SIENA 4

1682 Words
Siena, Nggak usah jadi sok paling bener! Lo nggak ngerti apapun tentang alasan seseorang ngelakuin sesuatu. _Siena_ Siena meneguk dua pil itu bersamaan dengan air meneral yang Aksa berikan. Dia juga meringis ngilu ketika luka di pipinya tertekan kain berisi es batu yang Aksa pegang. Meski pipinya dingin karena es, namun d**a Siena rasanya begitu panas. Dia kembali terlihat berang menatap Fahrul yang sedang diintrogasi. Fahrul tetap membisu meski badannya penuh luka lebam dan juga darah di sudut bibirnya. Dia terlalu setia kepada Syahrul sepertinya. Aksa yang sedang mengompres luka Siena pun memilih diam karena takut kejadian tadi terulang lagi. Bersyukurlah Aksa karena Siena bisa kembali mengatur diri dengan cepat. “Dia nggak mau ngaku dari tadi.” Salah seorang anak Remon mendekati Aksa dan Siena. Siena dan Aksa mendongak bersama. “Kafka ke mana?” tanya Siena. Laki-laki berambut cepak itu menggeleng. “Nggak ngerti gue. Kalau nunggu si bos lama deh.” Aksa sudah membuka bibirnya hendak berbicara. Namun, Siena tetap lebih cepat bergerak. Bahkan tanpa berkata Siena telah melangkah menuju Fahrul. “Kenapa kepala lo sekeras batu?” tanya Siena dingin. Fahrul tersenyum remeh. Laki-laki dengan tubuh terikat erat di kursi itu masih begitu berani menghadapi mereka. “Karena kalian nggak pantes buat diladenin.” “Wow!” Siena bertepuk tangan. Wajahnya dibuat seterkejut mungkin dengan senyum miring. “Jadi lo pikir Syahrul maha benar?” “Cuma dia yang pantes lo ladenin? Lo anak buah apa babu?” Kursi Fahrul bergerak sedikit-sedikit hingga menimbulkan suara gaduh. Siena melebarkan senyum mengetahui Fahrul terpancing emosi. “Lo pikir kita mau ladenin lo dan Syahrul? Lo itu lebih nggak pantes. Inget siapa yang cari masalah duluan?” “Mulut lo dijaga! Lo cewek apaan sampai ikut campur urusan cowok?!” Siena mendatarkan wajahnya. Dia sudah siap melayangkan satu pukulan, namun tertahan oleh Aksa yang kini berada di belakangnya. “Kekerasan nggak selalu menyelesaikan masalah.” Aksa melangkah melewati Siena. Aksa tersenyum sambil mengambil kursi terdekat agar bisa sejajar dengan Fahrul. “Syahrul kemarin bonyok karena dia.” Aksa menunjuk Siena dengan dagunya. “Lo tahu 'kan Srikandi-nya Remon? Kenapa lo milih bisu padahal lo bisa aja lebih parah dari Syahrul?” Fahrul masih menatap Siena tajam. Gadis itu berdiri tempat di samping Aksa. Mata keduanya beradu sengit, sampai akhirnya Fahrul mengalihkan tatap kepada Aksa. “Bos pengen kalian hancur. Terutama dia!” kata Fahrul berteriak dan menatap Siena saat berkata ‘dia’. Aksa tersenyum tipis. Siena semakin mendatarkan wajahnya. Siena mendekati Fahrul kembali dan kali ini Aksa tidak mencegahnya. Siena menjepit dagu Fahrul dengan tangannya. Tatapannya menghunus tepat pada manik mata Fahrul. “Lo nggak bisa hancurin gue. Nggak akan bisa!” “Lo bakalan hancur, Siena. Tingkah lo bikin gue muak!” Bugh. Siena tersenyum menatap hasil karyanya, hidung Fahrul yang mengeluarkan darah serta ringisan dari pemuda itu. “Gue nggak akan lepasin lo!” Siena berkata tegas. “Sekarang kalian pindah dia ke markas! Jangan di sini!” Markas yang dimaksud Siena adalah markas lain. Markas yang jelas jarang mereka kunjungi, sehingga tidak banyak yang tahu keberadaan markas itu. Anak Remon pun menyetujuinya, lagi pula kalau sampai Fahrul dibiarkan di markas ini pasti, pasti Syahrul dan anak buahnya akan dengan mudah menemukan Fahrul. _Siena_ “Sa!” Aksa dan Siena yang sedang asik mengobrol dengan anak Remon lainnya langsung menoleh bersamaan. Di sana, tidak jauh dari mereka, sosok pemuda yang masih duduk di atas motor itu memandang mereka. Meneriaki nama Aksa dengan keras. Aksa mendengus saat tahu siapa yang meneriaki namanya. “Siapa?” tanya Siena kepada Aksa. Aksa memilih mengangkat kedua bahunya. Dilihatnya pemuda itu turun dari motor, berjalan mendekat kepada mereka. Siena kembali menatap Aksa yang diam tak menjawab. “Siapa?” tanyanya lagi. Tepat setelah itu, sosok pemuda yang ditanyakan sampai di depan mereka. “Pulang. Bokap nyariin.” Siena menatap sosok itu lama. “Siapa?” tanyanya. “Saka,” jawab Aksa. “Sak–” “Pulang!” Sekali lagi Saka berkata dengan nada tegas. “Gue nggak bisa pulang sekarang,” jawab Aksa tidak kalah tegas. Siena menatap keduanya heran. “Lo–” “Nggak usah ikut campur!” bentak Saka memotong ucapan Siena. Matanya menatap Siena tajam dan jelas terpancar sorot ketidaksukaan. “Nggak usah ngebentak bisa, ‘kan?!” marah Aksa kepada Saka. Jelas dia tidak terima Siena dibentak seperti itu padahal gadis itu hanya bertanya. Siena tidak mengerti. Sekali lagi, gadis itu menatap Aksa. “Sa, dia siapa?” Aksa berdiri, mengamit tangan Siena dan mengajak gadis itu pergi tanpa menjawab pertanyaan Siena. “Terus aja belain cewek barbar itu!” Aksa berhenti melangkah. Menatap Saka tajam dan juga tidak terima. Saka keterlaluan jika berkata sekasar itu di sini. Anak Remon yang ada di sana mulai berdiri hendak membela Siena. Meski di mata orang lain Siena dianggap buruk, bagi mereka Siena adalah gadis terbaik. “Diem kalian! Biarin aja dia ngoceh sepuasnya!” “Sa, lo mikir nggak, sih, kalau papa ngelakuin yang terbaik buat lo? Gue jemput lo biar lo jadi orang bener.” Aksa melepas tautan tangannya dengan Siena. Berkata “sebentar” pada gadis itu, lalu melangkah mendekati Saka. “Gue baru belajar jadi orang bener. Belajar buat tebus kesalah orang lain,” ucap Aksa. Saka menyugar rambutnya dengan deru napas kesal. “Lo nggak bener kalau belain cewek kaya dia!” Saka menunjuk tepat pada Siena. “Gue nggak akan pulang sebelum anterin dia pulang.” “Aksa!” “Apa? Mending lo nggak usah jadi sok paling bener, deh! Lo nggak ngerti kenapa gue jagain dia! Lo nggak tahu apa yang sebenernya terjadi! Ini semua karena papa!” Saka mengembuskan napasnya kasar. “Sa–” “Lo pulang aja. Gue pulang sendiri,” kata Siena datar. Tubuhnya mulai gemetar dan matanya mulai berkaca saat menyadari sesuatu, sesuatu yang Aksa dan Saka katakan. “Gue anterin!” perintah Aksa tidak terbantah. Namun, bukan Siena namanya kalau menuruti apa kata Aksa. Gadis itu tetap pergi meninggalkan mereka. Aksa menggeram menatap Saka. “Lo nggak tahu apa pun!” “Lo yang nggak tahu apa pun!” balas Saka tak kalah geram. “Dia–” Aksa terdiam tidak melanjutkan ucapannya. “Apa? Dia kenapa?” cerca Saka. Aksa menggeleng. “Lo nggak berhak tahu.” “Pulang.” “Hm,” balas Aksa malas. Akhirnya, keduanya menuju motor. Mulai menyusuri jalan menuju rumah mereka. Yang Saka tahu dia telah berhasil menyelesaikan misi, tapi yang Aksa rasakan justru sebaliknya, dia merasa gagal. Gagal karena membiarkan Siena sendirian. _Siena_ “Kamu cantik.” Siena tersenyum malu mendengar pujian itu. Gadis remaja masih dengan seragam putih abunya itu duduk berhadapan dengan pemuda berseragam sama dengannya. Keduanya saling pandang dengan sorot jelas sedang kasmaran. “Kamu bisa aja!” balas Siena dengan pipi memerah. Pemuda di depannya tertawa. Tawa renyah yang selalu menenangkan jiwanya. Rasanya, Siena tidak ingin hari ini cepat berakhir. “Aku serius. Kamu cantik, dan si cantik ini punya aku.” Lagi-lagi Siena tersipu. “Aska...” panggil Siena dengan nada rendah. Aska, Askara Adiputra, pacar pertama Siena yang berhasil membuat hidup Siena berwarna. Aska, pemuda jakung berkulit putih kecokelatan karena hobinya bermain basket. Senyumnya manis, semanis madu. Tawanya indah, seindah bunga. Dan ... suaranya merdu seperti melodi pengantar tidur. Siena jatuh cinta, jatuh sejatuh-jatuhnya kepada pesona Aska. “Apa, Sayang?” Siena menggigit bibir bawahnya cemas. Kedua jari telunjuknya dimainkan di atas rok abu-abunya. “Siena ...” Siena menatap Aska. “... Siena takut Aska pergi.” Wajah jahil Aska meredup. Senyum dan tawa juga binar bahagia itu hilang dari matanya. Siena semakin takut, takut kalau Aska benar-benar meninggalkannya. Hanya Aska yang Siena punya. Kedua orang tuanya selalu meributkan masalah yang sama setiap harinya. Keluarga harmonis yang dulu Siena punya sudah lenyap dan hancur berganti menjadi berantakan. Sejenak mereka terdiam dengan pikiran masing-masing, hingga akhirnya Aska mengukir senyum tipis. Pemuda itu menatap Siena yang menunduk dengan tangan saling bertaut. Aska mengusap pelan surai Siena. “Ini hari dua tahun kita pacaran. Kita seneng-seneng aja. Main bareng sampai puas.” Siena mendongak lalu mengangguk setuju. Selanjutnya, mereka pergi bersama mulai dari nonton, makan, main, pokoknya semuanya mereka lakukan untuk merayakan hari jadi mereka. “Sialan!” Siena menyugar rambutnya. “Ngapain sih inget dia?” “Bangs*t!” Sepanjang jalan terus saja Siena memaki karena otaknya kembali mengingat laki-laki itu. Laki-laki yang hampir 3 tahun ini menghilang bak ditelan bumi. Yang Siena tahu dia pergi keluar negeri, tapi seribu kali bertanya pada Aksa dia pergi ke mana, Aksa tidak pernah menjawabnya. Atau paling baik Aksa akan menjawab "tidak tahu" saat dia bertanya. Siena menendang kaleng bekas soda di depannya dengan kasar. Terus mengumpat dan mengumpat tanpa henti. Bahkan saat membuka gerbang rumahnya dia tetap mengumpat tanpa takut. Ini semua karena perdebatan Saka dan Aksa tadi. Laki-laki yang entah siapa, berani membentaknya dan menyuruh Aksa sesuka hati. Percakapan mereka yang membahas soal salah dan benar membuat Aksa mengatakan sesuatu yang Siena ingin tahu. “Gue baru belajar jadi orang bener. Belajar buat tebus kesalah orang lain.” “Apa? Mending lo nggak usah jadi sok paling bener, deh! Lo nggak ngerti kenapa gue jagain dia! Lo nggak tahu apa yang sebenernya terjadi! Ini semua karena papa!” Siena kembali mengumpat. Kenapa, sih, kalimat itu terngiang terus? Sebenarnya dia sadar, dari kalimat itu ... Aksa tahu sesuatu tentang Aska. Namun, segera mungkin Siena menggeleng. Apa pun itu tentang Aska, Siena inginnya tidak peduli! Kaki Siena pun akhirnya melangkah terus memasuki rumah. “Terlalu malam untuk gadis seperti kamu pulang,” ucap suara berat itu menyambutnya. Tanpa menoleh pun Siena tahu kalau itu suara papanya, Baron. “Siena main.” Baron membuang napas pelan. “Siena, kamu itu perawan. Nggak baik keluar malam seperti sekarang.” Siena, gadis itu menatap papanya. Matanya bersorot benci dan juga berkaca-kaca. Memang papanya pikir Siena seperti ini karena siapa? “Siena nggak akan keloyongan kalau kalian perhatiin Siena!” Baron kembali membuang napas kasar. Pria itu menatap Siena penuh iba. “Siena, mama sama Papa nggak–” “Siena benci perpisahan! Siena nggak suka ditinggalin! Siena benci kalian!!” _Siena_  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD