7. Tidak Mungkin!

1527 Words
Vio terus memperhatikan anak-anak disekelilingnya dengan tatapan mata penasaran. Sesekali dia menoleh ke berbagai arah saat teriakan anak-anak itu membuatnya ingin tahu. Apalagi saat sekelompok anak saling berkejaran dan lewat di dekatnya. Matanya membesar seperti ingin membuktikan rasa ingin tahunya. Aku tersenyum menatapnya. Beberapa kali dia tampak ingin melepaskan genggaman tanganku, tapi tidak berani dilakukannya karena mungkin tempat ini terasa asing buatnya. Matanya yang besar terlihat berbinar, dia bahkan beberapa kali menahan senyum karena melihat begitu banyak anak seusianya di tempat ini. Saat di Jakarta dulu, Vio memang jarang mendapat teman seusianya karena memang dia jarang keluar dari rumah. Teman bermainnya hanya aku dan boneka kesayangannya. "Nanti Vio bakal bisa main sama mereka," kataku sambil tersenyum menatapnya. Vio mengangguk-angguk senang mendengar ucapanku. Genggaman tangannya semakin erat seiring dengan matanya yang tak berhenti menatap sekelilingnya. Hari ini, aku membawa Vio ke sebuah playgroup. Aku baru saja mendaftarkan Vio disini. Selama ini Vio jarang berinteraksi dengan anak-anak seusianya dan jika dia bersamaku terus di bakery, sepertinya Vio akan sulit bersosialisasi dan dunianya hanya melulu bakery dan bakery lagi. Karena itu aku memutuskan Vio harus memiliki dunia baru yang lebih berwarna. Aku rasa dengan memasukkan Vio ke playgroup ini akan membuatnya bisa memiliki banyak teman. Sambil masih menggenggam tanganku, Vio terus tersenyum. Mungkin dia membayangkan akan menggunakan seragam yang sama dengan anak-anak yang dilihatnya dan juga bermain bersama mereka. Sebenarnya aku sendiri juga tidak sabar ingin melihatnya bemain-main dengan penuh riang bersama teman-temannya. "Kapan Vio bisa main sama mereka, Ma?" tanyanya dengan mata mengerling ke arahku. Aku menepuk puncak kepalanya. Walaupun mungkin dia belum mengerti kenapa aku membawanya ke sini, tapi melihat banyaknya arena permainan dan anak-anak di sini, dia terlihat tidak sabar. Mungkin dikiranya tempat ini adalah sejenis area bermain. "Kenapa? Vio sudah nggak sabar ya?" Aku kemudian memberikan elusan lembut di pipinya. Dia mengangguk cepat dan membuatku tertawa melihatnya. Tak lama Vio juga ikut tertawa dengan suaranya yang khas. "Kalau besok, Vio mau?" Vio langsung menoleh ke arahku saat mendengar pertanyaanku. Vio seperti tidak yakin dengan ucapanku. Dia benar-benar sudah tidak sabar sepertinya, terbukti dengan gerak tubuhnya yang terlihat sangat bersemangat. Urusan administrasi sudah diselesaikan, Vio juga sudah mendapatkan seragam yang kebetulan pas dengan tubuhnya. Setelah ini, aku akan berbelanja sedikit keperluan sekolah Vio. Dia butuh tas dan sepatu baru agar semakin bersemangat ke sekolah. Membayangkan dia akan mengenakan seragamnya, malah membuatku terharu. Gadis kecilku ini ternyata bukan bayi lagi. Mengingat saat pertama kali melahirkannya yang penuh dengan kesulitan, aku tidak percaya jika saat ini dia akhirnya sudah sebesar ini. Apalagi membayangkan apa yang pernah terjadi padaku dan Vio di masa kelamku. Napasku tertahan. Harusnya aku tidak mengingat semua itu lagi. "Besok Mama nggak perlu nemanin Vio, kan?" tanyaku saat kami berjalan menuju parkiran untuk segera pulang. Aku ingin memastikan jika Vio tidak perlu ditemani dari pagi hingga pulang sekolah. "Kok harus ditemanin?" Dia malah balas bertanya dengan wajah bingung. Sepertinya konsep sekolah belum dimengerti oleh Vio. Karena kalau sedang bermain, buat apa ditemani. Begitu mungkin yang ada di pikirannya. "Mama antarin Vio sampai sekolah, terus Mama langsung ke toko. Jadi nggak perlu nungguin Vio, ya?" Aku memberikan penjelasan padanya agar dia tidak bingung. "Iya, Mama nggak perlu nemanin. Kan, banyak teman-teman disini," sahutnya yakin. Aku tersenyum bangga menatapnya. Aku tidak tahu sejak kapan Vio jadi sedewasa ini. Rasanya aku banyak melewatkan waktu berhargaku dengan Vio hanya gara-gara memikirkan masalahku sendiri. Padahal tidak ada yang lebih penting dari Vio sekarang, hanya tinggal kami berdua. Vio mengayun-ayun tangannya yang sedang berada di genggamanku sambil bersenandung. Sudah lama aku memimpikan keadaan seperti ini, menghabiskan waktu dengannya dan melihat dia bahagia karenanya. Ada banyak yang harus aku benahi di sini, terutama kebiasaanku dan melupakan kebiasaan lama yang dulu kulakukan. Aku akan membiasakan diri setiap pagi mengantar Vio, ke bakery, memikirkan resep kue baru, dan juga berkutat dengan adonan. Semuanya terbayang begitu sempurna untuk melupakan masa laluku. Hanya dengan kesibukan, semua kenangan buruk mungkin bisa perlahan dilupakan. Aku menuntun Vio menuju area parkir yang berada di belakang sekolah. Area parkir terlihat penuh, sepertinya kedatanganku ke sekolah ini bertepatan dengan jam pulang. Mendadak mataku menangkap sosok yang seperti tidak asing. Seorang lelaki berdiri bersandar pada pintu mobil dengan pandangan mata menerawang, seperti sedang menunggu seseorang. Aku berpikir dengan keras, di mana sebelumnya pernah bertemu dengan lelaki ini. Mungkin aku salah mengingat. Rasanya aku tidak punya banyak teman semenjak kepulanganku kembali ke kota ini. "Ibu," sapanya tiba-tiba saat aku dan Vio melewatinya. Raut wajahnya menunjukkan rasa terkejut, sama sepertiku. Aku terdiam sejenak. Aku terus berpikir dan memicingkan mataku sambil menatapnya. Siapa sosok lelaki ini? Ah! Dia...yang menabrak mobilku tempo hari! "Eh ya," sahutku bingung karena tidak tahu harus seperti apa menanggapi sapaannya. "Anaknya sekolah di sini juga ya?" tanyanya. Aku mengangguk dan berusaha membalas basa-basinya dengan tersenyum. "Iya, Pak," sahutku. "Anak majikan saya juga sekolah di sini," jelasnya tanpa aku tanya. "Mari, Pak, saya duluan," pamitku karena tidak tahu harus membicarakan apa lagi dengannya. "Mobil Ibu gimana, sudah dibawa ke bengkel?" Aku menoleh ke arahnya lagi. "Belum, Pak. Tapi kayaknya nggak ada masalah." "Kalau ada masalah, Ibu boleh hubungi nomor di kartu nama yang saya beri kemarin," katanya. Aku menganggukkan kepalaku tanda ingin pamit dan mengakhiri percakapan kami. Lelaki tadi membalasnya dengan senyum lebar dan menatap kepergianku dan Vio. "Papa tahu nggak kalau besok Vio sekolah?" tanya Vio tiba-tiba saat sudah berada di dalam mobil. Aku terdiam sejenak. Dalam sehari, Vio selalu menanyakan Papa ya, kadang menyangkut hal sepele pun ditanyakannya. Saat kami masih tinggal bersama, Vio malah seakan tidak peduli dengan Papanya karena begitu juga perlakuan Beni pada Vio. Heran, kenapa sekarang mereka malah saling mencari. "Tahu dong," sahutku sambil menyalakan pendingin mobil. Embusan udara dingin menerpa wajahku perlahan. Aku menoleh ke arahnya sejenak dan menyimpan tasku di belakang kemudi. Aku harus tenang menghadapi pertanyaan Vio yang mungkin tidak akan berhenti di satu pertanyaan saja. "Tapi kok nggak ada telepon." Wajahnya menyiratkan kekecewaan. Sebenarnya aku malah belum mengatakan apa pun pada Beni. Hanya membicarakan tentang Vio yang akan bersekolah padanya rasanya terlalu basa-basi, apalagi dengan statusku dan Beni yang sudah berubah. Membayangkan akan memulai pembicaraan dengannya saja sudah membuat perasaanku tidak bagus. "Mungkin Papa lagi sibuk. Vio, kan tahu kalau Papa kerja dari pagi dan baru pulang waktu malam,"ujarku "Nanti ya Mama coba telepon Papa," kataku lagi berusaha membujuknya karena tak ingin melihat raut wajahnya yang sedih. "Sekarang kita beli tas dan sepatu baru buat sekolah besok. Mau, kan?" tawarku padanya. Dia menganggukkan kepalanya dengan senyum yang baru terkembang di bibirnya. Sulit sekali membujuknya jika menyangkut tentang Papanya. Ternyata aku salah, aku pikir dengan keadaan kami yang tidak berada di dekatnya lagi, Beni tidak akan mengusik kami. Tapi kenapa yang terjadi malah sebaliknya. Baru saja aku menyalakan mesin mobil, seseorang berlari-lari menuju mobilku dan mengetuk kacanya. Lelaki yang tadi. Keningku berkerut, kenapa dia mendatangiku dengan wajah tegang seperti itu? Apa aku melakukan kesalahan? "Iya, ada apa, Pak?" Aku membuka kaca mobil dan menatapnya yang sedang terengah-engah. Tak urung aku penasaran juga kenapa dia menahanku seperti ini. Padahal rasanya masalah di antara kami sudah selesai. Setelah mengatur napasnya, dia baru mulai berbicara. "Maaf Bu, majikan saya mau bicara sama Ibu sebentar," katanya setelah beberapa saat mengatur napasnya. Aku mengernyit. Rasanya kecelakaan yang terjadi tempo hari tidak perlu dipermasalahkan lagi. Aku sebagai korban juga nggak menuntut apa-apa pada pemilik mobil. Atau mungkin majikan lelaki ini tipe seseorang yang nggak bisa tenang karena telah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Melihat wajahnya yang seperti itu, aku malah jadi curiga. "Bicara apa, Pak?" tanyaku bingung. "Tentang mobil Ibu. Sebentar saja, nanti saya dimarahi lagi kalau nggak bisa bujuk Ibu." Wajahnya terlihat memelas. Benar seperti dugaanku, pemilik mobil pasti mempermasalahkan aku yang nggak mau diganti rugi. "Bilang aja yang punya mobil lagi buru-buru, Pak," pintaku karena memang benar aku tidak bisa berlama-lama di tempat ini. Aku harus segera kembali ke bakery setelah menemani Vio membeli perlengkapan sekolahnya. "Sebentar aja, Bu." Wajahnya semakin memelas. Ini orang kenapa sih? Kok yang jadi korban malah dipaksa buat menerima tanggung jawab dari pelaku? Aneh aja menurutku. Aku berusaha menutup kaca mobilku, tapi yang terlihat di depanku saat ini ada sesosok lelaki tinggi sedang berjalan menuju mobilku. Apa dia majikan yang dimaksudnya? Aku mengecilkan mata, berusaha mengatur jarak pandangku yang sepertinya tidak bisa diajak bekerja sama karena pengaruh cahaya matahari yang menyilaukan. Semakin lama, sosok lelaki yang berjalan menuju mobilku semakin mendekat. "Itu Bu, majikan saya. Dia mau tanggung jawab sama kerusakan yang terjadi sama mobil Ibu. Majikan saya orangnya nggak enakan. Jadi saat saya bilang Ibu nggak mau apa-apa, dia malah minta jika saya harus memaksa Ibu buat menerima tanggung jawab dari kami." Heran juga, hanya kerusakan biasa saja, kok sosok majikannya ini sepertinya niat sekali ingin tanggung jawab. Kalau aku sih, nggak bakal menawarkan kedermawananku berkali-kali pada orang yang menolak. Rasa penasaran akan sosok majikan lelaki ini membuatku menunggu, tapi karena namanya yang mirip dengan dia, aku mendadak merasa berdebar. Aku tidak bisa menangkap dengan jelas apa yang diucapkannya karena mataku sedang bekerja dengan keras mengenali sosok yang hanya berjarak beberapa meter itu. Apalagi kali ini mataku terasa perih karena silaunya cahaya matahari. Aku memicingkan mata saat sosok itu semakin dekat. Tanganku menegang, memegang dengan kuat setir mobil. Tidak mungkin! (*)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD