Episode 3

725 Words
            “Ya Allah bagaimana bisa Umi berniat menjodohkanku dengan pria yang usianya di bawahku 3 tahun?” gerutu Aisyah.           “Apa kata orang kalau aku menikahi seorang brondong.”  Aisyah terus saja bergumam dengan mondar mandir di dalam kamarnya.           “Apa yang membuatmu begitu gelisah, Sayang?” seruan itu membuat Aisyah menoleh ke ambang pintu.           “Abi...” Aisyah dengan manja berjalan mendekati Djavier dan memeluk tubuh cinta pertamanya itu.           “Kemarilah,” seru Djavier menuntun Aisyah duduk di sisi ranjang. “Apa yang sedang kau pikirkan?”           “Umi...” rengeknya.           “Ada apa dengan Umi?” tanya Djavier mengernyitkan dahinya.           “Abi tau kan kalau Umi menjodohkanku dengan anak dari sahabatnya. Dan Abi tau jelas berapa usia pria itu, dia lebih muda dariku tiga tahun. Apa kata orang kalau aku menikah dengan seorang brondong?” seru Aisyah merengut kesal.           “Memangnya ada yang salah? Kedewasaan seseorang itu tidak di ukur dari usia mereka,” seru Djavier.           “Tapi kan tetap saja. Aisyah ingin memiliki suami seperti Abi. Tetapi dia? Ah yang ada nanti malah Aisyah yang membimbing dan mengasuhnya seperti murid sendiri,” keluh Aisyah.           “Hus jangan begitu,” tegur Djavier. “Lagipula kami tidak akan memaksa. Kalau kamu merasa tidak cocok dengannya, maka kami akan menghargai keputusanmu,” ucap Djavier.           Aisyah hanya diam membisu...           “Lagipula kami hanya meminta kalian untuk dekat dan saling mengenal dulu. Kami bahkan belum merencanakan acara lamaran, atau pertunangan apalagi pernikahan. Cobalah mengenalnya dulu,” seru Djavier membuat Aisyah akhirnya terdiam.           Aisyah akan pergi ke sekolah untuk menjalankan rutinitasnya. Ia hendak menaiki motornya saat sebuah mobil sport memasuki area pekarangan rumahnya. Aisyah masih berdiri menatap mobil itu.           Siapa yang bertamu sepagi ini? Pikirnya.           Tak lama seseorang turun dari dalam mobil setelah dia menghentikan mobilnya.           “Kau?” seru Aisyah sangat kaget melihat seseorang yang baru saja turun dari dalam mobil.           Seseorang dengan setelan casualnya. Celana jeans, kaos berwarna abu dengan balutan jaket casual berwarna putih. Tak lupa sepatu kets putih dan kacamata hitam yang bertengker indah di hidung mancungnya.           “Ya Tuhan dandanannya saja anak remaja sekali,” gumam Aisyah merasa tak suka dan memalingkan wajahnya.           “Assalamu’alaikum.”           “Wa’alaikumsalam,” jawab Aisyah dengan sedikit ketus.           “Sepertinya mood Bu Guru pagi ini sangat jelek,” seru pria itu yang tak lain adalah Raihan.           “Bukan urusanmu! Kamu ada apa datang kemari sepagi ini? Apa berniat numpang sarapan?” tanya Aisyah ceplas ceplos membuat Raihan tersenyum.           Aisyah terpaku saat melihat sebuah senyuman yang errrrr.... sangat tampan dan manis terukir di wajah tampannya.           Saat sadar dengan keterpakuannya, Aisyah bergegas memalingkan wajahnya seraya beristigfar di dalam hati.           “Alhamdulillah aku sudah sarapan. Aku sengaja mampir untuk mengantarkan bu Guru ke sekolah,” seru Raihan dengan santai.           “Kenapa kamu ingin mengantarku ke sekolah? Kita baru saja kenal, jadi jangan sok kenal sok dekat denganku,” seru Aisyah semakin galak membuat Raihan sebenarnya ingin tertawa dan gemas sendiri melihatnya.           “Lho, ada nak Raihan?” seru Oma yang membuka pintu rumah. “Oma pikir ada siapa, kenapa suara cempreng dari Aisyah begitu berisik hingga ke dalam rumah.”           “Ck Oma,” gerutu Aisyah.           “Ayo silahkan masuk, Nak Raihan.” Seru Oma dengan sangat ramah.           “Baik Oma,” ucap Raihan. “Bu Guru, aku akan berpamitan dulu. Dan jangan berusaha kabur. Tunggu aku di sini,” seru Raihan tersenyum penuh makna dan dengan seenaknya mengambil kunci motor yang masih menggantung di motor matic Aisyah.           “Hey....!”           Aisyah semakin kesal karena sikap Raihan. “Bocah itu...” gerutunya dan mengikuti Raihan masuk ke dalam rumahnya.           “Assalamu’alaikum,”salam Raihan.           “Wa’alaikumsalam, lho ada nak Raihan,” seru Amierra yang menyambut mereka.           “Iya Tante, saya berniat untuk mengantarkan Aisyah ke sekolah,” seru Raihan.           “Tidak perlu!” jawab Aisyah dengan ketus.           “Eh Aisyah, tidak boleh begitu. Raihan sudah baik datang kemari pagi-pagi untuk mengantarkanmu.” Tegur Amierra membuat Aisyah terdiam. “Pergilah kalian,” seru Amierra dengan senyumannya.           “Tante sungguh pengertian,” seru Raihan. Aisyah hanya memutar bola matanya jengah.           “Kami berangkat dulu, Tante,” ucap Raihan yang di angguki Amierra.           “Hati-hati yah,” jawab Amierra.           “Assalamu’alaikum...”           “Wa’alaikumsalam...” ***           Selama perjalanan, mereka berdua saling diam membisu. Aisyah masih merasa sangat kesal. Raihan merusak mood nya di pagi hari. Bagaimana dia bisa mengajar kalau moodnya seperti ini.           “Kenapa kamu menjemputku? Apa kamu menerima perjodohan ini?” tanya Aisyah to the point.           “Tempatku bekerja tak jauh dari sekolahan tempat kamu mengajar. Apa salah kalau aku berniat baik ingin mengantarmu, Bu Guru?” tanya Raihan.           “Panggil aku Aisyah!”           “Kalau di pikir-pikir tidak sopan memanggil nama pada orang yang usianya lebih tua dariku,” seru Raihan. Tersirat nada mengejek di sana.           “Hmmm!” Aisyah memilih bungkam dengan melipat kedua tangannya di d**a dengan kesal. Dia harus bisa membalas Raihan...!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD