Bab 11 - Rani's Step

2011 Words
Aku menatap kagum Bianca yang sedari tadi memakan makanan yang dia pesan tanpa henti. Menghempaskan punggungku ke sandaran kursi lalu melihat ke arah tubuh Bianca yang terlihat sangat mungil tapi memiliki porsi makan yang luar biasa banyak. Menurutku, porsi makan bubur pagi tadi itu sudah banyak tapi ternyata tidak ada apa-apanya dengan Bianca. Belum lagi, gadis itu memesan milk shake Strawberri dengan banyak topping dan juga es buah untuk dessertnya. Melihat bagaimana Bianca makan membuatku kenyang. Mungkin, ini yang membuat orang-orang banyak menyukai channel orang makan. Kugelengkan kepalaku saat dia mengambil sop buntut pedas yang dia pesan setelah menghabiskan ayam sambal matah dan juga spaghetti Aglio Olio yang dia pesan tadi. Aku tersentak saat Alfian mengambil piring berisi steik yang ada di depanku saat aku memperhatikan adiknya. Memotong daging itu menjadi lebih kecil, “Kamu makan juga ...” ujarnya perhatian memberikan piring yang dia ambil itu. Senyumku tak dapat aku tutupi setelah melihat daging steik milikku sudah dipotong kecil sekali suap. Perlakuan kecil seperti ini membuat debaran jantungku tak juga mereda sejak tadi. Alfian kembali memberi kode untukku makan yang kujawab dengan anggukan. Sembari mengernyitkan kening saat melihat Bianca tersenyum penuh arti melihat perlakuan kakaknya kepadaku. “Apa ...” ujarku tanpa suara membuat Bianca tertawa sebelum kemudian kembali memakan makanannya. “Sudah puas jadi mata-matanya kan, Bi ...” kata Alfian memecah keheningan saat Bianca menghabiskan semua makanannya dan meminum milk shakenya. Dia terlihat menelan air liurnya saat mendengar kata-kata kakaknya itu, meletakan gelas miliknya lalu menggeleng, “Siapa yang mata-mata?” elak Bianca dengan wajah memerah. Alfian memicingkan mata, tatapan dinginnya kembali terlihat dan menatap tajam kepada adik bungsunya itu yang kini salah tingkah. Alfian mendesah, mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi, menyilangkan kakinya, lalu menaruh tangannya ke atas paha. “Kamu nggak mungkin tiba-tiba minta ketemuan kayak gini tanpa alasan.” “Nggak kok,” “Ck ...” Hanya dengan decakan yang keluar dari mulut Alfian membuat Bianca bungkam. Dia terlihat memilin blazer mahal miliknya sebelum kemudian mendesah. “Jangan mengelak!” ujar Alfian dengan nada yang menurutku sangat berwibawa sehingga membuat seorang Bianca yang supel tak dapat berkata apa-apa. Aku ikut menelan air liurku yang tiba-tiba pahit saat mendengar nada dingin dan datar yang selalu Alfian perlihatkan, naik satu oktaf. Matanya mendelik, menatap dingin adik bungsunya itu yang hanya menunduk. Kedua tangan Bianca di atas paha, mengenggam erat, seolah menahan ketakutannya “Mama Cuma mau ngelihat bagaimana keadaan Mas sama Mbak Rani, kok ...” ujar gadis itu jujur. Wajahnya terlihat pias tak berani menatap kakak laki-lakinya itu. Aku melihat Alfian mendesah. Terdiam sejenak, menatap ke arahku lalu kembali mengalihkan pandangan ke arah adik bungsunya yang kini memerah menahan tangisnya yang ingin keluar. Aku tersenyum kecut, mengerti mengapa sejak tadi Alfian membiarkan Bianca memesan banyak makanan. Pria itu seolah memberikan Bianca tenaga untuk mendengarkan kemarahannya, “Bilang sama Mama kami baik-baik saja. Kami baru mengenal dan menikah selama sebulan. Tak mungkin tiba-tiba saja bisa mesra seperti pasangan lain yang sudah kenal lama.” Alfian kembali menatapku yang mengangguk membenarkan ucapannya. “Kami sedang dalam tahap mengenal. Bilang itu ke mama,” ujar Alfian lagi membuat wajahku kembali memerah. Debaran jantungku kembali menggila saat mendengar ucapan terakhir Alfian yang seolah tak menolak dengan pernikahan yang terjadi di antara kami. Aku mengalihkan pandangan menatap vertikal garden dari balik dinding kaca restoran ini yang terlihat begitu indah dengan gemericik air yang menenangkan diriku yang seolah kembali terpesona dengan sikap seorang Alfian Abiyaksa. “Sudah makannya?” tanya Alfian kepada Bianca membuatku kembali mengarahkan pandanganku ke arah Bianca yang hanya mengangguk pelan tak berani menatap kakak laki-lakinya seperti tadi. “Ra ... kamu nggak keberatan kan kita antar Bianca dulu?” tanya Alfian menatapku yang mengangguk sebelum kemudian tersenyum. Aku berdiri bersamaan dengan Alfian yang berjalan ke arah kasir untuk membayar makanan kami, melirik ke arah Bianca yang masih terduduk dengan mata yang menatap nanar, mungkin masih terkejut mendengar suara kakak laki-lakinya yang meninggi. Kuulurkan tanganku membuatnya menatap bingung dan mengangkat kepala. Aku hanya tersenyum dan memberi kode ke arahnya untuk menyambut uluran tanganku. “Ayo, sebelum dipanggil Masmu lagi,” ajakku membuatnya menerima uluran tangan tanganku. Aku menggenggam erat tangan Bianca, lalu menatap wajah adik iparnya itu. tangannya yang hangat tadi berubah menjadi dingin. Seolah seberapa tidak sopan dan cerewetnya Bianca, pasti tak akan berkutik jika sudah mendengar Alfian berdecak. “He’s not angry to you ...” bisikku saat kami berjalan mengikuti Alfian. “Tahu kok, Mbak ... Cuma karena Mas Afi jarang memperlihatkan emosi dan tak sukanya, jadi Aku sama Mbak Tari masih belum terbiasa jika Mas Afi sudah meninggikan suara kayak tadi,” ujarnya membuat tanganku bergerak mengalung di bahunya, lalu mengusapnya lembut membuat gadis itu menatapku dengan senyuman manisnya. “Makasih ya, Mbak ...” “Apaan sih, pakai terima kasih segala,” tolakku kemudian membuat wajah muramnya kembali ceria dia kembali tertawa. Terutama saat aku kembali merapikan rambutnya yang berantakan. “Ya terima kasih saja sudah membuat manusia robot menyebalkan itu bisa mengeluarkan emosinya saat bersama, Mbak ...” kekehnya lagi menarik tanganku agar berjalan keluar dari restoran ini. Ucapan Bianca membuatku menatap ke arah Alfian yang kembali menatap datar ke arah kasir. Menarik napasku dalam. Pria itu memang tak pernah menunjukkan ekspresi lain selain tatapan datar dan wajah yang mengeras kepada orang lain. Bahkan kadang, tatapan matanya yang tajam seperti elang yang sedang mencari mangsa itu membuat semua orang takut. Dalam perjalanan menuju rumah orang tua mereka, aku hanya bisa menatap Alfian dan Bianca bergantian. Entah mengapa, pria itu seolah ada yang dia pikirkan. Dia menyetir dengan satu tangan, sedangkan satu tangannya yang lain dia lekukan di jendela mobil dan menekan pelipisnya. Mataku melirik ke arah Bianca yang sedang asyik dengan BBnya. Tersenyum saat melihat gadis itu sudah kembali ceria seolah tak terpengaruh dengan sikap keras kakaknya tadi. Aku melirik ke arah depan, melihat rumah besar dengan gaya Klasik Kolonial yang ada di depan mereka. Halaman rumah itu sangat luas dengan rumput seperti lapangan bola di kanan kirinya yang dibelah dengan jalan mobil dari batu-batu berwarna putih cantik. Pilar-pilar besar yang ada di bagian depan menandakan kegagahan rumah itu, seolah pemilik rumah itu adalah orang yang sangat berwibawa maupun anggun. Alfian menghentikan mobilnya di depan pagar besi yang terbuka sendiri saat Bianca menekan remote otomatis yang dia bawa. Jarak antara pagar dan rumah besar itu sendiri sekitar 100 meter. Membuatku hanya bisa menatap kagum sekaligus bertanya-tanya sekaya apa pria yang kunikahi, sehingga rumah orang tuanya bisa semewah ini. Tapi, kenapa Alfian bekerja mati-matian seperti itu. Bahkan dari Mama, aku mengetahui bahwa Alfian hanyalah seorang staf keuangan di sebuah perusahaan terkenal di Jakarta. Tatapanku kembali mengarah ke arah Alfian yang menghentikan mobilnya tepat di depan pintu masuk, “Mas nggak masuk dulu?” tanya Bianca membuat Alfian mengalihkan pandangan ke arahku. Menatapku sejenak sebelum kemudian menggelengkan kepala. “Entar saja, salam buat mama. Bilang ntar kalau ada waktu kami bakalan mampir,” ujarnya singkat, masih dengan tatapan tanpa ekspresi yang kembali muncul di wajahnya. Bianca menatap ke arah kakak sulungnya ini dengan tatapan yang tak dapat aku artikan, sebelum kemudian berpamitan dengan mencium tanganku dan tangan Alfian bergantian. “Hati-hati di jalan,” ujar Bianca yang kami jawab dengan anggukan. Aku menghela napas saat Alfian menjalankan mobilnya. Kutatap dia yang kembali ke mode hening. Jujur, rasanya ingin bertanya kenapa kami tidak singgah atau setidaknya memberi salam kepada Papa dan Mama Alfian sebelum pergi. Tanganku kembali berpilin memikirkan apa yang sedang Alfian pikirkan sekarang, dan karena itulah yang bisa kulakukan hanyalah diam di sampingnya, ikut memperhatikan jalan yang kini terlihat lengang.  Cahaya Matahari yang tadi bersinar dengan begitu cerah, perlahan meredup pertanda hari sudah semakin sore. Rasanya, siapa yang menyangka bahwa aku bisa menghabiskan waktu seharian dengan pria dingi ini. padahal biasanya, kami bahkan tak pernah menghabiskan waktu lebih dari satu jam setiap harinya. setengah jam sebelum dia pergi dan setengah jam setelah dia pulang. “Aku tak ingin kamu merasa terbebani,” ujar Alfian memecah kesunyian di antara kami, membuatku kembali melirik ke arahnya yang masih fokus ke jalan di depannya. “Eh ...” Keningku mengerut tak mengerti dengan maksud perkataan Alfian yang terlalu tiba-tiba. Aku dapat mendengar suara tarikan napas berat yang Alfian lakukan, “Aku tahu kau perlu mempersiapkan diri untuk bertemu dengan kedua orang tuaku terutama Mama,” katanya lagi masih dengan nada datar. Alfian memang penuh kejutan. Dia kira pria itu menghindari mamanya karena perasaan kecewanya akan pernikahan ini, tapi ternyata pria itu memikirkan perasaanku. Benar. Aku memang membutuhkan waktu untuk mempersiapkan diri untuk menemui kedua orang tua Alfian yang tak lain adalah mertuaku sendiri. Terakhir kali, aku menemui beliau adalah saat Mama Ambar dipulangkan dari rumah sakit untuk rawat jalan di rumah. “Aku nggak apa-apa,” ujarku membuat Alfian menoleh ke arahku. Sejenak, terlihat dia kaget mendengar ucapanku, “sebulan sudah cukup waktuku untuk mempersiapkan diri untuk bertemu beliau. Rasanya, aku tak sopan belum menjenguk dan menyapa Mama Ambar sejak beliau pulang dari rumah sakit.” “Aku tidak ingin kau merasa terpaksa.” Senyumku kembali terulas saat mendengar bagaimana Alfian kembali mengeluarkan nada khawatirnya untukku. Kepalaku menggeleng, lalu menatapnya dengan binar, “Aku tahu kau berpikir bahwa Pernikahan yang kita jalani tak terelakkan. Tapi ... aku tak pernah merasakan keterpaksaan untuk menjalani itu. Mama Ambar tak memaksaku untuk menikah denganmu saat itu, melainkan beliau bertanya denganku untuk itu. dan aku menyetujuinya ...” Aku kembali terdiam, lalu menelan air liurku memikirkan alasan kenapa aku menyetujui pernikahan ini, sebelum kemudian kembali menatap Alfian. “Melihat bagaimana rasa sayang yang kau perlihatkan kepada Mama Ambar dan juga ketakutanmu kehilangan beliau membuatku merasa kau bisa menjadi suami yang baik untukku nantinya.” “Ra ..” “Fi ....” aku menghentikan ucapan Alfian. “Selama sebulan kita tinggal dalam atap yang sama. Aku memperhatikanmu, selama itu aku tahu bahwa kau suka keteraturan. Kau suka menjalani semua hal berdasarkan urutan yang benar dan kamu merasa urutan yang terjadi di antara kita sudah salah. Tapi Fi ...” Aku menarik napas dalam, mencoba untuk mengisi paru-paruku sekaligus menenangkan diri sebelum kemudian menatap ke arah iris mata Abu milik Alfian yang menatapnya, “... walaupun urutan hubungan kita tertukar, selama kita sama-sama menerima hal itu tak akan ada masalah yang akan terjadi kan?” Alfian menurunkan kecepatan mobilnya, kemudian menghentikannya di pinggir jalan. Dia memiringkan posisi duduknya agar bisa melihatku dengan seksama. “Kamu nggak mau kita bersama-sama mencoba hubungan ini, jika memang kita merasa hubungan ini tak akan berhasil, kita bisa memikirkan lagi ... Pernikahan ini,” kataku lagi membuatnya terdiam. Tatapan dingin yang biasa dia berikan berubah menjadi nanar. Dia menatapku dengan tatapan kesedihan dan penuh penyesalan seolah merasa bahwa aku merasa terjebak dalam pernikahan ini. Mungkin iya, aku memang terjebak dalam pernikahan ini. Tapi, bukankah sebelumnya aku diberi pilihan untuk masuk atau melarikan diri. Dan, aku memilik masuk dan membuatku terjebak bersama pria dingin tampan yang entah mengapa sejak pertama kali bertemu sudah membuat debaran aneh yang tak kumengerti itu muncul. “Fi ...” panggilku sembari menunggu respons pria itu yang masih terdiam, “Alfian ...” “Ehm ...” Aku tersenyum saat dia merespons ucapanku saat memanggilnya sekali lagi. Untuk pertama kalinya, aku merasa seorang Maharani Varisha ‘Gila’ karena berani untuk mengambil satu langkah lebih cepat dari pria yang berstatus suaminya ini. Tapi, jika aku tak mengambil langkah ini, hubungan yang terjadi di antara kami akan terus stuck dan tak berkembang sama sekali. Ucapan Bianca tadi membuatku tersadar, bahwa aku tak bisa menunggu pria ini untuk mengulurkan tangan. Melainkan aku yang harus menggenggam tangan Alfian untuk keluar dari kesendirian yang dia rasakan selama ini. “Aku hanya ingin kau juga mencobanya, seperti kataku yang sudah-sudah. Aku tak akan pergi kecuali kau yang memintaku untuk pergi.” Alfian terlihat gamang mendengar ucapanku. Kami kembali terjebak dalam suasana hening yang masih tidak familiar untukku. Tanganku kembali berpilin menunggu ucapannya, sebelum kemudian aku menghembuskan napas lega saat merasa gerakan yang Alfian lakukan seolah slow motion. Bagaimana pria itu mengangkat kepala, menatapnya dengan iris mata Abu cantik miliknya, sebelum kemudian mengangguk dan tersenyum super tipis yang dia perlihatkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD