Prolog

651 Words
"Zenith! Ayo segera bangun atau kau akan terlambat untuk mengikuti ujian terakhirmu, Sayang!"  Panggilan dari seorang wanita dewasa yang cantik dengan celemek di badannya terlihat menggedor-gedor kamar dengan pintu berwarna biru muda.  Sementara gadis pemilik kamar itu tampak masih nyenyak tertidur di atas pembaringan miliknya, bahkan ia sama sekali tak berniat untuk membuka matanya.  "Zenith! Ayolah, kau ingin melewatkan ujian terakhirmu?" panggil wanita itu lagi, dengan suara yang lebih keras.  Mendengar kata ujian terakhir, sontak saja Zenith membuka kedua matanya lebar-lebar. "Iya, Mom. Zenith sudah bangun." "Cepat bersiap-siap dan segera turun untuk sarapan, ya!" ucap wanita yang tak lain adalah ibu Zenith itu sebelum meninggal kamar putri tersayangnya.  Zenith pun berusaha melawan rasa kantuknya dan bangkit dari kasur kesayangannya, dia lalu menyambar handuk yang berada di tempat gantungan baju. Gadis itu melangkah masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya dengan cepat menggunakan shower.  Setelah memastikan tubuhnya sudah wangi dan bersih dengan sempurna, ia pun bergegas keluar dari kamar mandi dan memakai seragam putih abu-abu miliknya.  Tak lupa ia menyisir rambutnya yang masih basah dan mengeringkannya menggunakan hair dryer. Setelah memastikan semuanya selesai, gadis itu pun menyambar tas ransel berwarna hitam di atas kasurnya dan segera menuruni satu persatu anak tangga di rumahnya. Begitu memasuki ruang makan, Zenith melihat sang ibu tengah sibuk menata makanan untuk sarapan mereka berdua di atas meja. Zenith pun menghampiri ibunya dan mengambil tempat di bangku biasanya.  "Ayo makan nasi goreng milikmu dan habiskan susumu," pinta sang ibu. Zenith hanya menganggukkan kepalanya kecil sebagai jawaban, ia kemudian menyendokkan nasi goreng yang ada di piringnya ke dalam mulut hingga tandas.  "Jangan terburu-buru begitu makannya, Zenith! Nanti kamu bisa tersedak." "Tidak ada waktu lagi, Mom. Zenith sudah hampir terlambat pagi ini," ucap Zenith sesaat sebelum menegak segelas s**u di gelasnya hingga tandas.  Setelah menghabiskan seluruh sarapannya, gadis itu pun bangkit dari tempatnya dan mencium pipi ibunya dengan terburu-buru. "Zenith berangkat dulu, ya, Mom! See you." "Eh, kamu tidak diantar dengan Jean lagi?" tanya ibu Zenith heran. Biasanya putri kesayangannya itu akan diantar jemput oleh kekasihnya yang tak lain adalah teman masa kecil putrinya.  "Entahlah, Kak Jean bilang kemarin dia sedang sibuk hari ini, jadi tidak bisa mengantarku," ucap Zenith sebelum benar-benar keluar dari rumahnya.  Gadis itu terlihat berlari kecil keluar dari rumah menuju sekolahnya. Untung saja sekolah Zenith tak jauh dari kompleks perumahan tempatnya tinggal. Membuat gadis itu sudah terbiasa berjalan kaki ke sekolah.  Saat melewati sebuah cafe tempat anak sekolah nongkrong sepulang sekolah, mata Zenith membulat sempurna melihat dua sejoli yang tengah bermesraan di meja yang dekat dengan jendela cafe yang transparan.  Deg. Jantung Zenith seperti hendak berhenti berdetak saat itu juga. Ia beberapa kali mengerjapkan matanya untuk memastikan penglihatannya tidak salah.  "I—itu Kak Jean kan?" ucap Zenith membeo di tempat. "Iya! Itu benar-benar Kak Jean!"  Kedua mata Zenith langsung memanas melihat Jean—kekasihnya—tengah bermesraan dengan seorang wanita yang Zenith pastikan berusia kurang lebih sama dengan usia Jean.  Gadis itu mengeram kesal melihatnya, bahkan kedua telapak tangannya telah ia genggam dengan erat.  Tak ingin membuang-buang waktunya, gadis itu berlari dari sana. Ia memilih kabur dari pemandangan yang berhasil membuat hatinya hancur. Jean berhasil menorehkan sebuah luka yang cukup dalam di hati gadis cantik berwajah Eropa itu.  Dengan langkah berat ia memasuki gerbang dengan tulisan SMA Kencana yang terlihat berdiri kokoh, terlihat banyak siswa juga berlalu lalang di dalam sana.  Beberapa siswa terlihat menyapa Zenith dengan begitu ramah, sementara Zenith hanya membalasnya dengan senyum kecil saja. Itu pun ia memaksakan senyum itu untuk terbit di wajahnya.  Gadis itu cukup terkenal di SMA Kencana ini, apalagi mengingat wajahnya yang cantik dan berbeda dengan siswi yang ada di sana. Wajah Eropa khas dari kedua orang tuanya apalagi rambut cokelat alami yang dimiliki oleh Zenith mempercantik rupa gadis itu. Ia mempercepat langkahnya menuju ruang kelasnya yang berada di lantai dua, gadis itu telah bertekad akan menjauh dari Zenith setelah menyelesaikan sekolahnya yang tinggal beberapa hari lagi.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD