4. Tiago Coffee

1024 Words
Tak seperti biasanya, pagi ini Zenith terlihat sangat antusias. Bahkan ia sudah bangun lebih dulu sebelum mommy nya membangunkannya dan menggedor-gedor pintu kamarnya.  Bahkan gadis itu terlihat telah cantik dengan pakaian kasualnya dan rambut cokelat yang digulung ke atas.  Ia pun berjalan cepat turun dari kamarnya dan menghampiri mommy dan daddy nya yang terlihat sudah di meja makan. Sang mommy terlihat sibuk dengan masakannya, sementara sang daddy terlihat rapi dengan pakaian kantor dan surat kabar di tangannya.  "Morning, Mom. Morning, Dad." "Morning too, Princess. Bagaimana tidurmu tadi malam? Apakah kau suka berada di California?" tanya Tuan Greer yang mengalihkan pandangannya dari surat kabar.  Zenith menganggukkan kepalanya pelan. "Ya, Dad. Zenith sangat suka dengan kamar Zenith! Pasti daddy yang mendesainnya kan?"  "Tentu saja. Siapa lagi kalau bukan daddymu itu yang mendesainnya Zenith," celetuk Emma—mommy Zenith—seraya menaruh sandwich buatannya di meja makan. "Ngomong-ngomong, tumben kami bangun begitu cepat?" "Entahlah, Mom. Sepertinya karena Zenith terlalu bersemangat untuk hari ini." Gadis itu terlihat menarik kursi yang berada di sebelah kiri daddy nya.  Mommy Zenith pun hanya menganggukkan kepalanya dan menaruh potongan sandwich tadi di piring putri dan suaminya.  "Zenith, hari ini kau akan ke mana?" tanya Tuan Greer seraya menyimpan surat kabar yang dibacanya di atas meja.  Gadis itu terlihat berpikir sejenak kemudian menggelengkan kepalanya pelan. "Entahlah, Zenith hanya berpikir untuk berjalan-jalan menggunakan mobil saja. Siapa tahu ketemu tempat yang bagus." "Bagaimana kalau kamu ikut ke kantor Daddy saja? Sekalian kamu belajar dan melihat suasana di sana."  Mendengar ucapan daddynya membuat tubuh Zenith menegang seketika, jantungnya seperti berhenti berdetak saat ini juga. "Daddy... harus berapa kali Zenith bilang? Zenith ingin menjadi desainer, Zenith tidak ingin meneruskan perusahaan itu." Terdengar helaan napas kasar dari Tuan Greer begitu mendengar tolakan secara langsung dari putri semata wayangnya.  "Kamu itu anak satu-satunya daddy dan mommy, kalau bukan dengan kamu kepada siapa kami harus memberikan perusahaan kami? Harapan daddy cuma kamu satu-satunya, kamu tahukan saudara daddy bagaimana? Mereka hanya akan membuat kerja keras daddy selama ini hancur." Zenith sontak merasakan kepalanya berat dan pusing mendengarnya. Ia memilih menyantap sandwich miliknya dalam diam.  "Daddy punya satu pilihan lagi untukmu," ucap Tuan Greer yang sontak membuat Zenith mendongakkan kepalanya.  "Apa?"  "Menikahlah dengan pengusaha yang andal dan kalian bisa melakukan merger, kau bisa meneruskan cita-citamu dan perusahaan kita akan terselamatkan." Kedua mata Zenith membulat sempurna mendengarnya. "Daddy sedang becanda kan?! Bagaimana bisa daddy ingin menikahkan Zenith yang baru saja lulus SMA? Zenith masih sangat muda, Dad!" "Ayolah, Zenith. Kau harus memilih satu di antara pilihan yang daddy berikan. Usia daddy sudah tak muda lagi, seharusnya daddy sudah berdiam diri di rumah dan menikmati masa tua bersama mommy mu." Saat Zenith lahir, umur kedua orang tua Zenith memang sudah memasuki usia tiga puluh tahunan karena mereka terlalu lama menikah.  "Hah, entahlah Dad. Biarkan Zenith berpikir dulu untuk pilihan yang daddy berikan," ucap Zenith seraya beranjak dari duduknya setelah menegak habis s**u di gelasnya.  "Kau mau ke mana, Zenith?" Emma yang sedari tadi menonton perdebatan anak dan bapak itu akhirnya mengangkat bicara juga. "Berjalan-jalan sebentar, Mom." Gadis itu berjalan keluar dari rumahnya dan menghampiri salah satu supir daddy yang dipekerjakan oleh daddynya. Awalnya Zenith menginginkan untuk berjalan-jalan sendiri saja, tetapi ia baru ingat bahwa tak memiliki surat izin mengemudi.  "Anda mau ke mana, Nona Greer?" tanya pria paruh baya berpakaian sopir tersebut.  "Kau tahu cafe terkenal di daerah sini? Aku ingin ke sana," ucap Zenith.  "Baik, Nona." Pria tersebut pun berlalu dari hadapan Zenith dan mengeluarkan salah satu mobil di garasi.  Setelah Zenith masuk, mobil itu pun berjalan dengan kecepatan normal menyusuri jalanan kota Los Angeles yang lumayan padat lagi itu. Terlihat banyak juga orang yang memilih berjalan-jalan di trotoar. Hingga, mobil yang membawa Zenith itu berhenti tepat di depan sebuah cafe dengan papan bertuliskan Tiago Coffee bar + Kitchen.  "Sudah sampai, Nona. Tiago ini paling banyak dikunjungi anak remaja di Los Angeles, anak saya juga sering datang ke sini dengan teman-temannya." "Ah, thank you. Kau bisa langsung kembali ke rumah saja, tidak usah menungguku." Zenith pun turun dari mobil dan melihat suasana cafe yang cukup penuh dengan pengunjung, padahal hari masih pagi.  Hingga, mata Zenith menangkap sebuah meja yang baru saja dibersihkan, ia pun segera menghampiri meja tersebut. Tetapi, di saat bersamaan seorang pria juga mendatangi meja tersebut. "Ah, maaf Tuan. Ini meja saya," ucap Zenith dengan lembut.  "Tidak, tidak. Ini meja saya!" ucap pria tersebut tak ingin mengalah.  "Tapi, Tuan... Saya yang lebih dulu sampai di sini." Zenith terlihat mulai kesal dengan pria di hadapannya.  Terdengar hembusan napas kasar dari pria itu. "Meja ini kan cukup untuk berdua, bagaimana kalau kita duduk bersama saja? Lagipula seluruh meja di cafe ini sudah penuh." Zenith tampak berpikir sejenak, ia menatap pria di hadapannya dari atas hingga bawah dan memastikan wajahnya bukanlah wajah-wajah tipe kriminal.  "Oh ayolah, Nona. Saya bukan orang jahat, saya di sini hanya ingin mengurus pekerjaan saya dan menyicipi minuman di sini," ucap pria itu saat menyadari tatapan Zenith. "Ah, tunggu. Sepertinya aku mengenalmu." Pria tadi menatap wajah Zenith lekat membuat Zenith sedikit merasa risih.  "Kau... anak SMA Kencana yang menabrak saya dulu kan?" tebak pria itu. Zenith terdiam sejenak, kepalanya memikirkan kejadian saat ia menabrak seseorang seusai ujian terakhirnya dulu. Ia pun akhirnya menganggukkan kepalanya. "Ya, aku yang menabrak Anda dulu. Maaf sekali lagi, Om." "Ayolah,saya kan sudah bilang jangan memanggil saya dengan panggilan om seperti itu," ucap pria yang tak lain adalah Ade Ardito itu, ia tampak sudah duduk di kursi mendahului Zenith.  "Om ini menolak tua rupanya, ya?" ucap Zenith diikuti gelak tawa dari Dito yang mendengarnya.  "Bukan seperti itu, hanya saja saya merasa canggung kalau ada yang memanggil saya dengan panggilan om selain keponakan saya," ucap Dito.  Seorang waiters mengampiri mereka dengan dua buku menu di tangannya, wanita cantik itu pun juga mengeluarkan buku catatan kecil dan pulpen. "Anda sudah ingin memesan, Nona dan Tuan?" Zenith melihat-lihat isi menu yang diberikan tadi dan melihat makanan yang menjadi andalan cafe itu. "Aku ingin Coffee Latte dan Eggs Benedict's." "Saya juga sama seperti gadis itu, hanya tambahkan sandwich breakfast satu ya." "Baik, tunggu 15 menit untuk pesanan Anda." Wanita tadi pun mengambil kembali buku menu dan berlalu meninggalkan keduanya.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD