariel tertawa sembari mengeluarkan ponsel dari sakunya. “Kau ini serius sekali? Habis candaan mu?” Ya, Fredo dasarnya orang yang enggak bisa diam. Terlalu bawel untuk ukuran laki-laki, untung sudah menikah. Sudah ada remnya. “Habis tenaga mengomeli adikmu. Percuma bicara dari A sampai Z, kalau hanya di anggap angin lalu. Gila aja 17 tahun waktunya sia-sia, demi wanita tidak tahu diri.” “Mereka akan bercerai.” “Iyalah, kedoknya terbongkar. Rugi di siapa? Kalian?” “Ibu Audi pernah menyelamatkan nyawa Aarav sewaktu Aarav SMP. Ibu Audi meninggal. Aarav merasa bersalah, dia minta satu sekolah dengan Audi agar bisa menjaga. Karena itu juga ‘kan, kalian bertemu dan berteman. Satu sekolah jadinya.” Fredo menggelengkan kepala, tak habis pikir. “Hanya balas budi. Fix, tidak ada cinta. Di diri adikmu hanya ada cara untuk balas budi hingga dia menyiksa dirinya sendiri.” “Aku bersyukur, Aarav memilih jalan yang benar kali ini. Perceraian itu jalan terbaik.” “Jangan sampai tebakanku benar, kalau kau dari awal sudah tahu rencana buruk Audi?” “Sejak Aarav membawa Audi ke rumah. Pertemuan kembali diriku dan Audi setelah sekian lama. Aku sadar ada yang tidak beres dari wanita itu. Aku sempat bilang pada Aarav untuk berpikir kembali soal pernikahannya dengan Audi. Sayangnya, itu tidak dapat merubah pendirian Aarav.” “Ck, memang batu tuh, anak!” “Sudahlah. Yang penting sekarang dia sudah sadar. Dia memilih keluarganya. Dan ucapan ibuku tidak lagi di anggapnya angin lalu. Balas budi dengan cara lain jadi pilihannya. Lagipula Aarav sangat menghormati Kakek dan Ayah kami, Penyesalan terbesar dia rasakan saat dua orang yang sangat dia sayangi menatapnya dengan kecewa.” “Serius?” Fredo merasa bersalah mengatai Aarav tadi. “Ayah dan kakek pernah mengingatkan untuk berhati-hati dan meminta Aarav mengawasi istrinya. Tapi Aarav tidak mendengarkan, dia membela istrinya. Dia berjanji akan memajukan perusahaan keluarga kami bersamaku agar berkembang lebih pesat lagi dengan syarat membiarkan istrinya berbuat suka hati. Tidak mengusik dan mengganggu istrinya. Dia minta agar istrinya di buat nyaman di rumah. Dan mengancam akan pergi jika syarat itu tidak terpenuhi. Empat tahun, kami semua bersandiwara di depan Aarav serta Audi hingga kecolongan begini.” “Sampai segitunya? Gila, aku ketinggalan banyak info.” “Kau hanya tahu dari luar.” “Dia tidak pernah cerita. Bagaimana aku bisa tahu? Aku tahu yang bahagia-bahagia saja.” “Ya, itulah dirimu. Si bodoh Fredo.” “Kak Dariel, Aku tidak bodoh!” “Bodoh!” “Kak!”seru Fredo. Namun tidak di pedulikan Dariel. Pria itu malah membalas hal lain. “Perusahaan incaran kita akan datang besok.” Mendengar itu, kekesalan Fredo terkikis. “Kau tidak bercanda, ‘kan, Kak?” “Selamat datang kembali, Aarav.” Fredo menoleh kebelakang, matanya membola. Aarav datang lagi. “Kau datang lagi!” teriak Fredo, membuat beberapa pengunjung menoleh kearah mereka bahkan ada dari mereka yang terang-terangan berbisik dengan orang di sebelahnya. “Berisik!” “Tidak tahu malu ya dirimu?” “Diam Fredo! Aku yang menyuruhnya.” Dariel angkat bicara, bermaksud untuk menengahi. “Kenapa disuruh sih, Kak Dariel. Aku masih kesal lihat mukanya. Pokoknya dia harus ganti rugi untuk piring dan gelas yang dia pecahkan.” “Kau membuatku marah,” tekan Aarav. “Sekesalnya aku ya, aku tidak pernah banting barang,” ujar Fredo tak terima. Aslinya tidak begitu, ia hanya menutupi rasa bersalahnya pada Aarav. Ia yakin kemarahan temannya itu tadi bukan karena Audi atau pun terhadap waktu yang terbuang sia-sia. Tetapi karena kekecewaan orang-orang yang Aarav sayangi dan hormati. Kakek dan Ayahnya, akibat dirinya yang tidak menurut. “Cukup, kita di sini tidak membahas itu. Kita punya waktu yang tidak banyak. Kita harus menyiapkan yang di perlukan untuk presentasi besok. Jangan sampai mengecewakan. Ini tidak akan datang untuk kedua kalinya. Kita harus beri yang terbaik.” Fredo dan Aarav mendengarkan baik setiap kata yang keluar dari mulut Dariel. Fredo menyandarkan dirinya ke sandaran kursi. “Kak Dariel, apa dia akan datang langsung tanpa di wakilkan? Seperti yang di bilang banyak orang, pemimpin perusahaan ternama itu tidak pernah hadir dalam setiap pertemuan, selalu di wakilkan. Aku jadi penasaran sendiri, bagaimana bentuk orangnya?” “Entahlah. Perwakilan saja lebih baik daripada tidak diterima sama sekali.” “Kau benar.” “Aarav.” Mata Dariel tertuju pada Aarav, dan adiknya itu ikut menatapnya juga. “Aku tahu yang harus aku lakukan.” Aarav tidak lagi ingin jadi pembangkang. Ia harusnya sadar sedari dulu, yang keluarganya katakan padanya, demi kebaikannya sendiri. Bukan untuk menyesatkan nya. Dia sudah berusaha untuk membalas kebaikan wanita paruh baya -Ibu Audi- yang telah menukarkan nyawa untuknya, tapi tidak dengan di manfaatkan secara licik seperti ini. Audi, wanita itu diam-diam sering merusak pekerjaannya. Mengambil ide perusahaannya untuk perusahaan lain yang ternyata perusahaan tersebut adalah perusahaan ayah kandung Audi. Ayah kandung yang dulu meninggalkan Audi dan sang ibu, saat Audi masih kecil. Perusahaan ayah Audi yang sempat akan gulung tikar, mampu mengalahkan perusahaan keluarganya hanya dalam hitungan tahun. Bahkan Audi mengambil sebagian saham, di ubah menjadi nama wanita itu sendiri. Saham yang seharusnya milik Aarav harus berpindah tangan. Entah, cara apa yang digunakan wanita itu. Perlahan tidak ada kerja sama terjalin, penjualan properti menurun. Tidak berhenti sampai di sana, uang perusahaan keluarganya diam-diam ada yang menggelapkan, ketika tersangka di temukan, orang tersebut mengaku jika suruhan Audi. Benar-benar tidak bisa di biarkan. Cepat atau lambat anak dan ayah itu akan mendapatkan balasannya, tinggal menemukan bukti lain yang akan memberatkan hukuman Audi dan Ayahnya. Biarkan kali ini mereka bebas dulu, sebelum waktunya tiba. Derita mereka dalam jeruji besi. Yang terpenting sekarang Aarav harus bertanggung jawab karena kelalaiannya. Memperbaiki segala kesalahan yang ia perbuat. Dengan mengokohkan kembali perusahaan keluarganya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD