SIENA 5

1539 Words
Siena, Semesta sedang bercanda katanya. Pantas aja lo dateng dan ngomong cinta. _Siena_ Aksa dan Saka baru saja tiba di depan rumah mereka. Keduanya langsung memasuki rumah tanpa banyak kata. Lagi pula, ini karena Aksa kesal dengan Saka, karena Saka dirinya tidak bisa mengantarkan Siena pulang. Sedangkan, Saka kesal karena Aksa, dirinya harus keluar rumah malam-malam hanya demi menjemput seorang Aksa. Langkah keduanya terhenti saat Adi, sang papa, berdiri tidak jauh dari mereka. Pria itu bersidekap menatap kedua putranya dengan tajam. “Keloyongan terus!” marah Adi kepada putranya. Saka mendengus, dia memilih pergi dari sana karena ini bukan urusannya. Adi dan Aksa menatap kepergian Saka, kemudian kedua mata mereka bertemu pandang. “Sampai kapan kamu kaya gini? Kamu bisa nggak sih nurut kaya Kirana, Aska, Akas, ataupun Saka?” Aksa mengepalkan tangannya. “Aksa bukan mereka.” “Papa sampe pusing mikirin kamu!” “Nggak usah pikirin Aksa kaya Papa nggak pikirin mereka,” jawab Aksa. Adi geram menatap putra keempatnya. “Daripada jagain cewek barbar itu mending jagain adik kamu!” “Kirana punya Papa, punya mama, punya Akas, punya Saka.” “Kamu pikir dia nggak punya keluarga?!” bentak Adi. Pria itu benar-benar geram dengan semua ucapan Aksa. Aksa tidak kalah geram, anak itu benar-benar tidak habis pikir dengan ucapan papanya. “Papa nggak tahu apa pun. Aksa mau istirahat,” kata Aksa memilih menyerah. Dia melangkah menaiki tangga mengabaikan papanya yang terus memanggil namanya. _Siena_ Siena mendengus malas saat ada yang sengaja menghalangi langkahnya. Siena juga berdecak saat laki-laki itu mengikuti gerakannya. Tidak tahukah dia kalau Siena sedang dalam mode siaga? Siena masih berusaha tidak bersuara dan menanggapi laki-laki itu dengan serius. Dia melangkah ke kiri untuk menghindar, namun laki-laki di depannya mengikutinya. Siena berdecak malas. Dia sudah mendongak siap memaki. “b*****t lo, minggir!” Pemuda itu tersenyum, tapi Siena tidak peduli. Tidak terpesona sedikit pun dengan senyumnya. “Minggir, bang–” “Gue Saka bukan bangsa*t,” potong Saka. Iya, laki-laki yang menghalangi jalan Siena adalah Saka. Laki-laki yang semalam ditemui Siena di markas Remon, laki-laki yang menyuruh Aksa pulang. Laki-laki yang berdebat hebat dengan Aksa semalam. “Gue nggak peduli lo siapa!” Saka tersenyum. “Gue juga nggak peduli lo siapa. Yang gue peduli itu ... lo jauhin Aksa.” Sialan! Senyum Saka memang manis, namun manis itu tidak menular di lidahnya. Lidahnya begitu tajam dengan nada bicara yang sama sekali tidak mengerikan. Siena menggulung lengan kemejanya hingga siku. Saka yang menatapnya hanya menaikkan alis bingung. “Lo suruh gue jauhin Aksa?” tanya Siena masih dengan menali ujung kemejanya. Saka tersenyum manis. “Iya, lo terlalu barbar buat jadi adik ipar gue.” Siena geram. Dia berdiri tegak setelah selesai menyiapkan diri. “Lo pikir gue mau sama Aksa?” Tawa Saka meledak mendengar pertanyaan Siena. Memangnya apa arti kedekatan keduanya kalau bukan berarti mau dengan Aksa? Dipikir Saka sebodoh itu sampai tidak tahu kebohongan Siena saat menanyakan itu? “Oh, ya tentu,” kata Saka sombong. “Secara adik gue tuh ganteng, naiknya motor atau mobil keren pula.” “Gue nggak matre!” Siena berkata penuh penekanan. “Oh ya?” Saka pura-pura terkejut. Siena mengepalkan tangannya erat. “Gue nggak mikir gitu sih. Lo selalu nebeng Aksa. Lo ...” Saka menatap Siena lekat. “... manfaatin Aksa buat jadi orang yang wakilin lo saat dipanggil dekan, iyakan?” Siena semakin geram. Tidak hanya tangannya yang mengepal, tapi rahangnya ikut mengeras. Urat lehernya mulai tercetak jelas di kulit putih Siena. “Emang cewek semuanya sama. Mat–” Bugh. Satu pukulan tepat di dagu bawah Saka berhasil Siena layangkan. Siena tersenyum puas menatap Saka yang bungkam dan meringis ngilu. Mungkin Saka tidak menyangka pukulan seorang perempuan bisa semenyakitkan itu. Rasakan! “Sakit?” tanya Siena. Saka melirik Siena sinis masih dengan ringisan. “Makanya punya mulut tuh dijaga. Senyum manis, tapi lidah lo kaya pisau daging, tajem banget!” Siena menyugar rambutnya sambil tersenyum menatap Saka. “Anggap itu perkenalan dari gue, Siena, dengan lo, si Bangsa*t Saka.” _Siena_ Aksa tertawa puas mendengar cerita Siena. Pemuda itu sampai mengacungkan dua jempolnya guna memberi Siena penilaian. Aksa senang mendengar Siena memberi Saka pelajaran. Biar saja Saka tahu kalau Siena lebih dari barbar dan lebih pantas dijaga. Dijaga bukan dalam artian lemah, namun dijaga dalam artian takut seenaknya. “Biar mampus dia!” seru Aksa. Kini mereka sedang duduk manis di kantin untuk menunggu jam berikutnya. Siena yang memesan bakso pun mulai menyuapkan satu-persatu baksonya ke mulut. “Ngeselin, sih. Sok-sok’an mau pisahin gue sama lo!” Aksa manggut-manggut. "Bener. Kita ‘kan selamanya bersama!" "Njir, lo mau nggak nikah seumur hidup apa?!" seru Siena membuat Aksa kembali tertawa. Siena berhenti tertawa, dia memainkan garpunya dengan mulut terus mengunyah dan memikirkan sesuatu. Setelah menelan baksonya, dia menatap Aksa dengan sorot tajam. "Dia abang lo, dong? Abang ... Aska juga?" tanya Siena dengan nada lirih ketika menyebut nama Aska. Aksa mengangguk. "Hm ... setahu gue dia nggak senyebelin itu. Nggak suka urusin orang lain. Tapi ... nggak tahu deh kena setan apa dia. Kalau gini caranya mah gue lebih suka Akas!" Siena tertawa, tawa paksa demi menghilangkan bayangan si dia. "Lagian lo dulu sering muji Saka yang ke Prancis!" "Karena gue jauh sama dia, makanya gue suka sama dia. Dia nggak campurin hidup gue kaya papa sama Akas. Ya, walaupun Akas cuma dikit banget sih, lebih banyak cueknya." "Pantes, ya, Saka putih," komentar Siena. Aksa berdecak, tangannya menjitak kepala Siena ringan. "Malah bablas sampe mana lo ngomongin dia?!" "Sorry. Abis tiba-tiba terlintas gitu." "Heleh," ejek Aksa membuat Siena kembali tertawa. Kali ini tawa tulus yang Siena berikan. _Siena_ Siena menatap halte bus yang begitu ramai. Dia malas jika harus berdesakan di antara orang-orang itu. Namun, lagi-lagi karena Aksa dia jadi seperti sekarang. Terpaksa pulang dengan naik bus atau ojek selama masa penyitaan kendaraan milik Aksa. Gadis bersurai abu itu menaruh kedua tangannya di pinggang, berdiri sambil mengamati belasan orang di depan sana. "Mending naik ojeklah!" serunya sambil mengeluarkan ponsel. Dia mulai mencari ojek online untuk dinaikinya. Ya, itu sebelum dia melihat sekelebat bayangan hitam di dekat gerbang kampus. Karena sekarang, dia membatalkan niatnya untuk pulang. Dia lebih memilih kembali memasuki kampus demi menemukan siapa orang mencurigakan itu. Siena berlari cukup kencang. Tanpa rasa malu dia melompati beberapa hiasan taman bahkan sampai terguling. Siena tetap lari menyusuri jalan yang kebetulan hanya satu-satunya jalan dari tempat bayangan tadi menghilang. Langkah Siena sengaja memelan saat hampir tiba di belokan. Siena tahu, di depan belokan itu adalah jalan buntu yang mengarah ke parkiran tukang kebun. Jadi, tidak mungkin orang itu akan lari jauh dari sana. Lagi pula, di depan parkiran itu adalah ruangan khusus yang amat sangat rahasia, bahkan Siena pun tidak tahu apa isinya. Sayup-sayup terdengar orang bercakap, Siena langsung memasang sikap waspada. Semakin dekat Siena dengan belokan, obrolan mereka semakin terdengar pula. "Curi aja lewat sini, Den." "Beneran aman, Mang? CCTV gimana?" "Aman, udah saya matiin." Setelah itu terdengar suara langkah, dengan cepat Siena bersembunyi di balik semak. Terlihat mang Jajang yang biasanya menyapu di dekat kantin dan membersihkan kamar mandi itu berjalan dengan tergesa. Otak Siena bekerja cepat, dia langsung paham kalau mang Jajang bekerja sama dengan seseorang untuk mengambil berkas penting. Setelah memastikan mang Jajang jauh, Siena keluar dari semak-semak. Kakinya melangkah pelan memastikan siapa yang tadi berbicara dengan mang Jajang. Siena berhenti berjalan saat menangkap sosok itu sedang berusaha memanjat dinding untuk masuk melalui jendela. Tanpa pikir panjang Siena berteriak menegur orang itu. "Siapa lo?!" Orang itu menatap Siena terkejut bahkan sampai terpeleset dan akhirnya jatuh. "Mau nyuri lo?" tanya Siena lagi. Laki-laki itu berdiri menatap Siena marah. "Nggak usah sok pahlawan! Lo mending pergi!" “Dih!” Siena langsung mengambil ponsel di saku celananya. Menekan nomor Aksa guna mencari bala bantuan. Dengan cepat, laki-laki itu berlari menuju arah Siena yang asik bertelepon ria. Bahunya saling bersentuhan saat laki-laki itu mengimpit dirinya. Siena mengumpat. Kepalanya segera mendongak menatap laki-laki itu dengan tangan masih memegang ponsel. “Mau lo apa, Saka?!” Saka diam, melirik tangan Siena yang masih setia menempelkan ponselnya di telinga. Siena deg-degan sendiri, apalagi deru napas Saka menerpa halus kulit wajahnya. “Nggak usah cari bantuan.” Saka meraih ponsel Siena. Tangannya mematikan panggilan itu dengan lancang. “Gue cuma mau cari berkas tentang lo.” “Buat apa? Jangan bilang lo penggemar gue?!” ejek Siena. Saka mendengus. Wajahnya menatap sengit pada gadis yang hanya setinggi dagunya itu. “Buat cari tahu semengenaskan apa hidup lo, sampai-sampai harus Aksa yang nemenin lo menghadap kesiswaan atau dekan.” Geram, Siena mendorong tubuh Saka dengan keras. Hidupnya tidak perlu diketahui oleh Saka. Siena tidak suka jika ada yang tahu seberapa mengenaskannya hidup Siena. Gadis itu memilih segera merebut ponselnya dan pergi meninggalkan Saka. "Lepas!" Namun, orang yang mencekal tangannya tidak juga melepas cekalannya. Saka pastinya masih penasaran dengan apa yang terjadi dengan hidup gadis di depannya. “Jauhin Aksa,” ucap Saka. “Enggak akan, gue butuh dia!” “Kenapa? Lo bisa jari inang baru, yang lebih daripada Aksa.” “Tapi nggak akan ada yang sebaik dan semengerti Aksa. Dia sahabat gue, bukan inang.....” Siena mengucapkan itu dengan nada lirihnya. Tentu saja berhasil membuat Saka mematung mendengarnya. _Siena_
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD