BAB 20.

1063 Words
Van bergerak dengan langkah hati-hati melalui lorong-lorong gelap di dalam mansion. Matanya memperhatikan setiap sudut, waspada terhadap setiap kemungkinan bahaya. Dia tahu bahwa waktu adalah kunci, dan dia harus segera menemukan keberadaan sahabatnya, Alex. "Ingat, kalian harus berhati-hati. Jaga Nona Mia dengan ketat, jangan biarkan siapapun mendekatinya kecuali Ambar dan Amira yang bertugas menjaganya. Pastikan keamanannya terjaga," perintah van kepada beberapa pria bertubuh kekar yang mengenakan setelan jas rapi dan menggunakan kaca mata hitam. "Baik, Tuan Van," jawab salah satu dari mereka. "Dan Ambar, kamu dan Amira jangan pernah lalai dalam menjaga Nona sampai Tuan Alex kembali ke mansion ini," tambah van dengan tegas, memastikan bahwa instruksinya dipahami dengan jelas oleh semua orang yang ada di sekitar. "Baiklah, aku akan kembali mencari keberadaan Tuan Alex," ucap Van, segera meninggalkan ruangan stelah memberi perintah kepada mereka. Dia tahu bahwa waktu terus berjalan dan setiap detik sangat berarti dalam upaya mereka untuk menyelamatkan Alex dan mengungkap kebenaran di balik semua ini. Sementara itu, Alpha dan pria tua itu masih berada di ruangan tempat Alex terbaring. "Pria berengsek ini sudah kehilangan banyak darah, Tuan," ucap Alpha, ekspresinya datar tanpa ada rasa kekhawatiran sedikitpun melainkan ekspresi benci yang mendalam. "Apakah kamu bisa menolongnya?" tanya pria tua itu, matanya memandang Alpha. "Aku pernah menolong kucing yang tertabrak, tapi aku belum pernah menolong pria berengsek yang sekarat," ucap Alpha dengan nada sinis. "Jadi, apakah kucing itu selamat?" "Oh, tentu saja..." jawab alpha dengan ragu. "Jadi kucing itu selamat?" goda pria tua itu dengan ekspresi wajah serius. "Tidak, kucing itu mati sebelum kuobati," jawab Alpha santai, membuat pria tua itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Di kamar Alex, Mia mulai mendapatkan kesadarannya kembali. Dia memandang sekeliling dengan bingung, mencoba mengingat apa yang terjadi. Ketika ingatannya kembali, rasa ketidakpastian dan kebingungannya semakin bertambah. "Dasar pria b******k, sudah mati saja kamu masih mengurungku!" teriak Mia, kekesalannya terdengar jelas. Ambar dan Amira yang mendengar suara Mia langsung berlari menuju kamar Alex. "Nona, Anda sudah sadar?" tanya Ambar dengan cemas. "Nona, apakah Anda baik-baik saja?" tanya Amira mendekati Mia, wajahnya penuh kekhawatiran. "Jangan mendekatiku! Kalian sama saja dengan tuan kalian yang b******k itu!" teriak Mia, wajahnya memancarkan kemarahan. "Nona, apa maksud Anda?" tanya Ambar dengan rasa bingung, tidak mengerti akan kemarahan Mia. "Ini demi keselamatan Anda, nona," ucap Amira dengan lembut, berusaha menjelaskan. "Keselamatanku? Itu hanya omong kosong. Dengan berada di sini, keselamataku sudah tidak terjamin karena tuan kalian lah yang telah merampas segalanya yang kumiliki!" teriak Mia, meluapkan emosinya dengan penuh kebencian dan keputusasaan. Ambar dan Amira yang mendengar ucapan Mia merasa iba. Mereka tahu betul bahwa tidak ada salah dari Mia jika ia ingin kabur dari mansion itu. Mia datang ke mansion ini karena diculik, bukan karena sukarela. Meskipun mereka merasa iba dan sedih melihat penderitaan Mia, namun mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak tahu masalah apa yang terjadi di antara tuannya. Ambar dan Amira hanya mendengar sedikit cerita dari beberapa bodyguard yang menjaga mansion itu. Mereka merasa terjebak dalam situasi yang rumit dan tak dapat dihindari. Namun, di tengah ketidakpastian dan kebingungannya, mereka berdua tahu bahwa mereka harus tetap waspada dan menjalankan tugas mereka dengan sebaik mungkin demi keselamatan Mia. "Nona, saya mohon Anda tenanglah," ucap Ambar dengan penuh kepedulian. "Aku tidak bisa tenang, Ambar. Aku hanya bisa tenang kalau aku bisa pergi dari tempat ini," jawab Mia dengan suara penuh keputusasaan. "Tapi, nona, di luar sana sangat berbahaya," ucap Amira, mencoba memberikan pengertian. "Tapi aku tidak mau berada di sini, Amira. Pria b******k itu juga sudah mati, jadi untuk apa Van masih mengurungku di mansion ini?" ucap Mia frustasi. Ambar dan Amira juga tidak bisa menjawab pertanyaan Mia karena mereka juga tidak tahu apa-apa. Mereka merasa terbatas oleh keterbatasan informasi yang mereka miliki, namun tetap berusaha melakukan yang terbaik untuk menjaga keselamatan Mia. "Apakah Tuan punya pisau?" tanya Alpha, matanya penuh dengan tekad. "Pisau? Untuk apa kau menanyakan pisau? Apa kamu ingin membunuh Alex?" tanya pria tua itu menyelidik dengan tajam. "Hah... dasar pria tua kolot. Tanpa perlu kubunuh, pria b******k ini juga akan mati kehabisan darah," ucap Alpha, matanya terfokus pada Alex yang sekarat. "Lalu untuk apa kamu menanyakan pisau padaku?" tanya pria itu dengan kebingungan. "Tentu saja, untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di badan pria b******k ini. Bukankah kamu bilang aku harus menjadi pahlawan baginya?" ucap Alpha dengan tegas. Pria tua itu mengangguk paham dan dengan hati-hati mengeluarkan sebuah pisau kecil dari balik tongkat yang ia gunakan untuk menopang tubuhnya. "Jadi kamu kemana-mana selalu membawa senjata?" tanya Alpha, matanya penuh dengan penasaran. "Tentu, itu untuk berjaga-jaga," jawab pria tua itu dengan tegas. "Tuan adalah orang kaya yang memiliki banyak pengawal, masih takut jika ada serangan? Bukankah para pengawalmu itu siap pasang badan untukmu?" ucap Alpha dengan sedikit skeptis. "Alpha, kamu masih bocah. Jadi kamu belum tahu masalah apa yang akan dihadapi orang sepertiku," kata pria tua itu dengan serius. "Jangan panggil aku bocah!" ucap Alpha dengan nada tegas dan penuh keberanian. Dia ingin diperlakukan dengan serius, tanpa dipandang sebelah mata karena usianya yang masih muda. "Baiklah, sudah jangan banyak omong. Cepat keluarkan peluru itu," perintah pria tua itu dengan tegas. "Aku tahu, tidak perlu kamu beritahu. Dan tolong, kau diam saja, Tuan," balas Alpha dengan tegas, menunjukkan bahwa dia tahu apa yang harus dilakukan dan tidak ingin diganggu selama proses tersebut. "Tuan Van!" teriak salah seorang anak buah Van. "Ada apa, Mark?" sahut Van. "Tuan, lihat ini," tunjuk Mark ke arah sebuah kain yang tergantung di ranting yang berada di dasar jurang. "Ini adalah jas yang dikenakan Tuan Alex," ucap pengawal Alex yang selamat. "Cepat, cari! Aku yakin Alex pasti berada di sekitar sini," ucap Van dengan tekad. "Baik, Tuan!" sahut mereka serempak, segera bergerak untuk mencari jejak Alex di sekitar area tersebut. Kehadiran jas tersebut memberikan sedikit harapan bahwa mereka berada di jalur yang benar untuk menemukan Alex. Hari sudah menjelang malam, dalam kegelapan yang menyelimuti hutan, Van dan anak buahnya terus menyisir jurang dengan hati-hati. Langkah-langkah mereka yang hati-hati bergema di antara pepohonan yang rimbun. Mereka tetap waspada terhadap setiap kemungkinan bahaya yang mungkin mengancam mereka. Setiap detik sangat berarti dalam upaya mereka untuk menemukan keberadaan sahabat mereka, Alex, yang menjadi tawanan musuh yang tak terlihat. Dengan tekad yang membara, mereka tidak akan berhenti sebelum mencapai tujuannya. Kehadiran jas Alex yang tergantung di ranting hanyalah bukti bahwa mereka berada di jalur yang benar. Mereka harus bertindak cepat dan cerdas untuk bisa menyelamatkan Alex sebelum terlambat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD