2. Keberangkatan

1001 Words
"Zenith, kita perlu bicara!"  Jean menarik tangan Zenith dengan begitu erat, membawa gadis itu ke area taman sekolah yang lumayan sepi. Kebanyakan siswa lebih memilik ke kantin atau pulang setelah menyelesaikan ujian mereka.  Sangat jarang ada siswa yang duduk di taman itu semenjak kelas sepuluh dan sebelas diliburkan dan kelas dua belas ujian. "Sakit, Kak! Kakak kasar banget sih," ucap Zenith seraya menghempaskan tangan Jean dengan keras.  Bahkan terlihat di pergelangan tangan Zenith berwarna merah karena digenggam sangat erat oleh Jean.  "Kamu kenapa hari ini aneh banget sih? Aku adalah salah sama kamu? Kalau aku ada salah kamu bilang, jangan seperti ini!" ucap Jean kesal.  Zenith mengalihkan pandangannya dari wajah Jean, ia masih merasa sakit hati atas pemandangan yang ia lihat pagi tadi.  "Zenith! Kakak perlu jawaban dari kamu, Sayang," paksa Jean.  Rasanya Zenith sangat kesal mendengar panggilan yang diucapkan oleh pria di hadapannya itu. Ia muak melihat wajah sok polos pria itu.  "Nggak ada yang perlu dijawab atau dijelaskan, Kak. Aku ingin hubungan ini usai saja, tak ada artinya hubungan yang didasari dengan berbagai pengkhianatan," ucap Zenith.  Setelah mengatakan hal itu Zenith berlalu dari hadapan Jean dan meninggalkan pria itu yang mematung. Kedua tangan Jean tanpa sadar terkepal erat, bahkan di lehernya terlihat urat-urat yang menonjol.  "Sialan!" Dengan cepat Jean menyusul Zenith dan meraih pergelangan tangan kurus gadis itu, ia menggenggam tangan Zenith dengan erat membuat langkah gadis itu seketika terhenti. "Berhenti! Lo gak boleh pergi tinggalin gue!" ucap Jean dengan penuh penekanan. Zenith bahkan meringis kesakitan karena tangannya digenggam terlalu erat, ia berusaha meronta untuk melepaskan genggaman itu tetapi semuanya sia-sia.  "Lepasin, Kak! Aku nggak mau melanjutkan hubungan dengan pria seperti kakak! Pria yang berkhianat dengan wanita lain!"  Bukannya melepaskan cengkraman tangannya, pria itu malah menarik tangan Zenith menuju koridor khusus kelas sepuluh yang sangat sepi. Ia mendekatkan tubuhnya pada Zenith dan mengunci gadis itu, hingga punggungnya menabrak tembok. "K-kamu mau apa, Kak!" pekik Zenith tertahan, bahkan kedua matanya telah memanas karena memikirkan hal-hal yang buruk akan menimpa dirinya.  "Kalau gue gak bisa dapatin lo, gue bakal bikin hidup lo menderita!" ancam Jean. Salah satu tangan pria itu ia gunakan untuk menahan pergerakan Zenith, sementara tangan yang lainnya digunakan untuk menyingkap paksa pakaian yang dikenakan oleh gadis itu.  Sontak saja kedua mata Zenith membulat sempurna, ia memberontak paksa dari cengkraman Jean. "Berengsek! Lepasin gue!" Tubuh Zenith terlihat bergetar halus.  Entah dari mana Zenith memiliki keberanian, ia menendang bagian s**********n pria di hadapannya. Sontak saja Jean meringis kesakitan dan merasakan miliknya ngilu.  Memanfaatkan lemahnya Jean, gadis itu pun berlari dengan sisa-sisa tenaganya dari sana, bahkan kedua mata cantiknya telah mengeluarkan air mata. Hatinya terasa begitu pedih menerima perlakuan menjijikkan itu dari Jean tadi, ia merasa dirinya telah kotor karena sentuhan dari tangan kotor pria b******k itu. *** Zenith berjalan masuk ke rumahnya dengan langkah yang cepat, pandangannya menyusuri sekeliling rumah itu tuk mencari keberadaan ibunya. Wajahnya terlihat sangat lesu, bekas tangisan di wajahnya telah ia bersihkan agar tak membuat ibunya khawatir. "Mommy! Mommy di mana?" panggil Zenith dengan sedikit berteriak.  Tetapi, gadis itu tak kunjung mendapat jawaban, keningnya pun mengernyit dan terlihat beberapa garis halus di sana.  Gadis itu pun berlari kecil menaiki satu persatu anak tangga di bagian tengah rumahnya, ia pun berlari memasuki salah satu kamar yang terletak tak jauh dari kamar miliknya.  "Mommy? Mommy ada di dalam?" panggil Zenith seraya mengetuk pintu kayu itu.  "Iya Zenith! Masuk saja." Akhirnya gadis itu bisa bernapas lega mendengar suara wanita yang sangat ia sayangi itu, dia merasa sangat takut hingga sekarang ketika tak mendengar jawaban dari mommy atau daddy nya. Tangan Zenith terulur untuk memutar kenop pintu kamar ibunya, ia kemudian melangkah masuk ke dalam kamar yang cukup luas itu. Pandangannya jatuh pada sang ibu yang terlihat sangat fokus memasukkan pakaian ke dalam kopernya. "Mommy sedang apa?" tanya Zenith bingung. "Mommy mau ke mana?" "Bukan hanya mommy, tapi kita," ucap ibu Zenith. "Kita akan pulang ke California, daddy mu sudah sangat merindukanmu di sana, lagi pula sekolahmu juga sudah selesai kan?" Zenith tampak berpikir sejenak kemudian menganggukkan kepalanya. Walaupun sebenarnya masih ada acara kelulusan untuk siswa kelas 12, tetapi Zenith sama sekali tak berniat untuk menghadirinya. Ia takut jika di sana akan bertemu dengan Jean kembali.  "Sana, cepatlah bersiap dan mengemaskan pakaianmu. Kita akan berangkat hati ini juga," pinta ibu Zenith. Seketika Zenith membeo ditempatnya mendengar perintah ibunya. "Malam ini? Bukankah kita harus mengurus segala berkas sebelum berangkat, Mommy?" "Mommy sudah mengurus segalanya, mulai dari paspor, tiket dan hal yang diperlukan lainnya. Kita hanya tinggal berangkat malam ini." Mendengarnya membuat Zenith menghembuskan napas kasar, ia pun menganggukkan kepalanya dan berjalan keluar dari kamar ibunya.  Dengan cepat gadis itu mengambil koper berukuran besar berwarna biru muda, kemudian memasukkan beberapa pakaian dan barang-barang keperluan lainnya.  *** Kini kedua ibu dan anak itu telah duduk di depan pintu keberangkatan, menunggu jadwal keberangkatan mereka tiba. "Nith, kamu tidak ingin mengabari Jean dulu? Atau menyuruhnya ke sini, kalian bakal LDR loh nantinya," tanya ibu Zenith seraya menatap putrinya yang duduk tepat di sebelahnya.  Mendengar nama Jean disebutkan membuat Zenith menjadi malas, ia hanya menggelengkan kepalanya tanpa gairah.  "Kalian ada masalah? Biasanya kamu dan Jean seperti perangko dan surat saja, ke mana-mana pasti berduaan," goda ibu Zenith. Sayangnya wanita itu menggoda di waktu yang salah, suasana hati Zenith semakin memburuk mendengarnya.  "Aku dan Jean sudah putus, Mom. Jangan membahas tentang Jean lagi, aku sudah tidak ingin mendengar namanya disebutkan," ucap Zenith malas.  Mengerti bahwa suasana hati putri tunggalnya itu tengah tidak baik, mommy Zenith hanya menganggukkan kepalanya dan menutup mulutnya rapat-rapat. Ia sama sekali tak ingin memaksakan Zenith untuk bercerita, biarlah putrinya yang menceritakan masalahnya dengan sendirinya. Suara pengumuman untuk segera masuk ke dalam pesawat terdengar, membuat keduanya beranjak dari tempat dengan masing-masing koper di tangan mereka. "Selamat tinggal Jean, aku tidak pernah akan menyesal karena meninggalkanmu dan membencimu hari ini. Malah aku lebih menyesal karena pernah mencintai pria b******k seperti kamu," batin Zenith.  Dalam hati bahkan gadis itu sama sekali tak berhenti mengutuk pria yang berusaha m*****i dirinya itu. Ia merasa jijik membayangkannya kembali. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD