Malam ini akhirnya Selena memutuskan untuk menyeret Travis agar beranjak dari rumahnya dahulu. Dia harus menyadarkan Travis jika Pamela tidak ada lagi di dunia ini. Wanita itu sudah tenang di alam sana. Travis harus menerima itu--harus meski untuk menyadarkannya Selena harus berteriak setiap malam pada Travis. Persetan dengan imaje istri baik dan lembut.
Selena sudah tidak tahan dengan semua ini. Dia ingin kegilaan Travis berakhir, sekarang juga. Impiannya, harga diri dan segala kemewahan yang ia impikan harus secepatnya terwujud. Dan sikap Travis adalah penghambat utama segala impiannya.
"Ayo pulang! " teriak Selena pada Travis yang duduk di ranjang kamar Pamela. Dia menatap kosong foto pernikahan Pamela dan dirinya. Ada senyum di bibirnya yang kissable. Itu justru terlihat menyedihkan. Travis menyedihkan dengan segala kegilaannya.
Teriakan Selena ternyata tidak sampai pada otak Travis. Pria itu masih termenung menatap foto di depannya seolah foto itu adalah tujuan hidupnya. Tak sedikitpun dia mengalihkan pandangannya dari foto di depannya. Dia bahkan merasa di dunia ini hanya ada dirinya dan foto.
"Kau harus berhenti bertingkah gila seperti ini Travis! Pamela sudah mati, sadarlah! " Selena yang amarahnya di ubun-ubun meraih foto yang tergantung di dinding. Dia membanting foto itu di depan Travis.
"Lihat ini, Pamela sudah mati sama seperti kaca pigora ini! Dia tidak akan kembali lagi, sadarlah Travis! " teriak Selena. Tindakan dan teriakan Selena menstimulasi kemarahan Travis. Melihat pigora yang hancur itu membuat Travis menggila.
Plak.
"Beraninya kau--beraninya kau menyentuh Pamela-ku, " desis Travis dengan mata yang nyalang menatap Selena.
"Beraninya kau memecahkan kenanganku bersama Pamela! " teriak Travis.
Selena yang shok karena tamparan Travis berjangkit kaget ketika Travis meneriakinya. Dia ketakutan dan air matanya tumpah tidak tahan menerima semua ini.
"Hiks Travis -- sadarlah..."
"Setidaknya biarkan aku menikmati waktuku sendiri Selena. Tolong jangan ganggu aku, meskipun orang lain tidak percaya dan menganggapku gila tapi aku mendengar Pamela memanggilku, dia menyuruhku menunggu, disini. "
Travis melihat ke bawah, ke tempat dimana foto pernikahannya yang berukuran 10R itu hancur. Dia menatap sendu foto itu. Travis membersihkan pecahan foto itu dari pecahan kaca.
"Pamela menyuruhku menunggu karena dia bilang akan kembali. " Travis melanjutkan mengusap foto itu lalu tatapannya mengarah ke Selena, "Kau bilang mencintaiku, tetapi mengapa kau tidak percaya padaku? " tanyanya. "Seharusnya kau percaya waktu aku bilang Pamela memanggilku, dia bilang akan kembali maka dia pasti akan kembali. Pamela-ku akan kembali, kau dengar!? " ucap Travis masih dengan setia membelai foto itu.
Selena menggelengkan kepalanya. Dengan keras kepala dia ingin membantah ucapan Travis.
"Sadarlah Travis hiks kumohon sadarlah. Aku tau kau marah karena menahanmu untuk pulang saat Pamela menelponmu, tetapi kau juga mengalami kecelakaan. Jadi ini semua takdir! "
"Diam, aku bilang diam! Pergi dari sini, pergi! " usir Travis. Dia tidak tahan lagi dengan orang-orang yang terus mengatakan dia gila. Dia muak dengan orang-orang yang tidak mempercayainya. Padahal dalam hatinya dia sangat yakin jika Pamela akan kembali dalam keadaan hidup.
Selena yang ketakutan segera lari meninggalkan Travis. Dia takut jika Travis akan menyakitinya lagi.
Kepergian Selena tidak mengalihkan pandangan Travis dari foto itu. Namun dia juga tidak menyadari jika ada tamu lain yang brrkunjung.
"Travis."
Suara yang sudah lama tidak ia dengar menyapanya. Travis mendongak dan mendapati sang kakak berdiri dengan sorot mata khawatir. Pria dewasa yang selalu dia jadikan pedoman sekaligus saingan ini sudah mau berbicara dengannya setelah sekian lama. Air mata Travis tidak bisa ditahan lagi. Dia bergetar dan menangis.
"Kakak... Kau sudah mau menemuiku? " tanyanya.
"Aku memang kecewa denganmu Travis karena itu aku marah. Tetapi aku tidak akan bisa membencimu, " ucap Axton dan mendudukkan diri di sebelah Travis yang masih menangis.
Axton menepuk pundak adiknya yang nampak rapuh.
"Aku tidak bisa membayangkan betapa menderitanya Pamela karena menikah denganku, Kak. Aku pernah tidak sengaja melihatnya memandangi foto ini. "
"Bibi lely, aku sangat menyukai foto ini karena di situ aku bisa melihat foto Travis yang tersenyum tipis. Seandainya bayi ini lahir apakah Travis akan tersenyum tulus padanya, ataukah dia membencinya karena lahir dariku? "
"Betapa bodohnya diriku. Aku tidak pernah ingin menceraikan dia Kak. Aku hanya ingin menghukumnya sampai bayi itu lahir. Setelah Selena menemukan pria lain, aku berniat membangun rumah tangga yang bahagia bersama Pammy. "
Axton mendesah, 'Rencana konyol. Jikapun Pammy masih hidup dia akan membencimu karena pengabaian yang kau lakukan, terlebih kau sering memanjakan Selena. ' Tentu saja itu hanya bisa diucapkan Axton dalam hati.
"Semua sudah berlalu, ayo kita obati tanganmu. "
Axton hendak meraih tangan Travis. Tapi reaksi Travis cukup mengejutkan Axton.
"Tidak," jawab Travis tegas.
Travis memasang sikap waspada saat Axton hendak mengambil foto dari tangan Travis. Dia terlihat ketakutan jika Axton akan merusak foto itu seperti yang dilakukan oleh Selena.
"Hei tenanglah. Kita hanya mengobati tanganmu, jika tanganmu terluka maka foto itu juga akan kotor, " ucap Axton sendu.
Ucapan Axton menyadarkan Travis jika tangannya yang berdarah menodai foto itu. Dia segera meletakkan fotonya di ranjang dan menuruti Axton.
"Iya, Kak. "
"Bagus, sekarang biarkan bibi Lely membersihkan pecahan kaca di kamarmu, okey? "
Travis mengangguk. Dia seperti anak kecil yang menurut pada kakaknya. Perlahan ia melangkah keluar dari kamar tidur Pamela. Hal itu dimanfaatkan oleh bibi Lely untuk membersihkan lantai kamar Pamela bekas pecahan kaca.
"Mengapa anda menyiksa diri seperti itu tuan Travis. Semua sudah terlambat, nyonya sudah tidak ada lagi, seperti apapun anda menghukum dirimu tidak akan mengembalikan gadis itu, "lirih bibi Lely. Dia adalah saksi keseharian Pamela di rumah ini. Masih teringat kegembiraan Pamela ketika ingin memasak sesuatu buat pria itu.
" Bibi Lely bagaimana rasa sup tomat ini. Aku tau ternyata Travis menyukai tomat jadi aku akan membuat sup tomat untuknya. "
Ternyata saat itu Travis tidak pulang.
"Dia hari ini tidak pulang. Lebih baik kita makan bersama. "
Lely menggelengkan kepalanya ketika keesokan harinya foto Selena dan Travis yang makan malam di restoran mewah. Sedangkan yang Lely tau Pamela tidak pernah diajak jalan-jalan oleh Travis. Lely juga tau jika Pamela pasti merasa sedih namun ia tidak menunjukkan kesedihannya. Saat dia ingin menghibur Pamela, gadis itu justru berkata hal yang mengejutkan.
''Semoga mereka nantinya dapat hidup bersama setelah aku berpisah dengan Travis, Bi. Memang aku adalah orang yang memisahkan mereka. "
Wajahnya yang saat itu memerah dengan mata berkaca-kaca namun tersenyum terlihat sangat menyedihkan. Lely tidak bisa tidak membenci Travis yang seenaknya.
Setidaknya itu dulu, sekarang setelah melihat tuannya yang seolah seperti orang yang kurang waras karena penyesalan mau tidak mau membangkitkan rasa iba-nya. Sayangnya semua sudah terlambat, sangat terlambat.
Di kota kecil Queens yang jauh dari perumahan mewah Valley tempat Travis berada. Pamela masih berkutat dengan pasien di klinik. Tetapi dia memilih merawat di klinik bagian anak. Hal itu sedikit mengobati kesedihanya karena kehilangan bayinya. Mungkin inilah hal yang bisa dia lakukan.
Pamela sangat senang menggendong mereka. Menidurkan bayi yang menangis atau memberikan obat pada mereka. Tetapi tak jarang dia ingin menangis ketika harus memasang infus.
"Kau sangat menyukai anak-anak ya Patri?" tanya Suzan.
Pamela tersenyum, dia sudah terbiasa dipanggil Patricia oleh rekannya di sini.
"Benar, mereka sangat lucu. "
"Mengapa kau tidak menikah dan memiliki anak sendiri? Bukankah kau memiliki tunangan? "
"Eh? Tu-tunagan. " Pamela berkedip-kedip mencerna informasi dari Suzan.
"Oh iya aku lupa jika kau anmesia. Dokter Sean bilang kau memiliki tunangan tampan berambut pirang, wajahnya juga tampan dan berotot. "
"I-iya, aku tidak ingat," jawab Pamela agak canggung.
'Bagaimana mungkin aku ingat lagi pula dia bukan tunanganku, dia tunangan Patricia yang asli, ' batin Pamela.
"Dia pria--"
"Sudahlah aku harus mengantar obat ini dulu. Nanti aku akan bertanya pada ayah, okey? "
"Oh tentu saja. Maafkan aku. "
Langkahnya menuju pintu masuk ruangan perawat terhenti ketika mendengar bisik-bisik dari pasien yang menunggu obat. Awalnya dia tidak tertarik sampai mereka menyebut sebuah nama yang tidak asing baginya.
"Psst tau tidak gosip jika pasangan Manex yang baru menikah itu pisah rumah? "
"Sudah diduga jika pernikahan mereka agak aneh. Masa tidak ada keluarga besar Manex yang datang saat mereka menikah. "
"Iya, ditengah resepsi si mempelai pria justru pamit pulang lebih dahulu. Ini sungguh aneh. "
Pamela sangat bingung dengan gosip yang beredar. Memang di pemberitaan ada yang merilis hal tersebut tapi Pamela tidak menpercayainya. Dia pun meninggalkan sekumpulan orang itu.
'Apa kabar itu benar. Bukankah mereka seharusnya bahagia sekarang? '
Hati Pamela merasa tidak tenang. Dia menghilang dari hidup mereka karena ingin mereka berdua hidup bersama dan bahagia. Diam-diam Pamela ingin melihat kondisi mereka dan memastikan sendiri.
"Tetapi bagaimana jika mereka terganggu dengan kemunculanku? "
"Tunggu dulu, " guman Pamela dan menatap cermin. "Ayah Sean sudah membuat wajahku agak berbeda dari yang dulu. Apa mereka masih bisa mengenaliku? "
"Lagi pula aku rindu dengan ayah dan ibu. Apa mereka masih marah denganku?" guman Pamela sedih.
"Oh, benar juga. Aku bisa berdandan dengan yang berlawanan dengan karakterku dulu. Aku bisa tampil seksi, nakal agar mereka tidak curiga dengan kehadiranku." Pamela begitu bersemangat sampai ide anehnya bermunculan.
"Baik. Besok aku harus mendatangi mereka semua. ''
Diapun melakukan pekerjaannya fovoritnya yaitu merawat anak-anak. Pamela menyibukkan diri hingga tidak terasa waktu telah berlalu. Tiba saatnya untuk meninggalkan klinik dan berkutat pada permasalahan hidupnya.
Pamela kemudian memasukkan barang-barangnya ke tas. Dia pamit terlebih dahulu pada perawat yang lain sebelum pulang. Sudah saatnya ganti shif jaga.
"Sampai jumpa, salam untuk dokter Sean. "
"Baik. Akan kusampaikan. "
Pamela mengambil sepedanya dan mengayuhnya perlahan. Dalam hati dia juga ingin melihat makam bayinya. Mungkin butuh kekuatan hati dan tekad yang besar untuk menapak ke tempat yang membuatnya mengalami kejadian mengerikan. Tetapi Pamela tidak ingin ada seseorang yang menderita karena dirinya. Tidak boleh ada lagi orang yang menderita.
Rumah berhias pohon Sakura yang berarsitektur minimamis terlihat di depannya. Pamela tersenyum ketika bunga itu mulai memunculkan pucuk-pucuknya.
"Semoga saja pohon itu berbunga dengan indah. "
Tbc