CHAPTER 3 MUMMY (PART 3)

2815 Words
Setelah melewati perjalanan yang panjang akhirnya kami tiba di negera tujuan kami yaitu Mesir. Kami bergegas menuju hotel yang sudah dipesan oleh Roy. Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur hotel untuk mengistirahatkan tubuhku yang terasa sangat lelah. Sudah lama aku tidak bepergian sampai ke luar negeri seperti ini bahkan mungkin ini pertama kalinya aku kembali menaiki pesawat setelah terakhir kali aku menaiki pesawat ketika aku berlibur bersama orangtuaku. Saat itu usiaku baru 10 atau 11 tahun, entahlah aku tidak terlalu mengingatnya dengan pasti. Tidak lama aku merebahkan diriku di tempat tidur, aku kembali beranjak bangun ketika ku rasakan tubuhku terasa panas dan tidak nyaman karena tubuhku yang lengket oleh keringatku. Ku putuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum pergi keluar untuk makan bersama Roy dan yang lainnya. Aku pun bergegas menuju kamar mandi. Aku tergiur melihat bathtub besar di dalam kamar mandi yang seolah menarikku untuk masuk dan berendam di dalamnya. Membayangkan rasa nyaman yang akan ku dapatkan jika aku berendam sejenak di dalam bathtub itu, akhirnya aku pun memutuskan untuk berendam. Aku melepas semua pakaianku setelah bathtub itu penuh dengan air hangat. Tak lupa ku campurkan juga sabun ke dalamnya sehingga kini air itu dipenuhi dengan busa. Tanpa ragu aku masuk dan berendam di dalamnya. Ku luruskan tubuhku dan ku senderkan kepalaku, rasa hangat dari air ini seketika membuat tubuhku yang kelelahan kini terasa ringan dan segar. Ku pejamkan kedua mataku untuk lebih menikmati kenyamanan ini. Namun ... Aku merasakan sesuatu menempel di leherku, lebih tepatnya aku merasa ada sepasang tangan yang menyentuh leherku. Tangan itu terasa kasar. Ku beranikan diriku untuk memegang tangan itu, seketika aku tersentak ketika tanpa sengaja memegang sesuatu yang panjang dan tajam, mungkin kuku-kuku tangan itu yang sangat panjang dan runcing. Ketika aku hendak membuka mataku untuk melihat entah sosok siapapun di kamar mandi ini yang beraninya mengganggu aktivitas berendamku. Aku mengurungkan niatku ketika merasakan sesuatu menyerupai rambut menjuntai dan mendarat di kening dan kedua mataku. Sepasang tangan kasar dan berkuku tajam masih setia menggerayangi leherku ditambah rambut yang menggelitik kening dan kedua mataku tak ayal membuatku meneguk salivaku panik. Jantungku mulai berdetak di luar batas normal ketika aku membayangkan sosok yang menggangguku ini mungkin saja sangat menyeramkan. Namun akhirnya ku beranikan untuk membuka kedua mataku. Ketika kedua mataku berhasil terbuka sempurna, aku terdiam seolah membeku ketika melihat wajah sosok hantu wanita yang kini tepat berada di depan wajahku. Di kulit wajahnya terdapat benjolan-benjolan kecil berair berwarna hijau lumut yang jika benjolan-benjolan itu meletus pasti akan mengeluarkan cairan yang menjijikan. Kedua matanya berwarna hitam, tak terlihat bola matanya sama sekali yang terlihat hanyalah sekeliling matanya berwarna hitam pekat seolah dia tidak memiliki bola mata. Lalu sesuatu berwarna merah kental yang ku yakini adalah darah menetes keluar dari dua matanya itu. Darahnya terus menetes keluar dan nyaris berjatuhan mengenai wajahku. Sebelum darah itu berhasil menetes di wajahku, aku pun susah payah menggerakan tubuhku yang masih terasa kaku. Aku menggulingkan tubuhku ke samping sehingga tubuhku sukses mendarat di lantai kamar mandi dengan tidak elitnya. Sosok itu terlihat semakin mengerikan ketika aku melihatnya dari jarak cukup jauh seperti ini. Dia melayang tepat di atas bathtub dengan posisi tubuhnya yang menelungkup. Dengan perlahan sosok itu memiringkan kepalanya dan kini dia tengah menatap ke arahku. Sungguh aku tidak tahan melihat sosoknya yang menyeramkan dan wajahnya yang menjijikkan itu sehingga tanpa mengambil handuk terlebih dahulu aku bergegas keluar dari kamar mandi. Bruukk Pintu kamar mandi yang ku buka kasar terdengar nyaring di dalam kamar ini. Nafasku terengah-engah mungkin efek dari kegugupan dan kepanikanku yang masih belum hilang meski aku sudah keluar dari kamar mandi. “Kyaaaaaaaaaaaaa!!” Hingga suara teriakan itu menarik atensiku yang sejak tadi masih setia menatap ke arah pintu kamar mandi yang memang dalam keadaan terbuka karena tadi aku menerobos keluar tanpa menutup pintunya terlebih dahulu. Atensiku kini sepenuhnya tertuju pada pemilik suara teriakan tadi. Lagi-lagi aku seolah membeku ketika melihat sosok seorang gadis yang sudah tidak asing bagiku tengah berdiri menatapku dengan wajahnya yang memerah bagai kepiting rebus hingga ke telinganya. “K-Kinsey,” gumamku memanggil namanya tak percaya. Tentu saja aku tidak percaya melihat sosoknya berada di dalam kamarku. Bukankah dia sedang berusaha menghindariku lalu kenapa tiba-tiba dia berada di dalam kamarku? Mungkinkah aku sedang berhalusinasi? Ataukah sosok Kinsey di depanku ini bukanlah Kinsey yang asli melainkan hantu wanita tadi yang merubah wujudnya menjadi seperti Kinsey? Entahlah aku tidak tahu pemikiranku yang mana yang benar dan nyata. Kinsey yang berdiri di depanku ini dengan cepat membalik tubuhnya membelakangiku. “M-Maaf aku masuk ke kamarmu tanpa izin. Aku akan menunggu di luar.” ucapnya sambil berlari keluar dari kamarku. Melihatnya akupun sadar bahwa sosok Kinsey yang berdiri di depanku barusan memang nyata. Sialnya aku tahu penyebab wajahnya memerah dan sikap gugup sekaligus paniknya itu, pastilah karena kini aku berdiri di depannya tanpa ada sehelai benangpun yang menutupi tubuh polosku. “Sial !!” umpatku dalam hati. Aku memberanikan diriku untuk kembali masuk ke dalam kamar mandi karena tubuhku masih penuh dengan busa bekas berendam tadi. sebelumnya ku telusuri semua sudut di dalam kamar mandi, memastikan terlebih dahulu hantu wanita tadi sudah tidak ada disini. Kuembuskan napas lega ketika sosok hantu wanita itu sudah tak nampak. Aku pun bergegas menyalakan shower untuk menyingkirkan busa yang masih menempel di kulitku. Setelah dirasa tubuhku sudah bersih, aku bergegas keluar kamar mandi tentu saja kali ini ku pastikan handuk melilit sempurna tubuh bagian bawahku. Setelah memastikan Kinsey tidak berada di dalam kamarku, aku pun dengan cepat mengenakan pakaianku dan segera keluar dari kamar. Di luar kamar ku lihat Kinsey masih setia menungguku, suasana canggung pun tak ayal berada di tengah-tengah kami saat ini. Dia menundukkan kepalanya dengan semburat merah yang masih setia menghiasi wajahnya. Sedangkan aku hanya diam, tak berniat sedikit pun meminta penjelasan darinya perihal dia yang tiba-tiba berada di dalam kamarku. “M-Maaf soal yang tadi. Aku tidak bermaksud untuk mengintip. Roy yang menyuruhku untuk memanggilmu. Kami sudah menunggumu lama di restoran tapi kau tidak kunjung datang. Roy juga sudah menghubungimu berulang kali tapi tidak ada satupun teleponnya yang kau angkat. Aku sudah menolak tapi Roy memaksaku untuk memanggilmu di kamarmu. Akhirnya aku bersedia karena aku lihat Roy sedang sibuk memesan makanan untuk kita sedangkan Luke sedang pergi ke toilet tadi.” Dia memberikan penjelasan panjang lebar padaku. Aku sudah membuka mulutku bersiap untuk menyahutinya tapi terhenti ketika dia kembali berbicara. “Aku sudah mengetuk pintu kamarmu berulang kali tapi kau tidak membukanya dan tidak terdengar suaramu menyahut. Aku khawatir terjadi sesuatu padamu karena itu aku berani masuk setelah ku sadari pintu kamarmu tidak terkunci. Maafkan aku.” Tambahnya. “Oh begitu, tidak apa-apa. Aku juga minta maaf karena membuatmu melihat sesuatu yang pastinya tidak ingin kau lihat.” Sahutku yang entah mengapa membuat wajahnya semakin menunduk. Semburat merah di wajahnya semakin menjalar hingga ke telinganya seperti di dalam kamar tadi. “K-Kau lupakan saja apa yang kau lihat tadi. Anggap saja kau tidak pernah melihatnya atau anggap saja kau sedang bermimpi buruk tadi.” tambahku yang sepertinya sukses membuat Kinsey tersenyum. Jujur aku terkejut melihatnya tersenyum karena kata-kataku tadi, padahal aku tidak bermaksud untuk melucu atau bercanda. Maaf saja karena bercanda dengan orang lain itu sama sekali bukan gayaku. Dia mengangguk kemudian mendongak menatapku. “K-Kita harus bergegas, Roy dan Luke pasti sudah menunggu lama di restoran.” ujarnya dan tanpa meminta persetujuanku dia langsung berjalan di depanku. Aku pun hanya diam dan mengikutinya di belakang. Sesampainya di restoran hotel ini, terlihatlah Roy dan Luke yang sudah memulai menyantap makanannya. “Hei, kalian lama sekali, kalian tidak melakukan sesuatu yang aneh sebelum kemari kan?” tanya Roy yang seketika membuat urat-urat marah bermunculan di dahiku. “Kau sih tidak tahu diri menyuruh seorang gadis mendatangi kamar seorang pria. Aku tidak akan mengampunimu jika sampai dia melakukan sesuatu pada gadisku.” Ucap Luke sambil jari telunjuknya menunjuk ke arahku, yang kali ini membuatku mengernyit. Memang sejak kapan dia mengklaim Kinsey sebagai gadisnya? “Apa aku terlihat sebejat itu sampai kalian berpikir aku akan melakukan sesuatu yang tidak senonoh pada seorang gadis?” sahutku acuh dan mulai ikut menyantap makananku. “Pria pendiam itu kan biasanya menghanyutkan.” ujar Luke lagi seolah tengah berusaha menyulut emosiku. “Sudahlah kalian bertiga, tidak ada yang terjadi di antara kami kok. Tadi itu Flinn sedang mandi ketika aku memanggilnya.” Kinsey menjelaskan. “Ooh syukurlah kalau begitu. Aku baru mau menghajarnya jika dia sampai melakukan hal yang tidak pantas padamu.” Kata-kata Luke itu benar-benar menyinggung perasaanku, beruntung aku sedang tidak ingin menjadi pusat perhatian banyak orang dan sedang tidak ingin berselisih dengan siapapun, karena itu ku putuskan untuk menutup mulutku serapat mungkin dan menikmati makananku dalam keheningan. “Oh iya Flinn, aku masih penasaran dengan kejadian di pesawat tadi. Kenapa wajahmu pucat sekali setelah kau keluar dari toilet?” Roy kembali melontarkan pertanyaan yang sukses membuatku teringat kembali pada kejadian di toilet pesawat yang sebenarnya tidak ingin ku ingat lagi. “Mungkin dia memergoki sepasang kekasih yang sedang melakukan tindakan m***m di toilet pesawat, hahaha ...” Aku hanya tersenyum sinis mendengar sindiran Luke. “Nah, itu kau tahu.” jawabku asal, tak tertarik sama sekali untuk menceritakan kejadian sebenarnya yang ku lihat di dalam toilet pesawat. “Masa iya ada pasangan kekasih yang melakukan hal m***m di dalam toilet pesawat seperti tidak ada tempat lain saja? Menjijkan.” Roy kembali berargumen namun ku abaikan dan lebih memilih untuk menyantap makananku dengan tenang. “Oh iya, ngomong-ngomong kalian berdua terlihat dekat sekali. Kalau tidak salah tadi aku juga mendengar kau memanggil Kins sebagai gadismu kan Luke? Jangan-jangan kalian berdua pacaran ya?” Aku nyaris tersedak makananku ketika mendengar pertanyaan Roy yang tentunya dia tujukan pada Kinsey dan Luke. “Kami ti ...” “Ya, doakan saja supaya kami segera meresmikan hubungan kami.” jawab Luke memotong ucapan Kinsey. Padahal aku penasaran ingin mendengar jawaban Kinsey tadi. “Waah ... waah ... aku tidak menyangka lho.” sahut Roy tapi entah mengapa tatapan matanya tertuju padaku seolah mengatakan ‘ tahu rasa kau Flinn, Kinsey sudah direbut oleh Luke’. Mungkin pemikiranku mengartikan tatapan Roy padaku itu berlebihan, tapi entahlah aku merasa itulah arti dari tatapannya itu padaku. “Kita sudah selesai makan kan? Ayo kita pergi ke tempat cenayang itu berada.” Ajakku pada mereka, lebih tepatnya aku sedang berusaha mengalihkan pembicaraan yang mulai membuatku tidak nyaman ini. “Kau serius kita pergi ke sana sekarang? Sebentar lagi malam tiba lho.” Roy mengatakannya dengan kedua matanya yang membelalak kaget. “Justru bagus, kan?  Bukannya mereka itu akan beraksi di malam hari. Ingat kan pada vampir yang kita hadapi saat itu?” sahutku tak peduli dengan raut penolakan di wajah Roy. “Aku setuju dengan pendapat Flinn. Ayo kita berangkat kesana sekarang!!” Luke beranjak bangun setelah kata-katanya menunjukan sepenuhnya dia menyetujui ajakanku. Aku melongo ketika melihatnya membantu Kinsey berdiri dari kursinya. Entahlah aku hanya merasa dia memperlakukan Kinsey dengan berlebihan. Mungkin dia mencoba memperlihatkan bentuk perhatiannya pada Kinsey. Diam-diam aku tertawa dalam hati, menertawakan sikap Luke yang sangat konyol menurutku. Kami berempat pun pergi ke tempat yang menurut Luke merupakan sarang musuh kami berada dengan menggunakan mobil yang sengaja kami sewa. Luke yang menyetir dan Kinsey duduk nyaman di sampingnya. Tentu aku duduk di belakang bersama Roy, namun aku cukup heran dengan sikap Roy yang sejak menaiki mobil tampak menelepon seseorang. “Kau bicara di telepon dengan siapa?” tanyaku tak mampu lagi menahan rasa penasaranku. “Kejutan,” jawabnya sambil terkekeh, seketika aku memalingkan wajahku karena merasa  jijik melihat wajahnya yang sedang terkekeh geli tampak menikmati momen-momen menggodaku yang sedang penasaran seperti ini. Butuh waktu sekitar 3 jam hingga kami akhirnya tiba di tempat terkutuk menurutku. Bagaimana tidak terkutuk? Tempat ini sangat terpencil dan sepi, benar-benar jauh dari keramaian. Ada sebuah gua yang pintu guanya menjulang tinggi berdiri tepat di depan kami. yang membuatku terkejut ada beberapa pria berseragam seperti aparat kepolisian sedang berdiri di dekat pintu gua. Tanpa ragu Roy menghampiri mereka yang membuatku mulai mencurigai Roy. “Kenapa banyak polisi disini? Mereka itu polisi, kan?” tanyaku ketika Roy sudah kembali bergabung dengan kami. sepertinya dia sudah selesai berbicara dengan para polisi tadi. “Iya benar mereka aparat kepolisian dari Mesir. Sebenarnya aku menceritakan perjalanan kita ini pada Om Emil. Aku tidak menyangka Om Emil memiliki koneksi yang cukup baik dengan kepolisian Mesir. Dia meminta kepolisian Mesir untuk menemani kita melakukan penyelidikan ini. Aku yakin mereka akan sangat membantu.” “Apa kau gila Roy, kau kan tahu musuh yang akan kita hadapi itu sangat berbahaya. Tindakanmu ini justru akan membahayakan polisi-polisi itu !!” bentakku yang tak kuasa menahan amarahku menyadari kecerobohan yang dilakukan Roy. “Hm, jadi ini alasanmu menanyakan lokasi sarang cenayang itu padaku.” sahut Luke yang membuatku menoleh ke arahnya. “Aku juga terkejut dengan tindakan Om Emil ini. Aku tidak menyangka dia sampai meminta bantuan dari kepolisian Mesir. Mungkin dia melakukan ini karena terlalu mengkhawatirkan kita. Aku sudah berjanji pada Om Emil tidak akan merahasiakan apapun darinya karena itu aku menceritakan perjalanan ini padanya.” Roy menjelaskan namun penjelasannya itu belum mampu membendung amarahku. “Lain kali jangan pernah kau katakan rencana perjalanan kita pada Om Emil atau siapapun. Jika kau menceritakannya pada orang lain, aku bersumpah akan menyuruhmu untuk berhenti ikut serta dalam perjalanan-perjalanan berikutnya.” Roy hanya mengangguk, tentu dia sudah hafal sifatku. Aku hanya akan semakin marah jika dia melawan perkataanku. “Sudahlah jangan bertengkar, ku rasa semakin banyak orang yang menyelidiki semakin baik.” tambah Luke sambil tersenyum mencoba menenangkan situasi yang mulai memanas antara aku dan Roy. “Lebih baik kita segera masuk ke dalam dan memulai perburuan kita!!” ajakku, namun langkahku terhenti ketika kurasakan tangan seseorang menarik tanganku. “Kusarankan kita membagi menjadi dua kelompok. Jangan sampai kita masuk ke dalam gua bersamaan. Ini bentuk antisipasi jika terjadi sesuatu yang mengerikan di dalam gua. Jika sampai sesuatu yang mengerikan itu terjadi, setidaknya orang yang berjaga di luar gua bisa meminta bantuan. Terlalu beresiko jika kita masuk bersamaan.” Ku akui saran dari Luke ini ada benarnya. Sepertinya aku harus menyetujui sarannya ini. “Baiklah aku setuju dengan saranmu. Kita akan membagi menjadi dua kelompok.” Kuutarakan persetujuanku yang ditanggapi Luke dengan senyumannya tampak puas. “Kalau begitu aku akan pergi bersama si cantik dan kalian berdua pergi bersama.” Tambah Luke seenaknya memerintah kami. “Aku tidak setuju kau masuk ke dalam gua bersama Kins. Enak saja kau ingin berduaan dengan Kins.” Tolak Roy dengan suara lantangnya. “Memangnya kau pikir aku akan melakukan sesuatu yang aneh padanya di dalam sarang musuh? Aku tidak sebodoh itu.” timpal Luke. “Tidak ada yang bisa menjamin prilaku pria yang sedang kasmaran, terutama jika dia bersama gadis yang disukainya berduaan di tempat yang gelap. Pokoknya kita tentukan pembagian kelompok dengan undian.” Setelah mengatakan itu, Roy mengeluarkan sesuatu dari tas pinggangnya. Rupanya dia mengambil sebuah kertas dan menuliskan sesuatu di kertas itu. Dia merobek kertas itu menjadi empat bagian, kemudian dia menggulung sobekan kertas itu sehingga kami tidak tahu tulisan yang tertera di dalam gulungan kertas itu. “Aku sudah menulis angka 1 sampai 4 di dalam gulungan kertas ini. Masing-masing dari kita akan mengambil satu gulungan kertas dan akan mendapatkan nomor masing-masing. Nanti nomor 1 akan berpasangan dengan nomor 2, dan nomor 3 akan berpasangan dengan nomor 4. Kalian mengerti kan?” kami pun mengangguk bersamaan. Tidak ada gunanya berselisih jadi kami bertiga memilih untuk mengikuti saran Roy yang menggelikan ini. Roy menjadi orang pertama yang mengambil gulungan kertas itu. setelah itu Kinsey ikut mengambilnya, tak lama kemudian disusul Luke. “Berarti gulungan kertas ini bagianmu.” ucap Roy sambil menyerahkan sisa gulungan kertas terakhir padaku. “Aku dapat nomor 2.” Tambah Roy setelah dia menjadi orang pertama yang membuka gulungan kertas itu. “Kau Kins?” tambahnya yang langsung dituruti oleh Kinsey karena kini dia sedang membuka gulungan kertas di tangannya. “Aku dapat nomor 3.” Jawab Kinsey sambil memperlihatkan gulungan kertas dalam genggamannya yang memang tertera angka 3 di dalamnya. “OK, selanjutnya kau Luke.” Ucap Roy lagi seenaknya memerintah kami. tapi toh tetap saja Luke mematuhi perkataan Roy. Dia pun membuka gulungan kertas di tangannya. “Aku dapat nomor 1.” Ucapnya yang seketika membuatku terbelalak. Jika Roy mendapatkan nomor 2, Kinsey nomor 3 dan Luke nomor 1. Artinya angka yang tertera dalam gulungan kertas di tanganku ini pastilah angka nomor 4. “Flinn seharusnya angka yang kau dapatkan itu nomor 4.” Ujar Roy seolah memberikan isyarat padaku agar aku membuka gulungan kertas di tanganku. Bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya, aku menuruti perkataan Roy. Aku membuka gulungan kertas di tanganku dengan perlahan. Benarlah ... terpampang dengan besar angka 4 dalam kertas yang saat ini berada di tanganku. “OK, dengan ini sudah ditentukan aku akan satu kelompok dengan Luke, dan kau Flinn satu kelompok dengan Kins.” Roy berucap dengan girang seolah dia sangat puas melihat reaksiku yang mati kutu karena harus menerima kenyataan satu kelompok dengan Kinsey. “Roy apa kita tidak bisa bertukar angka saja? Lebih baik aku satu kelompok dengan Luke saja.” Tolak Kinsey yang entah mengapa membuat hatiku merasakan perasaan yang aneh. “Maaf Kins, tapi kita sudah sepakat menentukan pasangan kelompok kita dengan undian ini. Lagipula bukankah kau sudah terbiasa menyelidiki misteri bersama Flinn?” tanya Roy yang membuat Kinsey bungkam tanpa mampu menyahut lagi. “Baiklah aku dan Luke akan masuk ke dalam gua lebih dulu. Pastikan kalian berjaga di luar gua ya.” Setelah itu Roy merangkul pundak Luke, membawanya mau tidak mau mengikuti Roy memasuki gua. Beberapa aparat kepolisian Mesir pun mengikuti mereka masuk ke dalam gua. Sedangkan beberapa polisi menunggu di luar gua bersamaku dan Kinsey. Entah ini keberuntungan atau kesialan untukku. Kenapa aku harus berpasangan dengan Kinsey, disaat kecanggungan masih belum hilang di antara kami berdua terlebih setelah peristiwa memalukan di dalam kamarku tadi? Rasanya aku ingin berteriak sekencang mungkin saat ini. Tapi tentu saja tak mungkin ku lakukan karena berteriak histeris seperti itu sama sekali bukan gayaku. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD