3. Los Angeles

1004 Words
Setelah melakukan perjalanan udara yang hampir memakan waktu 24 jam, kini Zenith dan ibunya terlihat telah berada di Bandara Internasional Los Angeles. Di tangan kanan mereka masing-masing terlihat menyeret satu buah koper. Bandara tersebut terlihat dipadati oleh banyak orang, baik warga lokal maupun turis. Apalagi di Los Angeles sudah memasuki liburan musim panas.  "Mom kita akan dijemput oleh siapa di sini?" tanya Zenith.  "Kita akan dijemput oleh supir daddy," jawab ibu Zenith sekenannya.  Mereka berdua tampak kelelahan walaupun sudah tidur sepanjang perjalanan tadi, tetapi tetap saja rasanya berbeda. Apalagi ini pertama kalinya bagi Zenith untuk naik pesawat dan berkunjung ke California. Dari awal kedua orang tuanya menikah, mereka memilih pindah ke Indonesia karena daddy Zenith ingin melebarkan sayap perusahaannya di negara itu. Hingga sampai Zenith terlahir di Indonesia dan akhirnya dekat dengan Jean yang merupakan tetangga mereka.  "Itu dia, ayo ke sana!" Ibu Zenith menunjuk seorang pria paruh baya yang mengangkat kertas bertuliskan namanya dan Zenith.  Zenith hanya menganggukkan kepalanya dan mengikuti langkah wanita itu menghampiri pria tadi. Terlihat keduanya berbicara sebentar menggunakan bahasa Inggris yang logatnya sedikit berbeda dari yang Zenith pelajari. Hingga, ibu Zenith pun menggandeng tangan putrinya mengikuti langkah pria yang Zenith ketahui adalah supir yang diutus oleh daddy nya.  "Silakan, Nyonya, Nona." Pria itu membukakan pintu mobil untuk Zenith dan ibunya.  Mereka kemudian dipersilakan masuk ke dalam mobil, tak lupa Zenith mengucapkan terima kasih sebelum menutup kembali pintu mobilnya.  Sepanjang perjalanan gadis itu terlihat sangat antusias melihat pemandangan kota Los Angeles;tempat kedua orang tuanya lahir, tempat di mana kedua orang tuanya menikah, dan tempat di mana seluruh keluarganya menetap. Tak membutuhkan waktu lama untuk perjalanan dari bandara ke kediaman keluarga Greer. Kini mobil yang membawa Zenith itu memasuki halaman rumah milik daddynya yang secara tak langsung adalah miliknya juga. Mereka berdua pun turun dari mobil dengan antusias, sejenak Zenith merasa terpukau dengan rumah milik keluarganya di Los Angeles. Sangat megah dan lima kali lebih besar daripada rumah mereka saat di Indonesia.  Apalagi halamannya yang luas dipenuhi dengan berbagai jenis tanaman dan bunga yang tampak subur. Tak hentinya Zenith berdecak kagum. "Zenith! Emma!" Teriakan seorang pria paruh baya itu membuat Zenith tersadar dari lamunannya, ia pun berlari kecil menghampiri sang ayah yang berdiri di depan pintu menunggu mereka.  Tanpa menunggu lama gadis itu berpindah ke dalam pelukan ayahnya. Rasa rindu yang selama ini tersimpan di dalam hatinya kini bisa dia curahkan. Dua tahun bukan waktu singkat untuk ketiganya berpisah.  Daddy Zenith terpaksa pulang lebih dulu ke Los Angeles karena harus mengurus kantor pusat yang berada di negara impian ini, membuatnya harus meninggalkan Zenith dan sang istri—Emma—di Indonesia. Hal ini karena pendidikan Zenith yang sebentar lagi selesai dan gadis itu juga tak ingin berpisah dari Jean, membuatnya harus ditinggal. "I miss you so much, Dad!" ucap Zenith.  "I miss you too, Princess. Bagaimana sekolahmu di Indonesia? Apakah baik-baik saja?" tanya Tuan Greer seraya membalas pelukan putrinya, tangan pria itu ia gunakan untuk mengelus helai rambut Zenith.  Zenith merentangkan tangannya pada Emma yang tak lain adalah sang ibu, seolah memanggil wanita itu untuk ikut berpelukan bersama mereka.  Mengerti dengan kemauan putrinya, wanita cantik itu pun ikut masuk ke dalam pelukan anak dan suaminya.  "Sekolah Zenith baik-baik saja, bahkan Zenith sudah lulus. Tinggal menunggu ijazah Zenith saja dikirimkan ke sini." Ada rasanya nyaman dan terharu di dalam hati Zenith saat merasakan pelukan dari kedua orang tuanya setelah sekian lama tak merasakannya. Tuan Greer kemudian melepaskan pelukan mereka bertiga dan berjalan masuk ke rumahnya. "Ayo kita masuk, kalian pasti sangat lelah setelah perjalanan jauh kan?" Zenith pun hanya mengikuti langkah daddynya, sementara Emma kini telah berjalan di sebelah sang suami dengan sangat mesra.  "Daddy, kamar Zenith ada di mana?" tanya Zenith dengan wajah lelah. "Ah, kamarmu ada di lantai dua, ada tulisan namamu di pintunya," ucap Tuan Greer yang tengah duduk di sofa bersama sang istri. Lagi-lagi Zenith berdecak kagum dengan interior rumahnya itu, sangat mewah dan bergaya modern sekali. Bahkan tak jarang mata Zenith menangkap benda yang ia ketahui harganya melebihi harga rumahnya di Indonesia.  Usai mengangumi isi rumah itu, dia pun memilih menaiki satu persatu anak tangga dan mencari-cari kamarnya.  Langkahnya terhenti kala melihat pintu kamar dengan gantungan kayu bertulis namanya yang tergantung di pintu. Ia pun membuka pintu kamar itu dengan hati-hati. Kedua matanya sontak membulat sempurna kala melihat ruangan kamar itu. Dinding yang dipenuhi wallpaper dengan motif luar angkasa dan sebuah rak dinding yang berisi ratusan novel. Daddynya benar-benar menghias kamar ini sesuai dengan selera Zenith. Hal pertama yang gadis itu lakukan adalah menghampiri rak buku miliknya, matanya menatap satu persatu judul buku yang berada di sana. Hingga, ia hampir memekik tertahan kala melihat salah satu buku kesukaannya ada di sana, dan yang lebih mengejutkan itu adalah buku terbitan pertama.  "Ck, ck, ck. Entah berapa uang yang daddy habiskan untuk membeli ini semua," ucap Zenith berdecak kagum.  Usai melihat-lihat rak buku miliknya, gadis itu pun akhirnya melempar tubuhnya ke atas kasur yang cukup empuk dan besar. Ia pun memejamkan matanya sejenak di sana.  Senyum manisnya tak bisa ia tahan untuk tidak terbentuk di wajahnya, hati gadis itu sangat senang hari ini. Pun dengan banyak kejutan yang diberikan oleh ayahnya. Rasanya meninggalkan Indonesia adalah pilihan yang tepat baginya, dengan meninggalkan negara dengan sejuta pesona itu, ia bisa melupakan kesedihannya.  Apalagi tentang Jean. Ah, mengingat namanya saja Zenith rasanya sangat muak dan ingin melenyapkan pria berengsek itu saat ini juga. Ia ingin mencekik pria itu dengan sangat erat hingga kehabisan napas. "Ah sudahlah, lebih baik sekarang aku tidur dan bangun untuk makan malam dalam keadaan yang segar. Menyebalkan sekali memikirkan pria berengsek itu," monolog Zenith pada dirinya sendiri. "Aku jadi heran kenapa dulu aku lebih memilih bersama dia daripada ikut dengan daddy ke sini, apa dulu aku diguna-guna, ya?" Tetapi dengan cepat gadis itu menggelengkan kepalanya dan mengusir segala hal yang mengusik kepalanya di saat ingin tidur. Gadis itu sudah menyiapkan berbagai kegiatan untuk melihat dan mengagumi berbagai keindahan kota Los Angeles itu. Ia tak ingin jika sampai terjatuh sakit dan harus menahan diri sejenak untuk tidak berjalan-jalan ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD