8. Pertemuan Kembali

1564 Words
Kali ini rasanya aku kesulitan menarik napas. Dari balik kaca mobil, sosok itu terlihat semakin mendekat. Sedangkan di sebelahku Vio terlihat sibuk sendiri karena memainkan pajangan di dashboard mobil. Mataku tidak salah melihat, bukan? Kenapa orang yang beberapa tahun terakhir ini berusaha aku lupakan malah muncul tiba-tiba di hadapanku seperti ini? Oh...bagaimana cara agar aku bisa pergi dari tempat ini? Aku harap karena sinar matahari yang menyilaukan sehingga sedikit berhalusinasi dan salah mengenal orang. Aku terus berbicara dalam hati sambil berharap jika orang yang sedang berdiri di hadapanku saat ini bukan dia. Tapi bagaimana caranya aku bisa berharap jika wajahnya kali ini terlihat jelas di mataku. Apalagi sepertinya sudah tidak ada kesempatan untukku menghindar. "Nay?!" Suara itu terdengar begitu jelas di telingaku. Ingatanku berputar cepat, masih suara yang sama dengan sosok yang pernah kukenal. Mendadak debaran aneh terasa begitu menyiksa. Aku benci mengakui jika mendadak tubuhku menggigil saat mendengar dia memanggil namaku. Aku mengangkat wajah dan menoleh dengan ragu. Pandangan kami bertemu pada satu titik. Wajah itu..., tatapan matanya, lengkung bibirnya, masih sama seperti dulu. Bahkan postur tubuhnya tidak ada yang berubah. Aku merasa menyesal karena masih mengingat detail tentang dirinya. Rasanya aku seperti orang bodoh yang hanya diam sambil menatap wajahnya. Mataku tidak berkedip, bukan karena aku sedang terpana menatap sosoknya. Tapi tindakan ini refleks kulakukan tanpa bisa dicegah. Sedangkan dia juga terdiam sambil terus menatapku, seakan ada yang aneh dengan wajahku saati ini. Tatapan matanya terasa sangat menyiksa dan membuatku tidak nyaman. "Nay...?" ulangnya lagi, kali ini sambil memamerkan senyumnya. Bukan senyum basa-basi, tapi senyuman yang mengisyaratkan dia senang karena bisa bertemu denganku. Aku mendesah dalam hati, betapa sebenarnya aku tidak senang dengan pertemuan ini. Tapi saat ini aku tidak bisa lari lagi, mau menghindar pun rasanya percuma. "Oh...hai," balasku akhirnya setelah sekian detik memikirkan kata apa yang pantas untuk membalas sapaannya. Sepertinya lebih baik sapaan yang bernada basa-basi sehingga menandakan jika aku sebenarnya nggak terlalu terpengaruh dengan pertemuan kami ini. Aku menarik napas perlahan, menghindari tatapan matanya yang dari tadi seperti mengunciku. Ini sangat menyiksa. Aku tidak pernah memiliki masalah saat berhadapan dengan lelaki, mau semenarik apapun dia. Tapi kali ini berbeda, keringat dingin terasa keluar dari pori-pori telapak tanganku. Bibirku tak kunjung bisa mengucapkan kalimat sapaan yang seharusnya dan parahnya aku merasa sangat canggung saat menatap matanya. Padahal lelaki ini adalah orang yang pernah mengisi hari-hariku beberapa tahun yang lalu. Kami begitu dekat bahkan rasanya tidak mungkin bisa menjadi dua orang asing seperti saat ini. Sekarang sekadar saling sapa saja rasanya sudah sangat canggung. "Mas Nino kenal rupanya." Suara lelaki yang mengaku sebagai sopirnya menyela di antara kecanggunganku. Aku mengalihkan pandanganku pada lelaki itu agar perhatianku pada Nino bisa teralihkan. "Iya, teman lama. Bapak kembali ke mobil aja dulu, nanti aku nyusul. Bilang sama Jo, tunggu sebentar," sahutnya. Lama tidak mendengar suaranya dan bodohnya kenapa aku malah jadi berdebar hanya karena suara itu terdengar kembali di telingaku. Aku nggak boleh seperti ini. Hening selama beberapa detik. Nino masih berdiri di sebelahku tanpa ada bicara sepatah kata pun lagi. Kalimat apalagi yang bisa aku ucapkan? Harusnya pertemuan kami kali ini tidak perlu terjadi karena aku sudah mengubur dalam-dalam kenanganku bersamanya. Anggaplah jika kami bertemu lagi, kami hanya sesama orang asing yang tidak saling mengenal. Pandanganku kemudian teralih pada setir mobil, dalam kepalaku berpikir sebenarnya saat seperti ini sangat tepat untuk menyalakan mobil dan berlalu dari hadapannya. Tidak perlu kalimat apa pun karena memang tidak ada yang perlu kami bicarakan lagi. Lima tahun berlalu, lima tahun semenjak pertemuan terakhir kami. Terasa cepat dan belum bisa menghapus ingatanku. Keinginanku untuk melupakannya sebenarnya hanya keluar di mulutku, sesungguhnya aku malah kesulitan untuk melakukannya. "Aku nggak tahu kalau wanita yang dibicarakan Pak Wiryo itu kamu." Suaranya memecah keheningan. Aku menahan napas saat suara itu kembali terdengar. Rasanya aku ingin berteriak sekeras-kerasnya karena seperti ada yang mengganjal di pikiranku saat melihat wajahnya. Apa mungkin karena cerita di antara kami sebenarnya belum selesai? Aku yang pergi dan meninggalkannya secara sepihak. "Aku ada di mobil waktu Pak Wiryo menabrak belakang mobilmu. Seharusnya kemarin aku langsung turun dan menghampiri kamu," lanjutnya. Aku malah bersyukur dia tidak turun dari mobilnya. Walaupun apa yang terjadi hari ini juga sangat aku sesali, kenapa aku harus bertemu dengannya? "Oh...nggak ada masalah kok. Mobilku juga baik-baik aja," sahutku dengan nada dingin. Ini tidak seperti basa-basa setelah lama tidak bertemu. Entah kenapa, menanyakan kabarnya sangat sulit kuucapkan. Dulu kami bukan sahabat, jadi tidak ada salahnya aku tidak menanyakan kabarnya. "Kamu apa kabar?" Dia telah mengambil alih kalimat yang seharusnya kutanyakan padanya. Apa kabar? Jawaban apa yang tepat untuk pertanyaannya kali ini? Semuanya baik kalau kita tidak bertemu. Aku baik-baik saja kalau dulu tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita. "Baik," jawabku singkat tanpa berniat bertanya balik, karena aku tidak perlu tahu bagaimana keadaannya sekarang. Bagaimana kabar keluarganya, bagaimana istri, anaknya...ah! Kenapa dadaku terasa senyeri ini? "Dia...anakmu?" tanyanya sambil memperhatikan Vio dengan saksama. Matanya menatap Vio sambil menyunggingkan senyum saat tak sengaja Vio menegadah dan mereka saling menatap. Wajah Vio tampak bingung, tapi tak urung dia membalas senyumannya. Aku menarik napas panjang, bisakah dia segera mengakhiri basa-basinya dan pergi dari hadapanku? Aku mengangguk tanpa suara untuk menjawab pertanyaannya. "Sekolah di sini juga? Aku nggak pernah lihat kalian." "Baru didaftarkan di sini." Setelah menjawab pertanyaannya, mendadak aku merasa menyesal karena mengatakan yang sebenarnya. Harusnya tadi aku diam saja atau mungkin mengarang cerita lain. "Ma...." Tiba-tiba Vio menarik tanganku perlahan. "Lapar," rengeknya. "Ayo kita makan dulu," kataku menenangkannya. Matanya berbinar saat mendengar perkataanku. "Sudah ya, kami duluan." Aku menyalakan mesin mobil tanpa menatap wajahnya. Bahkan menyebut namanya saja terasa sulit kulakukan. Ada kelegaan yang terbersit karena bisa terbebas dari situasi aneh ini. "Oiya, silakan," ujarnya. Situasi terasa sangat canggung. Bahkan dengan orang yang baru kukenal saja, aku tidak bersikap seperti itu. Aku menutup jendela mobil sambil menarik napas lega. Sosoknya yang terpantul dari spion mobil makin lama mengecil sampai akhirnya tidak terlihat lagi. Aku tidak mengerti perasaan apa ini, rasanya begitu menyesakkan dan membuatku ingin menangis. Aneh, kenapa aku mesti menangis untuk pertemuan canggung ini? Tidakkah seharusnya semua perasaanku sudah lenyap bersamaan dengan apa yang telah dilakukannya lima tahun yang lalu. Pertemuan kami terlalu canggung untuk dua orang yang pernah memiliki hubungan dekat, sangat dekat malah. Aku membuang napas berusaha membuang semua hal yang aku ingat tentangnya. Seharusnya apa yang aku lakukan tadi sudah benar, bersikap dingin dan terlihat tidak peduli. Aku memang tidak memiliki keinginan untuk berbasa-basa lebih jauh. Ternyata setelah beberapa tahun berlalu, kemarahanku masih belum usai. Mataku menerawang jauh ke jalan raya yang terlihat penuh lalu lalang kendaraan. Aku mendesah kesal. Kebohongan seperti apa yang sebenarnya aku lakukan? Pada kenyataannya rasa penasaran sangat menggangguku. Bagaimana kabarnya? Bagaimana keluarganya? Istrinya? Anaknya? Apa pekerjaannya saat ini? Ah tidak! Ini tidak benar! Aku tidak mungkin bertanya hal itu padanya, bukan? Tapi melihat keadaannya sekarang, aku yakin dia telah menikah dengan Karin, merawat anak mereka, dan memulai hidup barunya. Lagi-lagi dadaku terasa nyeri membayangkan semuanya. Pertemuan terakhir kami bukan hal yang baik untuk diingat. Setelah pertengkaran hebat, aku memilih menjauh dan menghindarinya. Membatalkan rencana pernikahan kami secara sepihak. Karena tidak ada lagi yang aku harapkan dari Nino untuk sebuah pernikahan. Bagaimana bisa aku menerima Nino, sedangkan ada Karin dan calon bayi mereka yang lebih membutuhkan dia. Aku memutuskan pergi meninggalkannya walaupun dia tidak terima dan masih saja meminta aku mempertimbangkan apa yang terjadi padanya. Mempertimbangkan? Apa aku sudah gila jika kembali mempertimbangkan hubungan kami padahal sudah jelas dia mengkhianatiku. Bagiku sendiri, tidak ada kesempatan kedua untuk seorang pengkhianat. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, apakah Nino masih bersikeras mencariku seperti hari-hari sebelumnya atau dia menyerah dan menyelesaikan masalahnya dengan menikahi Karin. Aku juga mengancam keluargaku agar tidak ada satu pun yang berhubungan dengan Nino lagi, apa pun itu masalahnya. Hubungan terputus begitu saja, tanpa ada kata-kata perpisahan. Pernikahan kami batal, walaupun tinggal menunggu hari. Apa aku menyesal? Tentu saja sangat menyesal, sampai rasanya aku mengutuk diriku sendiri. Jika Nino sampai berselingkuh, artinya ada yang tidak benar padaku. Aku terus menyalahi diriku sendiri dan meratapi hubunganku yang kandas begitu saja. Masa itu rasanya begitu sulit bagiku, bahkan pernah terlintas di pikiranku untuk mengakhiri hidupku karena rasanya aku tidak sanggup melawan kesedihan yang datang bertubi-tubi. Kepergianku ke Jakarta juga merupakan salah satu caraku untuk berusaha memulai hidup baru. Mungkin dengan berada di kota yang berbeda, aku bisa sedikit demi sedikit menyembuhkan luka hatiku. Memang tak mudah, di Jakarta aku hidup tidak tentu selama beberapa bulan. Bekerja tidak jelas karena setiap hari tidak bisa berkonsentrasi. Berpindah-pindah tempat tinggal agar perasaanku bisa membaik. Begitu terus siklus hidupku sampai aku kenal dengan Beni. Ah! Beni lagi. Aku merasa heran dengan hidupku yang disakiti dua orang lelaki dengan cara yang sama. Apa memang sudah seperti itu yang ditakdirkan buatku? Aku berusaha menenangkan hati sambil terus meyakinkan diriku sendiri jika dua sosok lelaki itu tidak berarti apa-apa buatku. Sekarang hanya ada aku dan Vio, dia yang paling berarti buat hidupku, tidak yang lain. Mendadak napasku terasa berat. Bertahun-tahun aku berusaha melupakan, mengikis kenangan buruk yang pernah terjadi. Tapi hari ini, semuanya seperti tidak ada gunanya. Bertemu dengan Nino benar-benar mengacaukan suasana hatiku. Semoga ini yang terakhir kalinya, tidak ada pertemuan selanjutnya lagi. Mobilku melaju melewati sebuah mobil yang kutebak adalah mobil Nino, karena ada lelaki yang tadi mengaku sebagai sopirnya di kursi kemudi, terlihat menunggu dengan sabar sambil menyandarkan kepalanya. Seorang anak lelaki duduk di belakangnya, sedang sibuk dengan ponselnya. Ah...dia pasti anak Nino. (*)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD