Di sebuah kafe sederhana, Mia Seraphina Natalia atau sering disapa Mia bekerja sebagai pelayan. Ia memiliki wajah cantik dengan kulit berwarna kuning langsat, namun di sebelah kiri telinganya, ia memiliki tanda tuli akibat kecelakaan masa kecilnya. Suatu hari, takdir membawa Mia bertemu dengan seorang pria tampan bernama Alex. Alex adalah seorang pria tinggi dan tampan, dengan kulit putih yang terlihat mulus. Namun, dibalik penampilannya yang memikat, terdapat aura ketegangan yang menunjukkan bahwa Alex bukanlah orang biasa.
"Dua kopi klasik, seperti biasa.saa" ucap salah satu pria tersebut kepada Mia. Mia memperhatikan dengan hati-hati saat Van memesan kopi. Wajah Van, yang terlihat dingin dan tanpa ekspresi, terasa seperti batu karang yang sulit ditembus.
Mia memegang dengan hati-hati nampan berisi dua cangkir kopi panas. Langkahnya hati-hati, menghindari setiap sudut meja yang terasa licin dari remah-remah gula. Namun, takdir memutuskan untuk bermain-main. Sesaat sebelum Mia mencapai meja Alex, seorang pelanggan lain nyelonong di antara dua kursi, membuat langkahnya terhenti sejenak. Tubuh Mia sedikit terhuyung, dan dia cangkir kopi itu tergelincir dari nampannya.
Waktu berjalan seperti melambat. Kopi panas terbang menuju ke arah Alex. Suara decitan kopi menembus keramaian kafe seakan menjadi seruan malapetaka. Alex tidak punya waktu untuk menghindar. Cairan hitam itu mendarat dengan kasar di pakaian putihnya. Mia dan Alex, dua orang asing yang takdir membawanya bersama, tanpa sengaja bertemu di kafe ini. Namun, pertemuan ini membawa nasib buruk bagi Mia. Dalam kecerobohan, Mia menumpahkan kopi ke pria yang ternyata adalah Alexander Nathaniel Anderson atau sering dipanggil dengan alex, seorang sosok yang kejam dan dikenal sebagai bos mafia terkenal di kota A.
Dengan suara menggelegar Alex berteriak kepada Mia "Apa yang kau lakukan, wanita bodoh?!"
Raut wajahnya bergejolak, memancarkan kemarahan yang menyala-nyala. Cahaya tajam di matanya seolah-olah bisa menusuk hati Mia.
Mia tergagap "Ma-Maafkan saya, saya benar-benar tidak bermaksud…"
Tubuh Mia beku. Bibirnya terkatup rapat. Tangannya gemetar, menahan nampan kosong yang sekarang tampak lebih berat dari biasanya. Dia berusaha berbicara, tetapi suaranya tidak keluar. Hanya helaan nafas panik yang terdengar di telinganya sendiri. Di sudut ruangan, Van, tangan kanan Alex, melihat insiden itu dengan tenang. Ekspresi wajahnya tidak berubah, namun mata tajamnya terfokus pada Alex, menunggu perintah selanjutnya.
"Van, bersihkan tempat ini sekarang!" perintah alex.
"Baik, Alex."
Van mengangguk tunduk dan mulai bergerak menuju pintu masuk. Langkahnya ringan namun pasti, dan pelanggan lain memberi jalan saat ia melintasi ruangan. Kehadirannya saja sudah cukup untuk menyingkirkan mereka dari jalan.
"Saya... Saya akan membersihkan semuanya…" ucap Mia dengan gemetar.
Pandangan Alex kembali tertuju pada Mia, mengunci matanya dengan tajam. Ruangan terasa begitu hening, hanya terdengar helaan napas Mia yang terengah-engah. Ketika Van tiba di depan pintu masuk, ia memandang ke belakang, memastikan bahwa kafe sudah kosong dari pengunjung. Dengan gerakan tegas, ia menarik pintu masuk, menghasilkan derap ringan yang mengisyaratkan bahwa dunia di luar sana sekarang ditinggalkan. Van melakukannya tanpa ragu, menunjukkan bahwa Alex memiliki pengaruh besar di kota ini.
Alex, tak terima dengan perlakuan Mia, mengambil langkah drastis. Dengan tenang, ia mengeluarkan sebilah katana dari balik jaketnya. Ketika pedang itu berkilau di sinar lampu, Mia merasa hatinya berdebar keras. Tanpa kata-kata, Alex mengancam Mia dengan senjatanya.
Mia mencoba untuk berbicara, untuk meminta maaf, untuk memohon belas kasihan. Namun, suaranya terdengar seperti bisikan lemah yang hilang dalam keheningan kafe. Seperti seorang pahlawan yang kehilangan kemampuannya untuk berbicara, semua upayanya sia-sia.
Alex memandangnya dengan tatapan tajam, menikmati ketakutan yang terpancar dari mata Mia. Setelah cukup menakut-nakuti Mia, ia tersenyum puas. Senyum itu, bagai serigala yang menikmati ketakutan mangsanya.
Sementara itu, Mia sudah sangat ketakutan. Tubuhnya gemetar, dan otot-ototnya terasa lemah. Namun, dalam keputusasaannya, ia meneguhkan diri. Dengan getar di tiap langkahnya, Mia berusaha untuk berdiri. Tanpa berpikir panjang, ia berusaha berlari menuju pintu belakang kafe.
Melihat Mia berusaha melarikan diri, Alex segera bereaksi. Dengan kecepatan yang mengagetkan, ia menahan tangan Mia dengan cengkraman kuat. Kedua mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Mia bisa melihat kilat kejam di mata Alex.
Alex tidak ragu. Dengan gerakan yang gesit, ia mengarahkan katana menuju leher Mia. Namun, Mia adalah seorang pejuang, dan nalurinya berbicara. Dalam gerakan cepat, Mia menghindari serangan mematikan itu. Dengan gigi terkatup kuat, ia menggigit tangan Alex dengan sekali gigitan.
Rasa sakit yang menusuk membuat Alex melepaskan cengkeramannya. Mia tidak membuang waktu. Dengan semua kekuatan yang tersisa, ia memisahkan diri dan berlari melalui pintu belakang yang terbuka. Tidak peduli betapa cepatnya langkah Alex, Mia berhasil melarikan diri dari cafe yang sekarang penuh dengan aura kematian.
Di baliknya, suara langkah kaki Alex menghilang dalam jarak. Mia berlari sekuat tenaga, takut akan apa yang bisa terjadi jika dia tertangkap. Di kejauhan, gemuruh langit mulai memperingatkan tentang badai yang akan segera datang. Keheningan kafe yang dulu tenang sekarang hanya tinggal kenangan, digantikan oleh rasa takut dan getaran yang menggema dalam d**a Mia.
Tiba di lorong gelap yang dipenuhi dengan jeritan angin, Mia merasa nafasnya sesak. Dia terus berlari, mata terus memandang ke depan, mencari tempat perlindungan. Pikirannya berkecamuk, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Wajah tampan Alex terpanggil kembali, bersama dengan kilatan dingin di matanya.
Dia tiba-tiba berhenti di persimpangan lorong, terengah-engah dan memutar otak untuk mencari jalan keluar. Dalam kegelapan, sebuah pintu kecil terlihat di ujung lorong. Mia bergegas menuju pintu itu dan dengan isakan lega, menemukannya tidak terkunci. Dengan cepat, ia menyelinap masuk dan menutup pintunya dengan hati-hati.
Mia berada di dalam ruangan kecil yang lembab. Cahaya redup dari jendela kecil di sudut mengungkapkan sekelilingnya. Di sudut ruangan, terdapat meja kayu tua dengan kursi yang sebagian rusak. Mia merasakan denyut nadi di lehernya, tubuhnya masih gemetar oleh adrenalin.
Sambil mencoba menenangkan diri, Mia memeriksa sekitarnya. Ruangan ini jelas sudah terbengkalai selama bertahun-tahun. Debu dan kotoran menutupi hampir setiap permukaan. Di dinding, tergantung gambar-gambar tua yang pudar, mungkin saksi bisu dari masa lalu ruangan ini.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah berat di lorong di luar. Mia menahan napas, hatinya berdegup kencang. Dia bersembunyi di balik pintu, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara apa pun. Langkah-langkah itu semakin mendekat, menusuk telinga Mia dengan kekuatan yang menakutkan.
Pintu itu terbuka dengan keras, dan Mia hampir saja mengeluarkan teriakan. Namun, dia berhasil menahannya tepat waktu. Di ambang pintu berdiri seorang pria berwajah gelap dengan tatapan tajam, Van, sahabat dan tangan kanan Alex.
"Mia," gumamnya dengan suara yang dingin, mencari-cari jejak wanita itu. Tubuh Mia terasa membeku. Dia berdoa dalam hati agar Van tidak menemukannya. Namun, apakah dia akan berani berbicara atau berusaha kabur jika situasinya memaksa?
"Jangan khawatir, saya akan memastikan Anda aman."