3. Zhidian Bertemu Elfa

1411 Words
“Dia bahkan tidak mengucapkan terima kasih. Anak pendiam ini akan jadi apa saat besar nanti?” *** Perjalanan yang harusnya ditempuh selama dua minggu menggunakan kuda, menjadi perjalanan lima jam menggunakan elang. Selama perjalanan itu, dua lelaki beda usia hanya diam tanpa berniat saling mengenal. Elgar sedikit kagum dengan ketenangan sempurna Zhi. Biasanya, anak seusianya akan ketakutan menunggangi monster kontrak. Beberapa anak pemberani mungkin kegirangan dan antusias ketika terbang di langit. Anak pemberani ini misalnya Ailee, putri bungsunya. Dia jadi sedikit tersenyum membayangkan putri cerewetnya yang tidak bisa diam itu. Tapi Zhi berbeda. Tidak ada antusias, tidak ada rasa takut, tidak ada apapun. Tidak ada yang bisa menebak isi pikirannya. “Kita sampai,” kata Elgar ketika mereka mendarat di sebuah bangunan seluas lima ratus meter persegi. Elgar berjalan masuk, melewati prajurit penjaga yang membungkuk hormat kepadanya. Zhi mengikuti Elgar dengan patuh sembari memerhatikan beberapa pohon kersen di halaman depan rumah. Dia kemudian menatap sudut kanan yang terdapat gazebo besar dengan sebuah papan tulis dan beberapa meja kecil tersusun rapi. Tempat itu terlihat seperti kelas di ruang terbuka. Mengalihkan pandangan ke sudut kiri, tampak beberapa ruangan berjejer. Melihat Zhi menatap agak lama pada sudut kiri, Elgar menjelaskan, “Di sana kamar penjaga dan pelayan yang bekerja di kediaman Tuan Carl. Sebagian prajurit baru Dawn Warrior juga sering menginap demi mendapat pelatihan tambahan dari Tuan Carl.” Zhi menatap netra biru Elgar kemudian mengangguk. “Begitu.” Setelah berjalan sekitar lima belas menit, mereka sampai di rumah utama. Di teras rumah tampak dua gadis kecil sedang beradu serangan menggunakan pedang kayu. Gadis dengan rambut cokelat gelap yang dikucir, tampak lincah, sementara gadis berambut perak panjang tampak takut-takut. Sampai akhirnya si lincah berhasil menjatuhkan pedang si rambut perak. “Elfa tidak mau bermain lagi dengan Ailee,” rengek si rambut perak, tampak buliran bening membasahi pipi putihnya. Elgar segera mendekati kedua gadis, lalu menjewer telinga Ailee. “Anak nakal ini! Kenapa kau selalu membuat Nona Elfa menangis?” “Auh! Sakit, Ayah! Aku hanya berlatih dengan serius agar aku bisa menjadi prajurit hebat seperti Tuan Carl.” “Tapi lihat-lihat lawanmu!” Selagi Elgar memarahi putri bungsunya, Zhi mendekati Elfa. Dia terpana menatap gadis kecil yang menangis itu. Wajah Elfa persis sama dengan adiknya dari kehidupan sebelumnya. Tangan Zhi gemetar. Mulutnya terbuka, tapi tidak ada kata yang terucap. Pun, dia tidak berani menyentuh gadis kecil itu. Tangis Elfa berhenti kala merasakan seseorang berdiri di hadapannya. Gadis itu sedikit memiringkan kepala untuk mengamati netra hitam Zhi. Mata bundarnya berkedip menggemaskan dalam proses ini. Dia lebih mendekat, lalu membandingkan warna netra Zhi dengan gelang di tangannya. Elfa tersenyum. Mata nyaris menyipit. Lesungnya terbit. Dia tampak bahagia. “Matamu sangat cantik. Lebih cantik daripada gelang Elfa,” katanya sembari menunjukkan gelang obsidian yang dikenakannya. Mata Zhi terasa panas, tapi dia buru-buru mengenyahkan perasaan melankolis itu. “Hemm... Dia juga selalu bilang begitu,” bisiknya. “Dia siapa?” “Adikku.” “Ada keributan apa ini?” Elgar sejenak menghentikan aksinya menghukum Ailee, lantas memberi hormat kepada Carl yang baru muncul. Pria berotot itu tampak berkeringat usai berlatih pedang. Ailee segera memeluk kaki Carl dan mengadu. “Tuan Carl, Ayah menjewerku lagi. Telingaku sakit, Tuan.” Carl berlutut di depan Ailee, tersenyum kecil, lantas mengusap-usap telinga gadis kecil itu. “Apakah sangat sakit?” Ailee mengangguk, bibirnya mengerucut. “Sangat sakit, Tuan.” “Aku akan berbicara dengan ayahmu nanti. Sekarang, bermainlah lagi dengan Elfa.” Ailee memeluk leher Carl. “Terima kasih, Tuan!" Carl tertawa melihat Ailee yang lincah, lalu menatap Elgar yang berdiri tegak. “Ada apa?” “Saya membawa seorang anak tanpa identitas, Tuan. Juga, ada yang perlu saya laporkan tentang para pemberontak.” “Ikut aku.” Sebelum pergi, Elgar sempat memperingatkan Ailee untuk tidak membuat Elfa menangis lagi. “Padahal kami berteman baik. Hanya saat berlatih saja, Elfa selalu menangis,” gerutu Ailee setelah ayahnya pergi. Ailee kemudian mengamati Zhi, tersenyum kecil. “Hei, kau! Apa kau calon prajurit baru ayahku?” Zhi hanya melirik sekilas Ailee, lebih sudi mengamati wajah imut Elfa di depannya. Dia membandingkan dengan wajah adiknya dari kehidupan sebelumnya. Melihat tidak ada t**i lalat kecil di leher Elfa, Zhi pun kecewa. Apa yang dia pikirkan? Adiknya sudah meninggal pada usia dua belas karena hipotermia di malam tahun baru. Mana mungkin hidup lagi. Gadis ini bukan adiknya. “Lawan aku dulu,” kata Ailee sembari melempar pedang Elfa ke hadapan Zhi. Merasa kesal karena dipermainkan takdir, Zhi menangkap pedang kayu, lalu meladeni permainan pedang Ailee. Ailee hanya gadis kecil usia enam tahun yang baru-baru ini saja belajar berpedang. Lawannya dalam latihan tanding pun anak-anak seusianya, atau paling besar berusia tiga tahun di atasnya. Karena statusnya sebagai putri dari Wakil Ketua Dawn Warrior, kebanyakan teman latihan tandingnya akan mengalah. Sementara itu, Zhi sudah berpengalaman dalam membunuh menggunakan pedang. Dia tidak memiliki toleransi ketika menghadapi lawan. Tanpa memandang usia dan gender, dia memukul Ailee berulang kali. Sekalipun kekuatannya terbatas karena ukuran tubuh yang kecil dan lemah, dia masih bukan tandingan Ailee. Mata Ailee terbelalak saat terduduk di lantai karena pukulan pihak lain. Bahkan pedang kayunya terlempar cukup jauh. Dia merasa sangat marah, takut, dan ingin menangis. Ini kekalahan pertamanya. “Ambil lagi,” ujar Zhi dengan suara dingin. Ailee takut pada netra hitam Zhi. Dia ingin melarikan diri, tapi di saat bersamaan, dia penasaran dengan anak lelaki itu, dan tidak ingin kalah. Setelah menguatkan tekad, Ailee mengambil kembali pedangnya. Dia sekali lagi melawan Zhi. Zhi bisa dengan mudah menemukan banyak celah dalam gerakan Ailee, maka sekali lagi dia memukul tubuh kecil gadis itu, kemudian menjatuhkan pedangnya. Proses pertarungan tidak seimbang ini terjadi sampai enam kali. Pada percobaan ketujuh, Ailee tidak tahan lagi. Dia menangis. Wajahnya sangat merah dan seluruh tubuhnya sangat sakit karena dipukuli dengan keras oleh Zhi. “Huwaaaa... aku tidak terima.... hiks... hiks... aku... aku akan mengalahkanmu besok!” teriak Ailee, lalu lari dari teras rumah Elfa. Karena lupa pedang kayunya, Ailee yang masih menangis sesenggukan itu kembali untuk mengambil pedangnya. Dia sekali lagi mengucapkan sumpahnya untuk mengalahkan Zhi lain kali. Zhi masih berekspresi datar seolah tidak terjadi apa-apa, tapi jika dilihat lebih dekat, netra hitamnya seolah tidak lagi kosong. Ada sentuhan rasa geli karena tindakan lucu pihak lain. Menurutnya, Ailee sedikit menggemaskan. Elfa terpesona dengan kemampuan berpedang Zhi. Dia mendekati anak lelaki yang lebih tinggi darinya itu, kemudian menarik ujung bawah bajunya. “Elfa mau kamu.” “Huh?” “Ailee punya dua sudara lelaki. Setiap hari dia selalu memamerkan saudara lelakinya yang tampan dan kuat, dan membuat Elfa cemburu. Saat Elfa bilang menginginkan saudara lelaki juga, ayah bilang, Elfa tidak membutuhkannya karena sudah memiliki ayah yang akan melindungi Elfa. Tapi… ayah sering keluar dan Elfa tidak punya sudara lelaki untuk teman bermain.” Zhi memerhatikan gadis kecil yang menunduk sedih itu. “Apa kamu mau menjadi saudara lelaki Elfa?” “Aku...” “Elfa akan memberimu apa saja yang kamu mau.” “Tidak.” Elfa kemudian merogoh kantongnya dan mengeluarkan beberapa permata rubi yang berharga. Dia memberikan semua permata di tangan mungilnya kepada Zhi. “Lihat! Elfa punya banyak permata. Ini semua untukmu. Kalau itu tidak cukup, Elfa masih punya banyak di kamar. Kalau masih belum cukup juga Elfa akan minta kepada ayah dan mama juga.” Zhi mundur, menolak permata yang disodorkan Elfa. “Aku tidak butuh permata.” Elfa pun menangis. “Kenapa? Kenapa tidak mau jadi saudara lelaki Elfa?” Zhi menghela napas, kemudian menghapus air mata di pipi Elfa. Dia masih tidak tega melihat perempuan menangis. Apalagi kalau gadis kecil ini memiliki wajah seperti adiknya. “Baiklah.” Elfa tersenyum, lantas memegang tangan Zhi. “Benar?” Zhi mengangguk. “Janji?” Tanya Elfa sembari mengeluarkan kelingkingnya. Zhi menghela napas, lalu menautkan kelingkingnya ke kelingking Elfa. “Janji!” Elfa tersenyum, memamerkan lesungnya yang menawan, dan mata bulatnya yang polos. “Siapa namamu?” “Zhi. Zhidian.” Elfa memeluk Zhi. “Kakak Zhi! Selamat datang di rumah.” “Rumah...?” “Ayo, Kakak Zhi, aku akan menunjukkan rumah kita kepada Kakak Zhi.” Zhi pun pasrah tangannya ditarik Elfa ke sana kemari. Gadis kecil itu sangat antusias menjelaskan setiap sudut rumah. Dia tidak lupa memperkenalkan para pelayan dan prajurit yang melindungi kediaman. Untuk ukuran seorang anak usia lima tahun, Elfa yang mampu menghapal sepuluh pelayan dan dua puluh prajurit penjaga, dapat dikategorikan anak yang cerdas. Pada akhirnya, Zhi tersenyum kecil. Baiklah, dia sudah memutuskan untuk berada di sisi gadis kecil ini mulai sekarang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD