6. Vio Sayang Papa

1613 Words
Aku menatap layar ponsel dengan ragu. Layarnya terus berkedap-kedip seolah memanggilku untuk segera mengangkatnya. Aku mengambil ponselku dan menatap layarnya dengan ragu. Entah kenapa aku malah menghela napas panjang saat nomor yang sudah tidak kusimpan di kontak ponselku itu seperti tidak sabar menungguku menjawab panggilannya. Entah sejak kapan aku menghapus namanya dari kontakku. Tapi selalu saja dengan mudahnya aku mengenali nomornya saat dia melakukan panggilan. Menjawab panggilan darinya ibarat sebuah hal yang sangat menyulitkan buatku. Kalau bisa, rasanya aku ingin mengabaikan apa pun yang berhubungan dengannya selamanya. Aku begitu tertekan setiap menerima panggilan darinya. Apa pun yang dibicarakannya di telepon, aku tidak pernah tertarik. Bagiku masa-masa di mana seharusnya dia rutin menghubungiku itu sudah berlalu. Saat ini kami berdua hanya dua orang asing yang masih tetap terhubung karena kehadiran Vio. Apalagi sebenarnya sudah ada perjanjian antara aku dan Beni. Bukan perjanjian sebenarnya, karena hanya keputusan sepihak dariku, jika hanya aku yang boleh menghubunginya, itu pun hanya menyangkut Vio. Selebihnya aku sudah mewanti-wantinya jika dia tidak boleh menghubungiku lebih dahulu. Aku tidak suka dia mengganggu hari-hariku dengan dengan kembali mengingatnya. Rasanya begitu menyakitkan jika orang yang menyakitiku tidak akan bisa aku hilangkan karena terus-menerus menganggu hidupku. Kata Beni, aku egois. Hanya memikirkan diriku sendiri. Memang itulah yang kulakukan untuk melupakan perbuatan tak termaafkan yang pernah dilakukannya. Bukankan jika dikilas balik, dialah yang sebenarnya lebih egois dibanding aku. Kalau tidak egois, kenapa dia tega mengkhianatiku? Walaupun memang benar jika kami berdua tidak pernah saling mencintai. Tapi apa salahnya jika dia menjaga pernikahan kami? Ah! Sudahlah. Lagi-lagi aku kembali mengingat hal buruk itu. Layar ponselku meredup, menandakan telepon telah terputus. Aku menghela napas, entah kenapa rasa kecewa dan marahku pada Beni belum juga hilang. Hanya berhubungan dengan Vio, aku bersedia memberikan toleransi. Ponselku berdering lagi. Lama-lama suaranya terdengar menyebalkan. Aku menghela napas panjang dan menempelkan ponsel di telingaku. Aku ingin marah, tapi sepertinya tidak ada gunanya. Beni tidak akan mengerti kemarahanku. "Ada apa?" tanyaku tanpa basa-basi. Hening sejenak, tidak ada suara apa pun. Aku mengira Beni telah mematikan teleponnya, tapi rupanya tidak. "Syukurlah kamu mau angkat teleponku." Suaranya terdengar khawatir. "Kamu lupa perjanjian kita?" tanyaku. "Aku nggak lupa, Nay. Cuma...." Dia menghentikan perkataannya. "Jadi ada apa?" tanyaku mulai kesal. Apalagi pembicaraan basa-basinya saat ini. "Boleh aku bicara dengan Vio? Dari semalam aku kepikiran dia terus." "Nanti aku telepon balik, dia lagi tidur," sahutku, malas membahas sedang di mana Vio saat ini. "Dia baik-baik aja, kan? Perasaanku nggak enak." Aku mendesis, apa yang membuat perasaannya tidak enak, biasanya saja dia sibuk dengan dunianya. Mana pernah dalam sehari, sekali saja dia menanyakan Vio. Pulang larut malam dan langsung tertidur, pagi ke kantor lagi, begitu terus setiap hari yang dilakukannya sampai aku sudah hafal dengan rutinitasnya. Yang dari awalnya memaklumi hingga sampai ke tahap tidak peduli lagi. Aku bisa menangkap nada suaranya yang terdengar khawatir. Lagi-lagi kenyataan ini membuatku berpikir keras. Apa ikatan ayah dan anak begitu kuatnya, sampai Beni yang berada jauh di sana begitu memikirkan Vio. Di saat jauh, dia baru mengkhawatirkan Vio. Kenapa tidak dari dulu saja? "Dia baik-baik aja, kelelahan habis main." Aku berbohong. Entah kenapa aku tidak bisa menceritakan tentang apa yang terjadi padaku dan Vio tadi. Rasanya Beni bukan lagi orang yang pantas untuk kuajak berbagi. Tidak ada yang mesti kubagi jika berbicara seperti ini saja rasanya menyakitkan buatku. "Nanti aku boleh bicara sama Vio?" pintanya. "Iya, nanti aku telepon kamu lagi kalau dia sudah bangun." Sebelum Beni berbicara lebih banyak, aku sudah menutup teleponnya. Mungkin ada tibanya di suatu saat aku akan menganggap segala hal yang berhubungan dengan Beni adalah hal yang biasa, tidak perlu ada kekhawatiran apalagi kekesalan yang mengiringinya. Aku mengembuskan napas dalam-dalam dan meletakkan ponselku perlahan. Tiba-tiba wajah Beni seperti melayang-layang di pikiranku. Baru saja aku meninggalkan Jakarta, tapi sepertinya Beni tidak akan berhenti menghantuiku. Sikap Beni seperti menyatakan penyesalannya. Kenapa baru sekarang? Dia bahkan menghilang sejak hari perceraian kami sehingga saat aku dan Vio kembali ke kota ini dan meninggalkan rumah, Beni sepertinya tidak mengetahuinya. Aku bahkan tidak mau peduli di pergi ke mana karena tujuanku hanya satu yaitu sejauh mungkin pergi dari hidupnya. Tidak ada lagi yang bisa aku harapkan dengan tinggal di Jakarta. Pekerjaan sudah tidak punya, rumah juga tidak ada karena rumah yang aku tempati bersama Beni dulu adalah rumah yang dibeli oleh Beni sebelum dia menikah denganku. Bajuku mendadak ditarik perlahan. Aku menoleh dan mendapatkan Vio sedang menatapku dengan tatapan wajah bahagia. Ditangan kanannya tergenggam es krim yang sudah separuh dimakannya. Setiap menata wajahnya, seolah ada kesejukan yang membuat hatiku meleleh. Kau tidak ada Vio, entah untuk apa lagi aku berjuang hidup. "Mama...," katanya. Matanya kemudian mengerjap saat es yang dingin itu mengenai giginya. "Sudah dapat es krimnya?" tanyaku sambil berjongkok di hadapannya. Dia mengangguk dan memamerkan es krimnya yang tinggal separuh. "Vio mau itu." Dia menarik tanganku dan menuntunku dengan tergesa menuju etalase. Tepat di sebuah etalase yang berjejer kue warna-warni, dia menghentikan langkahnya dan menatapku dengan pandangan mata mengiba. Aku tersenyum, ternyata dari dari kue-kue di etalase ini yang telah menarik perhatiannya. Pantas saja matanya terus mengedar dari tadi. "Ayo kita minta sama Tante dan Om di belakang, kalau yang di depan ini buat dijual." Vio mengangguk sambil mengikuti langkahku. Langkahnya lebar-lebar karena dia sudah tidak sabar. Padahal es krim masih tergenggam di tangannya. Aku membawa Vio menuju dapur dan memperlihatkannya pada jejeran kue yang baru saja keluar dari oven dan ada juga sebagian kue yang telah dihias agar terlihat lebih menarik saat berada di etalase. Wajah Vio mendadak berubah saat melihat tumpukan rak-rak kue yang menggiurkan di hadapannya. Dia tersenyum senang sambil matanya berkeliaran kemana-mana. Tangannya menunjuk ke berbagi arah dan dengan riang dia mengatakan ingin makan semuanya. Aku tertawa sambil mengelus rambutnya dan mengatakan jika tidak mungkin semua kue yang diinginkannya bisa muat di perutnya yang kecil. Setelah bernegosiasi dalam waktu yang cukup lama, akhirnya Vio telah menetapkan pilihannya. Aku mengambil sebuah cup cake dengan icing berwarna merah muda dan menyerahkannya ke Vio. Dia tersenyum dengan puas. Aroma stoberi tercium dengan jelas saat Vio menggigit kuenya. Dia makan dengan lahap dan aku curiga sepertinya satu tidak cukup buatnya. "Vio mau ngobrol sama Papa?" tanyaku sambil membimbingnya masuk ke ruangan kecil di sebelah kasir. Dengan sebuah sofa kecil dan beberapa rak buku menjadikan ruangan ini mirip perpustakaan kecil. "Mau!" Vio mengangguk dengan bersemangat. Aku tidak mungkin membiarkan Beni menunggu karena dia pasti akan menerorku terus menerus. Jadi ada baiknya aku mengalah dan membiarkannya berbicara dengan Vio. Aku mengambil ponsel, dan menekan nomor Beni yang sudah kuhafal tapi sedang berusaha kulupakan. Aku memang berniat tidak akan memikirkan Beni lagi, tapi hal itu tidak bisa kulakukan untuk Vio. Dia butuh Papanya, tidak seperti aku. Aku tidak butuh dia. Aku menyalakan speaker dan kemudian menyerahkan ponsel pada Vio saat terdengar nada tunggu. Vio meletakkan cup cake yang baru dimakannya sebagian ke tanganku. Es krim yang baru dibelinya tadi sudah habis. Sepertinya menelepon Papanya lebih menarik daripada cup cake. "Papa...," jeritnya saat terdengar 'halo' dari Beni. "Papa dimana?" tanyanya sambil setengah berteriak. "Papa lagi di kantor, Sayang. Vio lagi apa?" Terdengar jelas suara Beni dengan nada sangat lembut. Aku memalingkan wajahku, entah kenapa mendengar suara Beni yang seperti itu membuatku kesal. Dari dulu Beni memang terkenal dengan kelembutannya pada wanita. Ini yang menjadikan para wanita betah dengannya, walaupun dia hanya mempermainkan mereka. "Lagi makan kue tadi. Papa..., tadi Vio jatuh." Keningku berkerut saat mendengar Vio menceritakan kejadian tadi pagi pada Beni. Vio yang polos tidak bisa kuajak merahasiakan semua yang terjadi. Sebenarnya aku hanya malas menceritakan detail kejadiannya kepada Beni, hanya memakan waktu dan tenaga saja. "Jatuh dari mana? Kok bisa?" Terdengar nada khawatir dari suara Beni. "Di mobil," jawab Vio dan sepertinya membuat Beni bingung. "Terus gimana sekarang?" "Nggak apa-apa, es krim Vio aja yang jatuh." "Vio nakal ya makanya bisa jatuh." "Nggak kok, Vio nggak nakal." Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Vio jadi anak baik, kan, nggak ngerepotin Mama?" "Iya," Vio menatapku sambil tersenyum lebar. "Disini banyak kue. Papa kesini deh," lanjut Vio. "Iya, nanti Papa ke sana, asal Vio jadi anak baik." "Jangan lama-lama, nanti kuenya habis." Terdengar suara tawa Beni. "Mama dimana?" Pertanyaan Beni membuatku mengalihkan pandangan ke Vio lagi. "Ada. Papa mau ngomong?" Vio langsung menyerahkan ponsel kepadaku. Padahal raut mukaku sudah menunjukkan aku sedang tidak ingin berbicara dengan Beni. Tapi, mana mungkin Vio tahu. Setelah menyerahkan ponsel padaku, sambil membawa setengah dari cup cake-nya yang belum habis, Vio kemudian menghilang entah ke mana. "Vio jatuh kenapa?" Aku menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Beni. Semenjak perceraian kami, aku merasa Beni selalu saja mau tahu hal-hal kecil yang aku dan Vio alami. Berbeda sekali pada saat kami bersama, dia selalu tidak ada waktu memikirkan aku dan Vio. "Tabrakan kecil," jawabku singkat. "Tabrakan gimana?" Suaranya terdengar meninggi. "Mobil kami ditabrak dari belakang," sahutku tidak bersemangat. "Kok kamu nggak bilang?" "Yang penting kami nggak apa-apa," jawabku malas. Hampir saja aku menjawab 'bukan urusanmu'. Tapi kalimat itu malah akan memperpanjang urusanku dengan Beni. Beni yang keras kepala pasti mau tahu apa yang terjadi padaku dan Vio. "Lain kali kalau ada apa-apa, kamu harus telepon aku." Aku mencibir mendengar ucapannya. Buat apa juga aku menghubunginya. "Memang kamu bisa apa?" "Setidaknya aku tahu keadaan kalian," jawab Beni setelah hening beberapa detik. "Sudah dulu ya, aku lagi di bakery Mama, lagi sibuk disini," kataku berusaha mengakhiri pembicaraan. "Aku ngomong sama Vio lagi ya," pintanya. Entah sejak kapan Vio tiba-tiba telah berada di dekatku lagi. Dia mengunyah cup cake yang ada di mulutnya dengan cepat saat mendengar Papanya ingin berbicara dengannya. "Vio baik-baik ya, jangan nakal, jangan ngerepotin Mama." "Iya. Tapi papa buruan kesini," jawab Vio dengan logat cadelnya. "Iya Sayang. Sudah ya, Papa mau kerja lagi. Papa sayang Vio." "Vio juga sayang papa." Sayang? Yang benar aja. (*)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD