CHAPTER 2 MUMMY (PART 2)

2142 Words
Pagi ini kami akan berangkat ke Mesir sesuai rencanaku dan Luke kemarin. Tentu aku sudah memberitahukan rencana ini pada Roy, aku memintanya untuk menyiapkan semua keperluan kami seperti tiket pesawat, pemesanan hotel disana, beserta keperluan-keperluan lainnya. Kini aku sedang menunggu kedatangan Roy di ruang tamu lantai dasar rumahku. Hanya ada aku dan Luke disini, sedangkan Kinsey ... entahlah dia belum menampakkan batang hidungnya. Tidak ada pembicaraan antara aku dan Luke karena faktanya kami memang tidak terlalu dekat atau lebih tepatnya tidak dekat sama sekali. Kami hanya akan berbicara satu sama lain jika memang ada sesuatu yang menurut kami perlu untuk dibahas. Aku menyibukkan diriku dengan ponsel di tanganku. Berulang kali aku mengirimkan pesan singkat pada Roy, isinya tentu saja menyuruhnya untuk cepat datang. Atensiku teralihkan ketika ku lihat Luke melangkahkan kakinya ke suatu tempat. Ku ikuti langkahnya dengan tatapanku. Dahiku mengernyit ketika ku lihat dia berdiri tepat di depan kamar Kinsey. Aku tidak peduli tentang hubungan mereka hanya saja aku penasaran apa yang ingin dilakukan pria misterius itu. Tok ... Tok ... Tok "Siapa?” Suara Kinsey terdengar samar-samar dari balik pintu setelah mendengar pintu kamarnya diketuk oleh seseorang. “Ini aku, Luke. Kau masih belum selesai beres-beres? Cepatlah keluar.” ucap Luke. “Aku akan keluar jika Roy sudah datang. Memangnya dia sudah datang?” “Dia belum datang. Tapi jika kau sudah selesai berkemas kenapa kau tidak keluar saja, untuk apa kau mengurung diri di kamar?” Kinsey terdiam, sama sekali tidak menyahut. Ku rasa aku tahu alasan Kinsey mengurung dirinya di kamar, pasti karena dia tahu keberadaanku di ruangan ini. Dia semakin menyebalkan akhir-akhir ini. Sebegitu tidak mau nya kah dia berada dalam satu ruangan denganku? Luke terus memanggilnya tapi tetap tak ada jawaban. Merasa jengah dengan keributan ini akhirnya aku pun beranjak bangun. “Hei, Luke.” panggilku yang membuat Luke seketika menoleh ke arahku. “Aku akan menunggu di luar.” tambahku, sengaja kukeraskan volume suaraku agar Kinsey mendengarnya. “Baiklah.” sahut Luke singkat. Untuk memastikan kebenaran dari pemikiranku bahwa Kinsey memang menghindariku, aku sengaja tetap berdiri di dekat pintu keluar. Apa yang ku pikirkan terbukti benar ketika Kinsey tiba-tiba keluar dari kamarnya. Dia terpaku di tempat ketika tatapannya bertemu denganku yang memang masih setia berdiri di dekat pintu utama rumahku. Dia segera memalingkan wajahnya, memutus kontak mata di antara kami. Melihat sikapnya membuatku menghembuskan nafas malas, lalu bergegas membuka pintu dan keluar dari rumah. Di luar rumah, aku menunggu dengan berdiri sambil menyenderkan tubuhku pada mobil kesayanganku. Sedangkan pikiranku masih tertuju pada perubahan sikap Kinsey. Aku sama sekali tidak mengerti dengan perubahannya itu. Menurutku seharusnya yang marah disini adalah aku karena walau bagaimana pun dia telah berani melawan perintahku. Mungkin dia melupakan kenyataan bahwa dia bergabung dengan team seven karena aku mempekerjakannya. Aku bahkan rutin membayarnya setiap bulan. Seharusnya aku lah yang marah karena dia tetap memaksa untuk tetap tinggal meski aku sudah membebaskannya dari pekerjaannya sebagai perantara roh bagi team seven. Sejak dulu aku memang tidak pernah bisa memahami jalan pikiran seorang wanita, mereka terlalu rumit untuk dipahami. Di tengah-tengah lamunanku ini, akhirnya orang yang ku tunggu sejak tadi datang juga. Mini bus team seven yang selalu dikendarai Roy kini terparkir indah tepat di samping mobilku. “Hai, maaf aku terlambat.” ucapnya tanpa dosa sambil memperlihatkan cengiran khasnya. Aku hanya menatapnya datar, tidak merasa heran sama sekali karena ini bukan pertama kalinya dia datang terlambat. Tak berapa lama Kinsey dan Luke keluar dari rumah dengan sebuah koper yang mereka bawa. Aku masuk ke dalam mobilku dengan mataku yang memperhatikan Kinsey. Aku ingat dengan jelas belum lama ini dia selalu ingin naik mobilku ini karena itu aku memutuskan tidak menjalankan mobilku dulu. Aku hanya ingin tahu Kinsey memilih untuk ikut denganku atau dengan Roy. Tanpa ragu Kinsey masuk ke dalam mini bus Roy, OK ... aku semakin yakin kalau dia memang marah padaku. Aku melirik ke arah sampingku ketika aku mendengar pintu mobilku dibuka oleh seseorang. Aku mengernyit tak suka ketika ku lihat Luke tanpa meminta izin hendak masuk ke dalam mobilku. “Mobilmu keren, aku akan ikut denganmu. Boleh, kan?” tanyanya sambil terkekeh. Aku tak menyahutinya dan memilih untuk keluar dari mobilku. Aku mengeluarkan koperku yang memang sudah ku letakkan di dalam bagasi mobilku, lalu masuk ke dalam mini bus Roy. “Flinn, kau naik mini bus ini?” tanya Roy menatap heran padaku. Kinsey juga sedang menatapku namun lagi-lagi dia memalingkan wajahnya ketika tatapannya bertemu denganku. “Ya.” jawabku acuh dan duduk di kursi belakang. “Kau jahat sekali, padahal aku ingin menumpang di mobil mewahmu.” Tentu Luke yang mengatakannya setelah dia juga berada di dalam mini bus. “Cukup menumpang di rumahku saja, tidak perlu ikut menumpang di mobilku juga.” sahutku ketus. “Waah, pelit sekali kau.” umpatnya namun kuabaikan. “Serius kau tidak jadi menaiki mobilmu karena tidak ingin Luke menumpang di mobilmu? Aku setuju dengan Luke, tak ku sangka kau sepelit itu Flinn.” Kali ini Roy yang berucap sambil menggelengkan kepalanya. “Tutup mulutmu, cepat jalankan mobilnya. Apa kau ingin kita ketinggalan pesawat?” Roy berhenti mengoceh dan mulai menjalankan mini bus ini. Sebenarnya alasanku tidak jadi menaiki mobilku bukan karena tidak mengizinkan Luke menumpang di mobilku, aku hanya kesal dengan sikap Kinsey. Dalam suasana hati yang kesal seperti ini aku pasti akan mengendarai mobilku seperti orang gila. Tidak ingin mengambil resiko apapun karena itu aku memutuskan untuk ikut naik ke mini bus ini. Alasan yang konyol sebenarnya, tidak seharusnya aku merasa kesal karena sikap Kinsey. Bukankah sejak awal aku tidak peduli padanya? Lamunan panjangku kembali teralihkan ketika ku dengar Luke dan Kinsey mengobrol dengan akrabnya. Sesekali mereka tertawa bersama membuat suasana di dalam mini bus ini menjadi ramai karena suara mereka. Aku bahkan tidak menyadari Kinsey sudah berpindah tempat duduk. Dia yang tadinya duduk di depan di samping Roy, kini dia pindah dan duduk di samping Luke. Aku memutuskan untuk melihat keluar jendela daripada melihat keakraban mereka. Bukan karena aku kesal melihat kedekatan mereka, hanya saja suara mereka yang berisik itu sangat mengganggu menurutku. Hingga kami tiba di bandara, Luke dan Kinsey masih asyik mengobrol dan tertawa bersama. Yang membuatku jengkel sampai di dalam pesawat pun mereka tetap asyik bercanda seolah dunia ini hanya milik mereka berdua. Di dalam pesawat mereka duduk berdampingan, sedangkan aku duduk bersama Roy. “Flinn,” panggil Roy yang sukses menarik atensiku, kini aku memalingkan wajahku yang sejak tadi tertuju pada kursi Kinsey dan Luke. “Kins dan Luke terlihat akrab sekali, ya?” “Entahlah, aku tidak peduli.” jawabku sedingin mungkin. Aku hanya malas membicarakan sesuatu yang tidak penting seperti ini. “Bagaimana hubungan kalian berdua sekarang?” tanyanya lagi yang berhasil membuatku bingung. “Maksudku hubunganmu dengan Kins. Ingat dia sudah menyatakan perasaannya padamu, apa kau sudah memberikan jawaban padanya?” Aku semakin mengernyit mendengar pertanyaan Roy. Memang benar Kinsey menyatakan perasaannya padaku, tapi menurutku dibandingkan sebuah pernyataan cinta kata-katanya saat itu lebih cocok sebagai sebuah ungkapan yang sebenarnya tidak ingin dia katakan padaku. Mungkin suasana panas di antara kami saat itu yang membuatnya tidak sengaja mengatakan itu. Jadi pernyataannya itu tidak perlu ku jawab, setidaknya begitulah menurutku.   “Aku tidak memberikan jawaban apapun.” jawabku apa adanya. “Kau jahat sekali. Aku yakin bagi seorang gadis butuh keberanian ekstra untuk menyatakan perasaannya pada pria yang dicintainya. Terutama untuk Kins, kau ingat dia pernah mengatakan tidak pernah berpacaran dengan siapapun? Artinya kau ini cinta pertamanya. Setidaknya berilah respon atas pernyataan cintanya. Apa kau tidak kasihan padanya?” Aku hanya terdiam dan lagi-lagi tatapanku tertuju pada Kinsey. “Lagi pula menurutku sudah saatnya kau membuka hatimu untuk gadis lain. Kins itu gadis yang tepat untuk menggantikan Jane di hatimu.” Aku tersentak mendengarnya. Tentu aku tidak setuju mendengar ucapan Roy ini karena bagiku tidak ada satupun wanita yang bisa menggantikan posisi Jane di dalam hatiku. Aku bangkit berdiri dari kursiku, sepertinya membuat Roy cukup terkejut dengan tindakanku ini. “Kau mau kemana?” tanyanya heran. “Toilet.” Tanpa menunggu responnya, aku pun melangkah menuju toilet yang terletak di bagian paling belakang pesawat. Kami mengambil kelas VIP sehingga tidak terlalu penuh dengan penumpang. Ketika aku sudah berada di dekat tolet, entah mengapa aku merasa tubuhku merinding. Hawa dingin menyerangku dan aku merasakan perasaan tidak nyaman di dalam hatiku. Detak jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Tanganku terulur menuju kenop pintu hendak membukanya namun kuurungkan ketika dari dalam toilet terdengar suara tangisan seorang wanita. Hiks ... Hiks ... Hiks Tangisannya terdengar memilukan dan menggema di dalam toilet. Aku tahu suara tangisan ini bukan berasal dari manusia karena seandainya dia manusia, aku tidak akan merasakan semua keanehan pada tubuhku ini. Sebenarnya semenjak aku tersadar dari kondisi kritisku setelah insiden tubuhku dikendalikan oleh kekuatan terkutuk dari cenayang ke-7, hidupku tidak normal lagi. Beberapa kali aku melihat penampakan hantu, meski aku bersyukur karena berkatnya aku bisa melihat sosok arwah Jane di hari pemakamannya. Kuteguk saliva sebelum akhirnya kuputuskan untuk membuka pintu toilet. Aku hanya penasaran ingin melihat penghuni tolet ini. Bukan berarti aku tidak takut, aku hanya ingin mengetahui alasan hantu itu menangis dengan rintihan pilunya. Cklek ... Krieeet Suara derit pintu yang terbuka entah mengapa terdengar menyeramkan di telingaku. Ku buka pintu toilet selebar mungkin dan mengedarkan tatapanku ke segala penjuru toilet. Kedua mataku membulat sempurna ketika ku lihat sosok hantu itu melayang di atas closet. Dia hantu wanita memakai dress putih yang dipenuhi bercak darah. Rambutnya panjang berantakan, lehernya nyaris putus dan terkulai sampai ke bahunya. Darah tak hentinya menetes dari luka menganga di lehernya. Kedua matanya melotot, menatap seram ke arahku. Ketika tatapan kami saling bertemu, ku rasakan sesuatu seolah merasuk masuk ke dalam kepalaku. Detik berikutnya semua yang ku lihat berubah drastis. Aku memang masih berada di dalam toilet tapi yang berada di depanku bukan lagi sosok hantu wanita menyeramkan tadi, melainkan digantikan oleh sosok seorang wanita yang sedang duduk di atas closet dengan wajahnya yang dibanjiri air mata. Suara tangisannya terdengar memilukan, sama persis dengan hantu wanita tadi. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi ini, yang pasti wanita yang ada di hadapanku ini adalah manusia, jelas bukan hantu karena kakinya menapak di lantai, dia bahkan sedang duduk di atas closet. Penampilannya pun terlihat normal layaknya manusia. Di tengah-tengah kebingunganku, ku lihat wanita itu mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya. Sebuah pisau cutter kini berada dalam genggamannya. Melihat seorang wanita menangis sendirian di dalam toilet sambil memegang sebuah cutter, ku rasa aku bisa menebak apa yang akan dilakukannya. Tebakanku terbukti benar ketika ku lihat dia bermaksud bunuh diri dengan cutter itu. Jika kebanyakan orang yang memutuskan untuk bunuh diri akan mengiris urat nadi tangannya, berbeda dengan wanita ini. Bukan urat nadi tangannya yang dia iris melainkan urat di lehernya. Sret ... sret ... sret Suara gesekan pisau cutter yang mengiris kulit lehernya terdengar nyaring di telingaku. Darah menyembur dari luka yang dia buat sendiri di lehernya, darah itu mengucur tanpa henti membasahi pakaian dan closet berwarna putih yang didudukinya. Aku melangkah mundur karena jujur saja melihat seseorang bunuh diri di depan mata kepalaku membuatku cukup syok. Tubuh lemas wanita itu yang mungkin telah kehilangan nyawanya tumbang dan jatuh ke lantai dengan tidak elitnya. Kepalanya jatuh dan menyentuh lantai terlebih dulu. Krek Suara tulang lehernya yang patah karena cukup keras menabrak lantai membuatku ngilu mendengarnya. Darah dari lehernya bersimbah membasahi lantai dan mengalir menuju ke arahku. Dan tatapan wanita itu dengan matanya yang melotot membuatku tak sanggup lagi menahan rasa takutku. Aku terus berjalan mundur hingga jatuh karena tanpa sengaja kaki kananku menginjak kaki kiriku. Hoek ... Hoek Aku memuntahkan isi dalam perutku karena bau anyir darah yang menusuk indra penciumanku. Bau bangkai pun tiba-tiba memenuhi toilet ini sehingga aku tak sanggup lagi menahan rasa mualku. Sedangkan darah di lantai masih mengalir semakin mendekatiku, tak ayal membuatku semakin panik. “Pak ... Pak ... apa anda baik-baik saja?” Aku tersentak ketika telingaku menangkap sebuah suara dari arah sampingku. Aku menoleh ke asal suara itu, terlihatlah seorang wanita berseragam pramugari sedang berjongkok di sampingku. “Apa anda mabuk udara? Anda membutuhkan obat.” tanya pramugari itu yang kuabaikan. Aku lebih memilih untuk melihat ke arah toilet lagi. Jasad wanita yang berlumuran darah tadi sudah tidak ada dan kini digantikan oleh sosok hantu menyeramkan tadi. Hihihihihihihihihihihi Tawa hantu wanita itu seolah menertawakanku. Tapi suara tawanya sungguh membuatku semakin merinding. Yang ku lihat tadi itu apa? Mungkinkah hantu wanita itu memperlihatkan alasan kematiannya padaku? Jika benar begitu, sungguh aku benar-benar sial karena harus melihat kematian hantu itu yang sangat tragis. Aku pun segera bangkit berdiri, hantu wanita itu masih tetap menertawakanku dengan suara tawanya yang menyeramkan. Jika melihat reaksi pramugari di sampingku yang biasa-biasa saja ini, ku rasa dia memang tidak bisa mendengar suara tawa hantu wanita itu terlebih melihat sosoknya. “Anda baik-baik saja, Pak? Perlu saya bantu?” tanya pramugari itu lagi kali ini dengan rona merah di wajahnya. Sesuatu yang sering ku lihat setiap kali ada wanita di dekatku. Menyebalkan. Umpatku dalam hati. “Aku baik-baik saja.” Setelah mengatakan itu, aku bergegas kembali ke tempat dudukku. Aku bahkan mengurungkan niatku untuk pergi ke toilet. Memangnya siapa yang mau meneruskan aktivitas pribadi di dalam toilet yang ternyata dihuni hantu wanita, membayangkannya pun aku tidak sudi. “Kau kenapa, wajahmu pucat sekali?” tanya Roy setelah aku kembali duduk di sampingnya. “Tidak apa-apa. Aku ingin tidur, bangunkan aku jika kita sudah sampai.” jawabku. Aku mulai memejamkan kedua mataku, mencoba melupakan kejadian seram yang baru saja aku alami. Sekaligus berusaha untuk kembali mengatur napasku yang masih terengah dan detak jantungku yang masih berdetak di luar batas normal. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD