Bab 2

2409 Words
HAPPY READING *** “Iya, ini gue makan dulu.” Ocha memperhatikan Feli makan, ia mewanti-wanti agar Feli cepat menyelesaikan makannya. Jujur ketika ia masuk ke dalam ruangan ini ada perasaan tidak tenang ada perasaan resah dan gelisah menghantuinya. Ia tahu yang menyebabkan dirinya seperti ini adalah pria bernama Damian. Beberapa menit kemudian Feli telah menyelesaikan makannya, ia memandang Ocha meneguk air mineralnya. Feli mengusap bibirnya dengan tisu, “Langsung cabut sekarang?” Tanya Feli memandang Ocha. Ocha mengangguk, “Iya, langsung aja yuk,” ia beranjak dari kursinya begitu juga dengan Feli. Ocha menarik nafas ia berusaha tanang, namun tatapannya jatuh ke arah seorang pria bernama Damian lagi. Ia menelan ludah pria itu memandangnya intens. Ia tidak tahu ini perasaan apa, ia seperti dejavu atau seperti sudah pernah melihat pria itu sebelumnya. Ocha merasa pernah melihat dan bertemu dengan Damian sebelumnya, entah di mana. Bayangan pria itu seperti pengamat yang tidak terikat ruang dan waktu, maka mereka saling mengamati beberapa detik. Jujur ini perasaan aneh seakan seperti bertemu di mimpinya. Ocha menghela nafas, ia tidak ingin memikirkan pria bernama Damian itu. “Kita pamit dulu, ya, sama om Damian,” ucap Feli. “Lo aja deh sendiri.” “Lo nggak ikut pamit.” “Enggak,” tolak Ocha cepat. “Gue tunggu di depan, ya.” “Yaudah deh kalau gitu,” Feli melihat Ocha meninggalkannya dan sementara dirinya mendekati Damian yang sedang ngobrol bersama teman-temannya. Damian memandang punggung Sorcha dari kejauhan, wanita itu meninggalkan ruangan ini begitu saja. Bibir Damian terangat namun tanpa senyum. Ia hanya mengamati punggung itu dari belakang. “Om, Feli pulang dulu, ya,” ucap Feli. “Kok, cepet?” Tanya Damian. “Iya nih, Ocha buru-buru. Soalnya Feli numpang sama Ocha.” “Sahabat kamu mana?” “Ocha, tunggu di luar.” “Kok, nggak pamit sama saya?” “Dia orangnya nggak enakan om. Yaudah, Feli pulang ya, om. Feli doain semoga semakin sukses.” Damian menyungging senyum, “Terima kasih ya, Fel. Udah datang.” “Iya, om, sama-sama.” Feli meninggalkan Damian, Feli juga tidak lupa berpamitan sama mama dan papanya. Setelah itu ia keluar dan mencari keberadaan Ocha. Feli menemukan apa yang ia cari, ia mendekati Ocha yang sedang duduk di teras, Ocha menatapnya balik. “Udah selesai?” Tanya Ocha. Feli mengangguk, “Iya, udah.” “Tadi gua juga udah pamitan sama nyokap, lo.” “Yang punya acara om Damian tau. Harusnya, lo pamitan sama om Damian, bukan sama nyokap gue,” ucap Feli menjelaskan. “Gua, takut sama om, lo,” mereka meninggalkan area rumah. “Taku kenapa?” “Ngeri aja gitu liat, om lo.” “Masa sih?” “Iya, bener.” Feli mencoba berpikir apa yang membuat Damian seram, ia memandang Ocha, “Serem karena banyak tatonya?” Tanya Feli. “Iya, sih kayaknya. Rada serem gitu. Gue kayak dejavu liat om lo.” “Lo pernah ketemu sama om Damian sebelumnya?” “Enggak pernah, tapi wajahnya tuh enggak asing tau,” seru Ocha. “Ya, emang nggak asing sih. Om Damian, sering masuk majalah Forbes kok, sama majalah bisnis.” Ocha terbelalak kaget, “HAH! Yang bener?” Feli mengangguk, “Iya, bener, dia kan kaya banget. Orang terkaya nomor keberapa ya? Ke 43 atau ke 60 gitu di Indonesia.” “Serius?” Feli mengangguk, “Iya, serius. Bisnisnya kan banyak banget.” “Kata lo, pengusaha tambang batu bara.” “Iya, itu bisnis utamanya. Tapi katanya ada bisnis property, otomotif, enggak tau deh apalagi.” “Kaya banget dong. Kaya mana sama mas Evan?” Tanya Sorcha. Feli tahu betul siapa keluarga Ocha, sauadara Ocha juga pengusaha sukses di Jakarta, “Kayaknya om Damian deh, Cha.” Ocha pikir tidak ada yang mengalahkan kekayaan sudaranya, namun Feli mengatakan bahwa Damian lebih tajir dari Evan saudaranya. “HAH! Yang bene raja lo!” “Iya, bener. Om Damian itu konglemerat tau, sultan. Kalau dia mau sama gue, gue mau deh pacaran sama om sendiri.” “Ih, lo.” “Habisnya tajir abis, keren lagi.” “Banyak tatonya gitu, lo bilang keren?” “Cowok tatoan, keren tau, Cha!” “Mirip pereman, Fel. Serem, kalau gue mah ogah!” “Beda selera kali, ya,” ucap Feli terkekeh. Ocha menekan kunci central lock dan otomatis kunci mobil terbuka. Mereka membuka hendel pintu dan ia mendaratkan pantatnya di kursi. Tidak lupa Ocha memasang sabuk pengaman. Ocha menghidupkan mesin mobil dan sedetik kemudian mobil meninggalkan area rumah berpagar tinggi itu. Ocha memanuver mobil tangan kirinya menekan audio, lalu suara radio terdengar. Setiap mengendarai mobil, ia pasti tidak lepas mendengarkan radio untuk menemani perjalan agar tidak bosan. Selama perjalanan dan kemacetan ia bisa mendengar si penyiar yang kocak, serta informasi-informasi terupdate. Seperti biasa Selama 2 jam kedepan dari jam 9 sampai jam 11 malam nanti Eva bakalan menemani sobat pass yang sekarang lagi galau ..ataupun yg lagi seneng karena abis jalan sama pacarnya. Cieee..cieee.. nah sobat pass juga bisa sekalian request di no 085345210 ataupun telepon on air 0225430 Eva tungguin yaaa. Song Eva Max – Take You To Hell “Besok lo ngantor?” Tanya Feli. “Iya lah, masih ngantor. Lo kegiatannya apa?” “Nganggur aja sih di rumah. Kalau capek ya ke salon. Bingung gue mau ke mana. Ada sih tawaran di kantor om Damian. Cuma nggak gue ambil.” “Kenapa nggak lo ambil?” “Masih males gua. Nanti deh, kalau niat gue oke. Langsung gue ambil. Nyokap sama bokap juga nyuruh gue nerusin usahanya juga.” “Gue aja, ngisi kerjaan juga di perusahaan abang gue. Bingung juga gue mau ke mana.” Feli menatap Ocha, “Ke Fable yuk.” Alis Ocha terangat mendengar Feli, tiba-tiba mengajaknya ke Fable, “Ngapain?” “Minum lah, sebentar. Seru-seruan aja” “Langsung, nih?” Tanya ocha. “Iya langsung aja. Udah lama tau, kita nggak minum, terakhir di Jerman kemarin.” “Iya, bener, kangen juga gue ngebir.” Ocha lalu mengarahkan mobilnya ke SCBD, karena di sanalah Fable berada. Sebenarnya ia dan Feli di Jerman sering sekali menghabiskan waktu akhir pekannya ke club. Intinya mereka saling menjaga satu sama lain, jangan sampai mabok dan begitu juga sebaliknya. Kalau ke club harus ada teman dekat perempuan bisa dipercaya dan saling menjaga. Menurutnya dugem itu overrated. Pergi ke night club tengah malam, music yang kencang, dan minum alkohol, nontonin orang sampai tengah malam karena capek dansa. Palingan ia minum sekaleng bir dingin sendiri dan menikmati ketenangan. Suatu saat, jika ia punya anak nanti, ia tidak akan melarang anaknya untuk pergi ke club. Selama itu ada batas-batasannya, syaratnya jangan pernah menerima minuman dari orang lain, pergi harus sama teman yang dipercaya, dan bawa uang cash. Walau mau mabuk tidak masalah, asal jangan ngobat saja. *** Keesokan harinya, Ocha membuka matanya secara perlahan, kepalanya sedikit puyeng karena efek minum tadi malam. Ia memang tidak mabuk, namun perutnya sedikit tidak nyaman, mungkin karena efek alkohol. Ocha menaikan kepalanya di bantal, ia meraba ke bawah bantal mencari ponsel. Ia mengerutkan dahi, melihat jam digital pada layar ponsel menunjukan pukul 07.20 menit. Ocha melihat ada beberapa pesan masuk di w******p. Ia membacanya pesan masuk itu, 62+0812xxx : “Saya mau ketemu kamu.Ini saya Damian.” Sorcha mengerutkan dahi, membaca nama Damian di sana. “Damian” nama itu sangat tidak asing di telinganya. Seketika memorienya teringat, pria si pemilik tato salib, persegi dan bintang. Pria itulah si pemilik rahang tegas, hidung mancung, dan alis tebal. Seketika jantungnya berdegup kencang menatap sekali lagi pesan singkat itu. Ocha memejamkan matanya beberapa detik dan bersandar, “Oh, Jesus. Dari mana pria ini tau nomor ponselnya,” desis Ocha geram. Ocha menutup wajahnya dengan tangan. Ocha tidak menjawab pesan itu dan membiarkan begitu saja. Ocha beranjak dari tidurnya lalu melangkah ke kamar mandi. Ini lah aktivitasnya setiap pagi, ia sudah menjelma menjadi orang paling sibuk di dunia ini. Ocha melakukan ritual mandinya setengah jam. Setelah itu ia memilih pakaian di lemari. Ia mengambil rok pensil berwarna coklat dan kemeja berwarna navy. Ia mengenakan pakaiannya setelah itu duduk di kursi. Ocha melakukan serangkaian skincare. Ia menggunakan makeup flawless dan terakhir ia mengenakan lipstick berwarna nude. Tidak lupa Ocha memblow rambutnya. Ia menatap sekali lagi penampilannya, ia rasa cukup oke. Ocha melihat jam menggantung di dinding menunjukan pukul 08.01 menit. Ia harus tiba di kantor tepat pukul sembilan kurang sepuluh menit. Ia tahu bahwa jarak rumah dan kantornya di SCBD tidak terlalu jauh. Ocha mengambil tas YSL berwarna hitam dan ia masukan ponsel, dompet ke dalam. Ocha menuruni tangga, ia memandang mama dan papa berada di meja makan, beliau sedang sarapan. Sedangkan bibi mengepel di ruang tamu. “Pagi, ma, pa,” sapa Ocha, ia berikan senyum terbaik itu kepada orang tuanya. “Pagi juga sayang. Sarapan dulu,” ucap mama. Ocha menarik nafas melirik jam melingkar di tangannya, “Ocha nanti sarapan di dekat kantor aja, ma,” ucap Ocha. Papa Ocha memandang putrinya yang melangkah menuju pintu utama, “Hati-hati bawa mobil, Ocha.” “Siap, pa.” Ocha masuk ke dalam mobil, ia merenggangkan otot tubuh sambil menunggu mesin mobil panas. Beberapa menit kemudian mobil meninggalkan area rumah berpagar tinggi itu. Sepanjang perjalanan Ocha mendengar suara radio. *** Mobil Ocha tidak berhenti di kantor melainkan menuju ke Loewy, ia perlu segelas kopi panas dan full breakfast untuk menyemangati harinya. Ocha melihat ada beberapa tamu warga asing sudah mengisi table kosong, karena di depan gerai ini terdapat banyak kantor-kantor kedutaan berbagai macam negara. Ocha mematikan mesin mobil dan ia melangkahkan kakinya menuju lobby. Ocha menatap ada beberapa menu brunch sudah di tulis di sana. Ocha menyimpan tasnya di meja, ia melihat server datang membawa buku menu. Ocha menatap buku menu berbahan kulit itu, Ocha memesan kopi americano dan full breakfast. Jujur ia bukan pecinta kopi namun pahit tanpa banyak gula, membuat rasa mualnya hilang. Tidak butuh waktu lama pesanan Ocha datang, ia menyesap kopi itu secara perlahan. Ocha meletakan cangkirnya di meja, tatapannya ke depan. Ia hampir saja menyumprutkan kopinya keluar, namun ia segera mengambil tisu menutup bibirnya. Matanya terbelakak kaget, ia memandang seorang pria mengenakan kemeja berwarna hitam dan celana berwarna senada. Pria itu berdiri di depan pintu lobby yang menatapnya dengan intes. Seketika jantungnya meraton tidak karuan. Ocha menelan ludah ia tidak tahu akan berbuat apa, ketika pria berperwakan tinggi besar itu datang mendekatinya. Seketika ia teringat tentang pesan singkat yang dikirim pria itu tadi pagi, dia mengatakan bahwa akan menemuinya. Ocha hanya bergeming, tidak tahu akan berbuat apa. Ia pikir pria pesan singkat itu hanya getrakan saja, namun pikirannya salah, dia benar-benar melakukannya. “Selamat pagi, Sorcha,” ucap Damian, ia memandang wanita ini lagi setelah semalam mereka bertemu. Ia ke sini memang sengaja bertemu dengan gadis ini. “Selamat pagi, juga,” ucap Sorcha pelan sekaligus gugup luar biasa, ia melihat pengunjung mulai berdatangan. “Boleh saya duduk?” Tanya Damian, memandang gadis cantik itu. Sorcha tidak menjawab, ia hanya menatap Damian yang sudah duduk di hadapannya. Ia dapat mencium aroma citrus, rempah dan woody yang khas dari tubuh Damian. Jantungnya maraton hebat, ia bingung berbuat apa selain menyibukan diri dengan makananya. “Kamu tidak membalas pesan saya?” Tanya Damian, ia memanggil server dan server menghampirinya. Damian memesan menu yang sama dengan Ocha. Ocha memberanikan diri memandang iris mata Damian, “Dari mana lo tau nomor hp gue?” Tanya Sorcha. “Jangan tanya saya, tau dari mana. Saya tahu semuanya,” ucap Damian tenang. “Saya juga tahu tadi malam kamu dan Feli ke Fable.” “What!” Bibir Damian terangkat, namun tanpa senyum, “Kenapa?” Ocha tidak menyangka bahwa Damian mengikutinya hingga ke Fable, bagaimana mungkin itu terjadi sementara pria itu sedang ada acara di rumahnya. Tiba-tiba ia merasa bahwa Jakarta ini sangat sempit sekali, “Lo mengikuti gue?” Damian tertawa dan ia melipat tangannya di d**a menatap Ocha. “Iya, tentu aja,” ucap Damian to the point. “Lo nggak punya kerjaan apa, ngikutin gua?” “Ada banyak.” “Kenapa mengikuti gue?” Desis Ocha. “Karena saya suka kamu, Ocha.” “HAH! Baru pertama kali ketemu langsung suka? Gila lo.” “Emang salah?” “Ya salah lah, mana ada cowok baru ketemu langsung suka,” dengus Ocha. Damian lalu tertawa, “Iya, ada. Itu saya.” “HAH!” “Saya pikir kita cocok, perbedaan umur juga nggak terlalu jauh.” Tiba-tiba rasa lapar Ocha hilang, Damian menatap server membawa pesanannya dan mengucapkan terima kasih kepadanya.. Kehadiran Damian sungguh meresahkan, bagaimana bisa ia tenang, jika seperti ini. Baru kali ini ia bertemu pria yang secara gamblang mengatakan bahwa menyukainya dan ingin menjadikan dia kekasihnya. Ocha menarik nafas, ia memandang Damian yang menatapnya balik, ia menggenggam erat tangannya hingga buku-buku tangannya memutih, “Gue nggak suka sama lo, paham,” ucap Ocha diplomatis. Jujur baru kali ini ia bertemu dengan seorang pria yang menyatakan cinta tanpa proses PDKT. Ocha melihat tatapan Damian, bibir pria itu terangkat dan ia melihat senyum pria itu sangat mengerikan. “Saya tidak akan berhenti mengikuti kamu hingga kamu, menerima saya..” “What? Gila lo ya!” Damian tertawa, ia memakan full breakfastnya, “Saya nggak gila, Ocha. Saya hanya mengutarakan hati saya.” “Caranya nggak ginilah. Gila aja. Denger ya, mau sampe kapanpun, gue nggak akan nerima lo.” Ocha lalu beranjak dari duduknya dan ia mengambil tas di meja, namun Damian menahan kepergian Ocha. Otomatis Ocha menoleh memandang Damian. Tangan hangat itu menyentuh permukaan kulitnya. Sentuhan itu seolah ada aliran listrik masuk ke tubuhnya. Damian beranjak dari duduknya, jujur ia suka melihat wanita berpenampilan executive seperti yang di kenakan Ocha, dia terlihat sangat berkelas dan cerdas. Ia perhatikan wajah cantik Ocha. Ia tidak tahu kenapa ia menyukai gadis ini sejak pertama kali bertemu. Ia pikir cinta itu tidak perlu alasan, “Kamu belum selesai sarapan, habisin dulu makan kamu.” “Ada lo, tiba-tiba kenyang gue.” “Bisa nggak kalau ngomong sama aku itu, pakek aku kamu.” “Lah, siapa lo? Bukan pacar, juga. Pakek aku kamu. Idih!” “Ocha.” “Apaan?” “Kita perlu bisa cara.” “Apa yang dibicarain, gue nggak kenal lo!” Ocha semakin jengah, ia masih terheran-heran, hidupnya tiba-tiba hadir seorang makhluk mengerikan bernama Damian. Ocha menelan ludah, tatapan Damian seolah memberi perintah untuk dirinya duduk. Ocha menghela nafas. “Ih, nggak tenang gue ada lo, betein banget!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD