Dua nama

1082 Words
“Tuan?!” Odette yang dari tadi mengekor pria penolongnya, segera berlari mendekat saat mengetahui pria itu tumbang, “Ada apa denganmu? Jangan mati, kumohon ....” Odette tanpa sengaja menjatuhkan air matanya. Pria yang kini dipangku, wajahnya begitu pucat, punggungnya basah, sepertinya lukanya memang parah. Odette terus mengusap wajah pria itu, ingin melihatnya lagi membuka mata, tapi tetap lelap saja yang didapatnya. Odette semakin menyesal, di hari yang dia tunggu ingin mengetahui tempat indah dan menyenangkan, malah berakhir dengan nasib pria di pangkuannya yang saat ini malah dipertaruhkan. “Putri Odette, apa yang Anda lakukan?” Pelayan yang paling setia, berhasil menemukan tuan putri setelah melihat jejak bubuk biru di jalan malam yang gelap. “Kau di sini, Emi? Bantu aku membawanya ke kastil.” Odette menyeka air matanya kasar. “Putri? Duke Alvin akan marah kalau Anda membawa—“ “Aku akan mengutuk diriku selamanya kalau dia sampai mati, Emi. Dia seperti ini karenaku. Bantu saja aku dan aku yang akan menanggung semuanya.” Odette melihat tangan kanannya, mencium cincin biru di jari tengah, dan mulai merapalkan mantra sihirnya. Emi tak berani menjawab lagi. Dia juga ikut mencium cincin biru di tangan kanannya yang berukuran lebih kecil, memejamkan mata juga, dan mulai mengucap mantra. Tak lama tubuhnya terasa melayang, barulah dia membuka mata sambil memegangi tubuh pria di depannya. “Kita akan ke puncak kastil, Emi. Di sana tak akan ada yang tahu kalau aku membawanya.” Odette bersyukur dengan gelapnya malam. Semua yang dia lakukan berjalan dengan sempurna. “Ambilkan aku air dan handuk, Emi. Aku akan mengobatinya.” Odette merebahkan pria itu di ranjang pojok kamar. Nadi yang berdenyut menghadirkan bahagia walau hanya setitik. Emi melakukannya dengan cepat. Setelah kembali, dia membantu Odette membalik tubuh pria itu, melepas semua baju yang menempel untuk melihat di mana saja lukanya, dan membiarkan Odette memantrai luka menganga di punggung pria itu. “Aku akan membalutnya, Putri.” Ucapnya setelah Odette selesai meniupkan mantra. “Apa tadi ayah mencariku?” Odette tahu kalau Emi tak ingin dia di sini terlalu lama. Emi mengangguk, “Ada tamu mencarimu, Putri. Duke Alvin pasti sedang menunggu Anda.” Odette segera pergi. Dia tahu kalau ayahnya suka di ruang baca, pasti akan menemukan ayahnya di sana, dan saat pijar lampu hanya tersisa di tengah, Odette mendekat sambil tersenyum. “Dari mana, Odette?” Duke Alvin sangat mengenal putrinya hanya dari langkah kaki saja. “Aku ke danau, Ayah. Kristal biru ini semakin membesar, aku hanya ingin bermain di sana.” Odette duduk tak jauh dari ayahnya. Duke Alvin menoleh, “Kenapa ada darah di bajumu?” “Ah!” Odette menunduk, dia bahkan melupakan sesuatu yang penting, “Ada kelinci terjebak, Ayah. Kakinya tersangkut dan aku membantunya. Kata Emi ada tamu, siapa, Ayah?” Odette segera mengganti topik agar ayahnya melupakan darah itu. Duke Alvin terkekeh, “Banyak lamaran yang datang, Odette. Ayah tidak tahu kesatria mana yang pantas untukmu.” Odette tersenyum, “Ayah, pernikahan itu membuatku tidak bisa bicara, setiap kali Ayah mengatakannya, aku masih ingin lebih baik lagi saat memakai kristal—“ “Kalau kesatria itu hebat dan sempurna, kamu tak perlu menggunakan kristal biru itu lagi, Odette.” Semua ayah ingin yang terbaik untuk anaknya, termasuk Duke Alvin. “Ayah,” Odette memegangi tangan ayahnya yang masih menggenggam buku, “meski dia kesatria hebat, aku tak mau kalah jauh darinya, aku harus memantaskan diri juga, bukankah dengan seperti itu dia tahu seperti apa keluarga kita? Dia tahu siapa putri Duke Alvin yang sebenarnya?” Odette tersenyum lebih lebar, “Apakah aku bisa meminta agar Ayah tak buru-buru dengan itu?” Duke Alvin menghela napas, “Tidurlah, Sayang. Malam semakin dingin.” Diusapnya rambut putri kesayangannya. “Aku menyayangimu, Ayah.” Odette pun berdiri dan pergi ke kamarnya. *** Pagi ini, semua orang sarapan dengan gembira, Swan Castle terdengar lebih cerah dari biasanya. “Ayah, akan ke mana hari ini?” Odette selalu menanyakan hal itu setiap pagi, jadi tak akan ada yang mencurigainya. “Ada beberapa anak yang lulus sihir tahap ke dua, hari ini pengesahannya, Sayang. Kau mau ikut?” Duke Alvin memang sibuk untuk hari ini. Odette menggeleng, “Aku akan meneruskan buku Zubir-ku, Ayah. Ada beberapa hal yang harus kuhafal. Aku ingin kristal biru ini lebih maksimal lagi.” Odette meyakinkan ucapannya dengan senyuman manis. Duke Alvin terkekeh, “Ya, Sayang.” Dia pun segera pergi dengan istrinya setelah selesai sarapan. Sedangkan Odette segera ke puncak kastil setelah mengantar ayahnya pergi dengan kereta kuda. Lancelot terbangun. Kamar tak terlalu besar, udara segar, dan cuitan burung begitu menenangkan. “Apa ini surga? Ah!” Meringis karena punggungnya masih sakit luar biasa. “Sepertinya aku masih hidup.” Lancelot mengedarkan padangan, dia menemukan pedang panjang miliknya di pojok ruang. Tak lama terdengar seperti air yang berdegum, Lancelot bangun dengan susah payah, hanya untuk ingin tahu di mana dia sebenarnya. “Awas! Kau akan terjatuh nanti!” Untung saja Odette datang tepat waktu atau pria itu akan jatuh dari jendela besar yang menghadap langsung ke danau. “Siapa kau? Apa yang ada di luar sana?” Lancelot membiarkan wanita itu membantunya kembali berbaring di ranjang. “Aku Odette. Aku tidak sengaja melihatmu jatuh semalam, jadi aku menolongmu, dan yang di luar sana hanya angsa yang berenang di danau, jangan kawatir.” Odette menjawabnya sambil tersenyum, “Siapa kau?” Dia balik bertanya. “Lancelot. Terima kasih sudah menolong. Kupikir aku sudah berada di surga.” Terkekeh, pikirannya sangat konyol, Lancelot merasa malu sendiri. Odette tertawa kecil, “Aku juga berterima kasih padamu. Kalau semalam kamu tak menolongku, mungkin aku sudah berada di tangan empat pria berengsek semalam, dan ini kastilku bukan surga.” Lancelot malah tertawa, “Itu hanya perkara kecil dan kastilmu sangat nyaman, jadi aku bisa merasakan surga di sini.” Odette ikut tertawa juga. Setelahnya, “Aku membawakanmu makanan, maaf karena hanya bisa seperti ini, ayah akan marah kalau mengetahui keberadaanmu.” “Ini sudah lebih dari cukup, Odette. Aku akan pergi setelah sembuh nanti. Jangan kawatir.” Lancelot sangat paham dengan ucapan itu. “Makanlah. Aku sudah sarapan dan ini cukup siang. Aku akan mengobatimu setelah ini.” Odette kembali mendekatkan nampan yang dia tinggal begitu saja di meja saat melihat pria bernama Lancelot mendekati jendela tadi. Lancelot mengangguk. Dia makan tanpa memandangi Odette. Tangannya memang tak merasakan apa pun meski punggung nyerinya luar biasa, dan Lancelot tak akan membiarkan luka kecil itu mengganggunya. “Bagaimana kau akan mengobatiku, Odette?” Lancelot baru saja menyelesaikan makannya.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD