Bab 1

2716 Words
*** “Felicia Calling.” Sorcha melangkah melewati kubikel-kubikel karyawan, ia masuk ke dalam toilet, ia menggeser tombol hijau pada layar dan ia letakan ke telinga kirinya. Ia ke toilet ada beberapa alasan karena tadi ia kirim email ke klien dan attachment-nya salah. Oh God, untung saja boss nya adalah abangnya sendiri, jadi ia masih lega. Paling tidak hanya di marah tidak di pecat. “Iya Fel,” ucap Sorcha. “Lo di mana?” Tanya Felicia dibalik speakernya. Sorcha menarik nafas panjang, “Gue lagi di kantor, ini lagi di toilet,” ucap Sorcha menatap penampilannya di cermin. Ia merapikan rok span hitam dan blouse chiffon berwarna putih. Ocha jadi tahu tipe-tipe karyawan di kantor seperti apa. Ada beberapa tipe karyawan yang harus diwaspadai yang pertama ia melihat tipe karyawan yang suka gossip dari awal masuk dan pulang selalu menyindir, sikut-sikutan. Ada juga karyawan yang suka lepas tangan, yang selalu mengatakan, “Ini bukan saya yang ngerjain bu. Dan ini juga bukan kerjaan saya.” Ia paling malas berhadapan dengan tipe karyawan seperti itu. “Owh, sibuk nggak lo.” “Enggak juga sih kerjaan gue udah kelar, baru aja ngirim email sama klien. Ini gua mau jam balik,” Ocha melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 15.30 menit. “BTW lo tumben nelfon gue, ada apa?” Tanya Ocha penasaran. “Gue minta temenin lo ke Pasific Place, ada yang mau gue beli buat om gue,” Feli menatap penampilannya di cermin, ia mengoles lipstick berwarn nude. “Om lo yang mana?” “Om gue yang punya tambang batu bara, om Damian,” Feli mencoba menjelaskan, ia membuka lemari. “Enggak kenal gue.” “Iya lah, lo enggak kenal. Kalau lo sampe kenal, lo bakalan naksir sama om gue.” “Seganteng apa om lo sampe gue naksir dia?” “Lo tau Michele Morrone?” “Tau, yang main 365 Days itu kan.” “Nah itu, mirip dia sih.” Alis Sorcha terangkat, ”Mirip mas Evan dong.” “Sama aja sih, sexy, hot,” Feli lalu tertawa. “Buat apa? Emang lagi ulang taun?” Feli lalu memakain dress nya, “Iya ulang tahun sih sekalian peresmian rumahnya dia entah yang keberapa. Ya, siapa tau kalau gue kasih hadiah dia bakalan suka sama gue,” Grace lalu tertawa cekikikan. “Ih, lo naksir om sendiri?” “Iya nih, habisnya keren abis.” “Om lo pasti naksir sama lo lah, lo kan cantik abis.” Feli kembali tertawa, “Bisa aja lo. Bukannya lo yang paling cantik kampus dulu, di Jerman.” “Ih nggak lah biasa aja.” “Gue aja ngiri sama lo tau, cantik gitu, kayak Putri Indonesia. Eh, lo nggak daftar jadi Putri Indonesia?” Tanya Feli yang telah berhasil memakai pakaiannya, ia mengambil tas di lemari. “Belum pembukaan juga kan. BTW tinggi gue 165 bisa masuk nggak sih?” “Bisa kok, kan minimal 165 Cha. Gue yakin lo lolos lah jadi Putri Indonesia, wakil DKI Jakarta 5.” “Doain ya, kalau nggak jadi Putri Indonesia ya gue nikah.” “Nikah sama siapa?” “Sama om lo,” ucap Sorcha asal lalu tertawa. Feli seketika tertawa, “Boleh tuh lo sama om gue. Cocok pasti, lo cantik om gue Macho gitu.” Sorcha lalu masuk ke dalam toilet, “Idih pacaran sama om-om, ogah deh.” “Ah lo, keren tau om gue, agak misterius gitu. Gue aja keponakannya naksir dia. Cuma nggak tau nih om gue itu keknya nggak mau pacaran. Udah 36 taun masih aja jomblo, padahal ganteng, macho, pakek mobil jeep mahal, pengusaha tambang, punya jet pribadi. Entah ini rumah yang keberapa dia buat, banyak banget.” “Eh, Fel, biasanya cowok-cowok macho itu sukanya sama yang macho juga Fel. Lo tau kan maksud gue?” “Homo maksud lo?” Ucap Feli to the point. “Yoi,” Sorcha duduk di WC, karena ia paling seneng ngalor ngidul nggak jelas seperti ini. “Iya sih lo bener ! Tapi dulu dia pernah pacaran tau. Lupa gue ceweknya siapa? Dokter apa yak. Tapi setelah itu om Damian nggak pacaran lagi.” “Mungkin dia nyamannya sama cowok Fel. Kan hormone bisa berubah.” “Lo ada benernya juga sih.” “Kado buat cowok apa sih yang bagus?” Feli memasukan dompet, pensil alis, lipstick dan dompet ke dalam tas. “Parfume ok, buat om lo kan?” “Iya.” “Oiya Cha, lo ikut gue ya nanti malam ke rumah om Damian.” “Enggah mau ah, keki gue, nggak kenal sama keluarga lo.” “Ayolah Cha temenin gue plisss. Kalo ada lo, gue nggak ditanya sama tante-tante gue, kapan nikah? Kapan gue kerja? Masa S2 pengangguran? Nyebelin banget kan.” “Iya paling nyebelin kalau ada tante kayak gitu, resek.” “Bener banget.” “Mau kan Cha nemenin gue ke tempatnya om Damian.” “Rame nggak?” “Ramel ah, namanya juga acara?” “Keluarga lo?” “Males gue sama nyokap. Taulah lo gimana cerewetnya kalau sama bonyok.” “Ya kita cuma datang makan aja. Habis itu balik.” “Ocha, pliss temenin gue,” rengek Feli. Ocha tidak kuasa menolak permintaan Feli, “Jam berapa?” Tanya Ocha. “Jam tujuh sih acaranya. Tapi kita beli kado dulu buat om Damian, kan enggak enak kalau bawa tangan kosong.” “Iya, iya, langsung ketemuan di Pasfic Place aja ya. Lo pakek gojek atau grab aja ke sana. Nanti baliknya sama gue.” “Oke-oke, ini gue mau turun dari rumah,” ucap Feli lalu mematikan sambungan telfonnya. *** “Rumah om lo di mana sih?” Tanya Ocha ia menatap penampilannya di cermin, one shoulder dress berwarna abu-abu berbahan satin itu menjadi pilihannya. Rambut panjangnya dibiarkan terurai. “Di PIK.” “Lumayan jauh tau, dari sini, sejaman gitu,” ucap Ocha, ia mengoles makeup pada wajahnya. Jujur ia salah satu wanita yang selalu menajaga penampilan. “Iya emang lumayan jauh Cha. Makanya kita pergi sekarang.” “Iya, iya,” Ocha menatap sekali lagi penampilannya. Ocha tahu bahwa beauty privilage pada dasarnya istilah menggambarkan betapa beruntungnya hidup jika terlahir dengan wajah rupawan. Ia tidak munafik hidup memang lebih mudah buat orang ganteng dan cantik. Terutama pria banyak lebih bertoleransi pada wanita cantik. Makanya ia akan mengingatkan kepada wanita di seluruh dunia ini bahwa menjaga penampilan dan berpenampilan menarik itu penting bagi wanita. Memiliki wajah cantik memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan. Menurut penelitian bahwa pria bersedia memberikan uang lebih banyak pada wanita yang mereka anggap cantik. Nggak hanya penelitian seperti itu, otak juga breaksi lebih positif saat berhadapan dengan wanita cantik. Ocha memandang jam menggantung di dinding menunjukan puku 18.35 menit, “Mau pergi sekarang?” “Iya.” Ocha mengambil tas Dior dari lemari, ia memasukan dompet kecil, lipstick, eyebrow, dan ponsel. Ia menatap Feli menenteng paperbag putih bertulisan BOSS Hugo Boss. Itu adalah hadiah parfume yang mereka beli di Pacific Place. Mereka lalu melangkah menuruni tangga. Tidak ada orang di lantai dasar kecuali bibi yang sedang menonton TV. “Nyokap bokap lo ke mana?” Tanya Feli, mereka melangkah menuju pintu utama. “Ke rumah mas Evan kayaknya.” “Jadi cuma lo aja yang tinggal di sini?” “Iya lah, nyokap sama bokap lagi seneng ke rumah mas Evan.” Feli membuka hendel pintu mobil lalu mendaratkan pantatnya di kursi, tidak lupa ia memasang sabuk pengaman. Setelah itu mobil meninggalkan area rumah berpagar tinggi itu. Feli memperhatikan Ocha yang berada di kemudi setir. Tangan kanannya memegang setir dan tangan kiri berada di parceling. Tubuhnya bersandar sambil mendengarkan lagu. Ia akui bahwa Ocha lebih piawai berkendara dari pada dirinya. “Sebenernya gue juga males kalau ada acara keluarga gini. Males ditanya-tanya, ya kan Fel,” Ocha membuka topik pembicaraan. “Iya bener banget. Apalagi gue belum nikah, terus pengangguran, double-double di hujat sama tante-tante gue. Biasalah bilangnya si Bella udah jadi manager, pacarnya pengusaha, masa kalah sama si Bella yang cuma S1.” “Keki juga gue denger tante lo ngomong gitu. Padahal kita kan baru lulus, nggak perlu dauber-uber lah. Kalah jauh lah S1 dan S2, kita sekolah tuh nyari ilmu bukan nyari kerja.” “Iya bener banget. Baru juga sebulan lulus.” “Lo tau nggak? Si Bella itu baru dua tahun kerja udah jadi manager. Udah bisa beli apartemen, mobil.” “Ada main kali sama boss.” “Nah itu gue curiga. Emang gaji manager berapa sih?” Tanya Feli penasaran. “Ya paling tinggi 20 jutaan lah.” “Aneh kan, bisa beli itu semua.” “You know lah pasti ada main. Macam nggak tau Jakarta aja. Kalau nggak gitu enggak kaya deh.” “Iya bener banget !” *** Mobil Ocha memasuki komplek perumahan Mediterania Resort PIK. Rumah itu bercat abu-abu putih. Rumah modern terlihat sangat gagah dan maskulin namun ada kesan misterius di dalamnya. Ocha memarkir mobilnya di halaman rumah. Ocha dan Feli membuka sabuk pengaman memandang bangunan rumah berpagar tinggi itu. “Bener kan ini rumah om lo?” “Iya bener.” “Kayaknya rame banget,” Ocha memperhatikan dari luar. “Namanya juga ada acara Fel.” “Keluarga besar gue sih nggak banyak. Tapi kayaknya teman-teman om gue sih itu,” Feli turut memperhatikan. “Yakin nih? Ini acara cuma selamatan rumah doang?” “Iya bener, ah lo nggak percaya banget. Mungkin acaranya udah selesai, tinggal makan-makan doang. Kita aja yang telat.” “Yaudah yuk masuk,” ucap Feli menarik tangan Ocha masuk ke dalam. Ocha mengikuti langkah Feli masuk ke pintu utama, ia memperhatikan bangunan rumah. Halamannya tidak terlalu luas namun ia yakin para tamu menyimpan mobil di dalam basement rumah ini. Ocha menyeimbangi langkah Feli masuk ke dalam. Rumah ini di d******i warna hitam, putih, abu-abu. Memiliki langit-langit yang tinggi, serta pencaahayaan yang baik karena rumah ini banyak menggunakan kaca pada dinding sehingga terlihat lebih luas. “Feli …” Ocha menatap ke arah sumber suara, ia memandang seorang wanita separuh baya mengenakan dress berwarna hitam. Itu adalah mamanya Feli. “Mama,” Feli nyengir tersenyum. Beliau memandang wanita yang berada di samping Feli, dia adalah Sorcha teman Feli waktu di jerman. “Hai Ocha. Gimana kabar kamu sayang?” Mama Feli memeluk tubuh ramping Ocha dan mengecup pipinya dengan hangat. “Baik tante. Tante gimana kabarnya?” “Baik juga.” “Om Damian, itu adiknya mama gue Cha.” Mama Feli tersenyum, ia melihat Feli menenteng paperbag Hugo Boss, “Masuk aja, di dalam ada om Damian, ada ada tamu-tamunya juga. Kalian langsung makan aja.” “Iya tante.” Feli dan Ocha masuk ke dalam, di dalam tampak ramai ada beberapa orang berada di dekat kolam sambil menikmati hidangan. Ocha memperhatikan tangga hitam menuju lantai atas memiliki kesan yang sangat misterius. Ia juga memperhatikan langit-langit tinggi yang dihiasi lampu Kristal berbentuk persegi, tampak terlihat mewah. Ia tidak tahu sebenarnya konsep rumah ini apa. Ia juga memandang lukisan abstrak setinggi manusia di dinding. Ocha mengalihkan pandanganya ke depan, ia memandang seorang pria berkemeja hitam dan celana slimfit berwarna senada. Di tangan kirinya memegang gelas dengan tungkai panjang berisi wine merah. Pandangan mereka seketika bertemu beberapa detik, lalu bibir pria itu terangkat. Tatapan pria itu seakan fokus kepadanya. Jantungnya seketika maraton, Ocha mengalihkan pandangannya ke arah Feli yang melambaikan tangan ke arah keluarganya. Ocha menghentikan langkahnya, ia membiarkan Feli melangkah ke depan. Tatapan pria itu masih mengawasinya. Oh God, siapa pria itu? umpat Ocha dalam hati. “Hai om, selamat ulang tahun ya,” ucap Feli memberikan paperbag Hugo Boss. Ocha menelan ludah ternyata pria itulah yang om Damian yang di maksud Feli. Ocha masih bergeming, ia tidak tahu akan berbuat apa di sini. Rasa takutnya melanda, tatapan pria itu seakan menghantuinya. Bahkan ia merasa tatapan itu masih memandangnya intens. “Terima kasih Feli,” ucap Demian mengambil paperbag pemberian Feli. Feli menoleh ke belakang menatap Ocha, “Ocha sini,” ucap Feli. Lagi-lagi pandangan Ocha bertemu, pria itu menyungging senyum dan menghampirinya. Pria itu masih menatap nanar matanya. Ada sedikit ketakutan menatap pria itu. Ocha memilih memandang Feli. “Om ini kenalin temen Feli, namanya Sorcha, panggilannya Ocha,” ucap Feli tersenyum sumeringah. Demian menatap wanita berparas cantik itu, dia mengenakan dress berwarna abu-abu dengan lengan terbuka. Dia memiliki tubuh proporsional, bentuk tubuh yang indah, rambutnya lurus panjang, matanya bening, bibirnya sedikit lebih tebal. Dia terlihat seperti wanita masa kini pada umumnya. Namun dia lah wanita satu-satunya menjadi pusat perhatianya saat ini. Kini wanita bernama Ocha tepat di hadapannya, ternyata dia lebih cantik dari yang ia bayangkan. Ia memperhatikan iris mata bening itu. Ia lalu mengulurkan tangan. “Saya Damian.” Ocha melihat uluran tangan pria itu, ia melihat ada beberapa tato salib, persegi dan bintang pada jari-jarinya. Ocha kembali memperhatikan punggung tangan sebelah kiri yang sedang memegang tungkai gelas wine. Di punggung tangan itu ia melihat secara jelas tato bergambar matahari. Ada perasaan ragu namun ia tetap menyambut uluran tangan itu, “Sorcha, panggil saja Ocha.” Jujur ada perasaan takut menghantuinya, ia merasakan tangan kokoh itu menggenggam jemarinya erat. Ia lalu dengan cepat melepaskan jemari itu, namun tangan itu seolah menahannya. Ia memandang pria itu lagi dan dia menyungging senyum. Jujur senyuman pria itu sangat mengerikan. Sekian detik berlalu saling menatap akhirnya pria bernama Damian itu melepaskan jemarinya. “Senang berkenalan dengan anda.” “Iya sama-sama.” Damian menarik nafas, memandang sekali lagi wajah cantik itu, “Teman kuliah Feli di Jerman?” Ocha mengangguk, “Iya.” “Ocha ini baru di Jakarta om. Bokapnya dulu kerja di Kedutaan Inggris.” “Jadi di Jakarta baru?” Damian mencoba menganalisis. “Baru dua bulan om.” “’Seumuran kamu, 25 tahun?”Tanya Damian, pandangannya masih fokus dengan wanita bernama Ocha itu. “Iya,” ucap Ocha pelan. Damian menyungging senyum, “Selamat datang. Silahkan menyantap hidangan, soalnya acara intinya sudah selesai.” ucap Damian. “Terima kasih om,” ucap Feli. Ocha bergegas menyeimbangi langkah Feli menuju meja presmanan. Jantungnya berdebar enggan menoleh ke belakang, ia yakin pria itu masih memperhatikannya. Ocha dan Feli mengambil piring keramik berukuran lebar itu, mereka memilih makanan Indonesia. Setelah itu Felid an Ocha duduk sofa, pada ruang keluarga yang baru ditanggalkan oleh penghuninya. Jujur hatinya saat ini tidak menentu di hatinya. Inginnya segera pulang saat ini juga. Bayang-bayang pria bernama Damian seolah tercongkol dalam kepalanya. “Feli sini …” Ocha memandang mama Feli memanggil Feli. Feli menatap Ocha, “Cha, gue samper nyokap gue dulu ya bentar.” “Iya,” ucap Ocha. Ocha masih tenang, ia melihat Feli meletakan piringnya di meja dan meninggalkannya sendiri. Ocha berusaha setenang mungkin, ia memakan daging rendang dan nasi dengan tenang. “Hai.” Otomatis Ocha mendongakan wajahnya, ia memandang Damian tepat di hadapannya. Ia melihat di area keluarga yang tadinya ramai seketika hilang hanya dirinya dan Damian di sini. Ocha menenangkan hatinya yang tengah maraton. “Hai,” ucap Ocha pelan. “Boleh saya duduk di samping kamu?” Tanyanya. Ocha memandang sekali lagi wajah itu, sorot mata tajam itu membuatnya takut, “Iya boleh.” Damian lalu duduk di samping Ocha, ia dapat mencium aroma mawar putih yang manis dari tubuh wanita itu. “Jujur saya senang bisa berkanalan dengan kamu,” ucap Damian to the point, ia memperhatikan wanita yang enggan menatapnya. “Terima kasih.” “Kalau saya sedang berbicara, kamu bisa lihat saya?” Ocha lalu menoleh menatap pria yang memberinya perintah, “Iya.” Damian menyungging senyum, “Saya tidak ingin berbasa-basi. Kamu mau jadi kekasih saya?” Ocha mendengar itu nyaris menganga, ia tidak menyangka bahwa pria itu mengatakan bahwa menjadi kekasihnya. “What !” “Kita akan bertemu lagi di hari-hari berikutnya,” ucapnya diplomatis. Damian memandang Feli di sana, ia lalu beranjak dari dari kursi dan meninggalkan Ocha begitu saja. “Nyokap gue tadi ngasih kita lapis legit tau. Rasanya enak banget cobain deh.” Ocha menatap Feli, jantungnya saat ini masih maraton memandang Damian dari kejauhan. “Fel, pulang yuk,” ucap Ocha, ia merasa tidak aman di sini. “HAHH ! Pulang? Baru juga nyampe. Abisin makan dulu ya, baru balik.” “Iya, iya cepat lo abisin nasi lo.” “Iya, ini gue makan dulu.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD