"Dei...bisakah kau mengantarku ke suatu tempat? Sebentar saja, sebelum aku pulang ke desa. "
Dei duduk di meja dekat jendela apartemennya, ia menggigit pensil dengan giginya yang dihiasi bibir merah yang nampak lembut. Alisnya menukik ketika mata biru keabu-abuannya tertuju pada file di tangannya. Suara Pamela membuatnya meletakkan file itu. Dia yang tadinya fokus pada foto dan sebuah kertas memutar bola matanya ke arah gadis yang menatapnya penuh harap.
"Kemana? " tanya Dei. Jemarinya yang terlihat kokoh meletakkan pensil itu dan mengusap bibirnya seksi. Pamela harus menahan nafas pada setiap gerakan Dei yang mempesona dan jantan. Pria ini tidak nampak serius dan dewasa seperti pertama kali dia bertemu. Kesan yang ditangkap Pamela pagi ini pada Dei yang mengenakan kaos tanpa lengan dipadu celana pendek yang memperlihatkan bulu kakinya lebih terkesan nakal dan liar. Terlebih ketika ia mengacak-acak rambut pirang cepaknya saat berpikir. Dia benar-benar perwujudan godaan nakal bagi setiap wanita. Terutama di siang hari seperti ini, siluet yang dibentuk oleh cahaya matahari berpedar melalui kaca jendela apartemen menuju punggung Dei menarik perhatian mata Pamela--itu adalah sebuah karya seni.
"Aku ingin melihat orang tuaku meski sebentar. "
'Berhentilah mengaguminya Pamela, kau tidak pantas untuknya, ' batin Pamela.
'Dei berhak mendapatkan gadis yang lebih baik, bukan wanita yang gagal melindungi bayinya sepertimu. '
"Baiklah. "
Pria itu bangkit, tubuh V erotis yang dibentuk dari otot-ototnya yang indah menggembung mengikuti setiap gerakan Dei.
Pamela harus menundukkan kepalanya agar tidak terhanyut daya tarik Dei. Tidak ada harapan untuk kembali jika dia jatuh dalam pesona Dei. Pria pirang menawan yang bagaikan pemandangan itu terlalu indah untuknya yang berada di lingkaran ketidakberuntungan. Pamela takut akan menularkan ketidakberuntungan hidupnya pada Dei.
Pamela terlalu takut untuk menggapai sesuatu yang nampak berkilau ditengah hidupnya yang muram dan kelam. Dia terlalu takut mendapatkan kebahagiaan karena merasa tidak pantas memilikinya. Pamela terlalu takut kehilangan cahaya itu jika dirinya terlalu serakah.
"Tentu saja. "
Dei menuju kamarnya, dia datang setelah berganti pakaian dengan jaket kulit hitam, sarung tangan kulit dan sepatu boot.
"Kurasa kau juga perlu berganti baju, sweetie, pakai celana jeans terseksi yang pernah kau miliki. "
"Kenapa? " tanya Pamela. Tidak ada yang salah dengan rok dan sweater hijau yang ia pakai. Lagipula dia hanya akan melihat mereka dari jauh. Pamela masih takut dengan penolakan ayahnya.
"Yeah, karena aku akan memberimu pengalaman baru sweetie. "
Pamela-pun menyeret kakinya ke kamar, dia mengganti roknya dengan celana jeans. Secara mengejutkan Dei memberinya jaket kulit berwarna chamberry, terlihat modis dan seksi. Pamela tau jika memakaianya akan menciptakan kebahagiaan di hatinya. Dia tau jika tubuhnya menginginkan memakai jaket ini, namun sekali lagi dia takut akan melupakan siapa dirinya yang seorang janda dan seseorang yang tidak beruntung.
"Rupanya ini yang kau inginkan, " ucap Dei.
"Eh!? "
Dei memakaikan jaket itu langsung pada Pamela, mengancingkan tombol-tombol jaket itu dan tertawa. Pamela hanya bisa menatap jari - jari kekar Dei yang melakukan tugasnya dengan ahli.
"Bilang saja kau ingin aku memakaikan jaket ini. Ya Tuhan kau sangat cantik... Tetapi mengapa kau tidak pernah menghilangkan mendung dari bola mata paling cantik yang pernah kutemui. "
"Dei ~ini terlalu bagus untukku. "
"Aku membelinya ketika tidak sengaja lewat. Jaket ini seolah memanggilku untuk diberikan padamu. Aku bersyukur menurutinya karena kau terlihat luar biasa. "
Wajah Pamela kembali memerah, ia akan mengingat satu demi satu perlakuan istimewa Dei. Pamela pasti akan membingkai sikap manisnya dalam otak. Sehingga Pamela bisa tersenyum karena pernah merasakan rasanya diperlakukan istimewa di saat ia sudah terbiasa dihina.
Grep.
"Kyaaa. "
Secara mengejutkan Dei menggendong Pamela, namun tidak dengan kedua tangannya. Melainkan dengan memanggulnya seperti beras.
"Mengapa kau selalu terbengong. Ada hal yang menyenangkan menunggu kita. Aku tidak akan membiarkan gadis berwajah cantik ini terus melamun. "
"Turunkan aku Dei!" pekik Pamela.
"Tidak, karena aku takut kau akan kembali melamun. Oh tapi itu tidak buruk. Lain kali jika melamun lagi, aku akan melahap bibirmu. "
Wajah Pamela dirambati rona pink lagi. Namun kondisinya yang dipanggul seperti karung beras sungguh tidak elite.
Langkah Dei berhenti di parkiran apartemen. Dei menurunkan Pamela di depan benda kesayangannya.
"Dei ini... "
Pamela takjub dengan benda didepannya. Sebuah motor Harley Davidson terpakir rapi di sana. Seolah memanggilnya untuk menaikinya.
"Wow. Ini luar biasa. "
"Akan lebih luar biasa jika kau menaikinya dengan pinggang indah di balut jaket seksi itu sweetie, " ucap Dei. "Itu akan menambah nilai plus motorku. "
Kaki Dei merenggang mengangkangi motor itu. Dia memakai helm lalu menarik tangan Pamela untuk mendekat. Sekarang dia nampak seperti badboy yang menawarkan pengalaman nakal untuk siapapun.
"Kau ingin aku menggendongmu Lagi? "
"Tidak-tidak. "
Pamela mengikuti Dei, rasanya sungguh luar biasa bisa menaiki motor mahal ini. Bahkan dalam mimpi terliarnya, Pamela tidak pernah berani memimpikannya.
"Pegangan. "
Tangan Pamela melingkar di pinggang Dei. Suara deruan motor menggema dan melesat ke jalan raya. Jantung Pamela berdentum saat memeluk pinggang Dei. Pria ini hangat dan keras bersama otot-ototnya. Pamela harus membiasakan diri bersikap intim bersamanya. Satu-satunya pria yang memiliki interaksi terintim bersamanya ketika dalam kondisi sadar.
.
.
.
Pinggiran di mana Meadow lane tempat dimana kediaman Mikoto berada, Travis menjalani terapinya dengan rileks. Obat yang mengurangi efek halusinasi dari dokter Patnert membuatnya jauh lebih tenang. Meski ada kesedihan dimatanya, namun Travus tidak lagi mengatakan hal yang tidak masuk akal.
Sebuah kopi diletakkan di atas meja dimana Travis duduk dikursi aerochair-nya. Travis menoleh pada wajah patuh baya yang cantik meski terdapat guratan halus diwajahnya.
"Bagaimana kondisimu, Nak? " Maria duduk di sebelah Travis. Taman rumahnya yang nyaman menjadi pilihan Travis untuk berpikir betapa kacau dirinya selama ini.
"Aku baik-baik saja. Surat perceraian sudah aku tanda tangani. "
"Itu bagus, Selena tidak bisa menjadi istri yang baik untukmu. Dari sikapnya ibu menyadari jika dia hanya bersedia berada di dekatmu hanya jika kau mewujudkan ego-nya. "
''Seharusnya aku menyadari sifatnya dari dulu saat ia menghina Pammy, Bu. Tetapi aku terlalu bodoh untuk menyadarinya. Bahkan aku diam saja melihatnya mempermalukan Pammy."
"Kau jangan terus menerus menyalakan dirimu Nak. Pammy sudah bahagia di sana. "
Travis tersenyum lemah. Tetapi hatinya masih menolak untuk percaya jika Pamela sudah tiada. Travis merasa Pamela sedang menghukumnya karena dia mengabaikannya selama ini.
Travis kembali teringat saat itu ketika dia dan Selena pulang ke rumah untuk mengambil dokumen yang tertinggal.
"Apa tuan menolak mengantar anda periksa kehamilan lagi nyonya?"
"Tidak apa-apa Bi, Travis sedang sibuk jadi aku memakluminya. "
Selena yang mendengarnya datang menimpali percakapan mereka.
"Kau ingin mendapatkan perlakuan istimewa dari Travis. Sadarlah anak itu tidak pernah diinginkan Travis. Sama sepertimu yang hina, dia pasti menuruni kelakuan hinamu. "
Dan seperti biasa, dirinya hanya diam melihat Selena memaki Pamela. Travis bahkan lupa jika seharusnya dia menemani Selena hingga gadis itu mendapatkan suami. Saat itu tiba maka Travis akan memulai hubungan dengan Pamela. Kesabaran dan sikapnya yang baik perlahan menarik Travis untuk mengenalnya.
Travis memijit pelipis-nya yang berdenyut.
"Aku akan keluar sebentar, Bu."
"Travis, kondisimu masih lemah. Jangan keluar dulu, Nak, setidaknya bawa sopir untuk mengantarmu. "
"Tidak, aku hanya ingin ke makam Pamela dan bayiku. "
'Rupanya dia mulai menerima kenyataan, ' batin Maria.
.
.
.
"Apa kau puas? " Dei menemani Pamela memandang rumah yang dihuni dua orang paruh baya. Dari ujung jalan, mereka melihat aktivitas kedua orang itu yang sedang bersantai menikmati hari.
Pamela tersenyum dan mengangguk, "Yeah, ada tempat yang ingin aku datangi lagi, bisakah kau mengatarku ke sana?" pinta Pamela. Dia tidak sadar jika sedari tadi memeluk pinggang Dei.
Dei-pun memacu motornya ke arah yang di sebutkan Pamela. Pamela ingin mengunjungi makam bayinya lalu pulang ke Queens.
Dia tidak tau jika rangkaian benang takdir mengikat mereka untuk bertemu dengan masa lalunya.
Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua adalah jalan takdir yang dirangkai untuk tujuan tertentu.
Travis yang hendak menghentikan mobilnya melihat bayangan Pamela yang melintas melewatinya. Rambut pirang madunya berkibar tertiup angin dibalik helm yang ia kenakan. Bisa jadi Pamela baru saja berkunjung dari makam bayinya.
"Pamela!"
Travis berniat mengejar mereka. Dia yakin jika gadis itu Pamela. Travis ingin kehilangan Pamela lagi. Harapan besar muncul di hatinya. Ternyata perasaannya tidak salah. Pamela masih hidup. Dia terus mengejar Pamela yang terus melaju bersama motor menuju daerah perbatasan.
Ciiiit.
Sebuah truk melintas menghalangi Travis. Karena tidak siap Travis terlambat menginjak rem dan mobilnya oleng menghantam pembatas jalan yang juga menyeret mini bis.
Suara memekakkan telinga membuat para pengendara menghentikan mobilnya.
Suara sirine pun terdengar. Tim penyelamat berusaha menolong korban. Namun ketika Travis hendak dikeluarkan dari mobil yang hendak jatuh ke tebing, ia menolak.
"Tolong korban lainnya dulu. "
Hingga akhirnya gilirannya tiba, anehnya Travis tetap tidak ingin menerima uluran tangan tim penyelamat.
"Hei, ayo ulurkan tanganmu. "
Travis masih terdiam. Dia sadar jika sudah tidak sanggup lagi hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah. Bisa saja gadis yang ia ikuti tadi hanya bayangannya seperti yang sudah-sudah. Travis tidak sanggup lagi menjalani hidup. Dia sudah lelah dan ingin beristirahat. Mungkin jika dia mati maka dirinya bisa bersama lagi dengan Pamela.
'Pamela di kehidupan yang akan datang aku akan mencarimu. Jika kau memiliki kekasih aku akan membuatmu mabuk dan menghamilimu. '
Travis tersenyum miris. 'Aku mencintaimu Pammy. Andaikan saja waktu bisa kembali maka kita sudah menggendong bayi kita. '
Selain pernikahan yang dipaksakan, sebenarnya Travis lebih takut untuk menjadi seorang ayah. Dia tidak mendapatkan contoh menjadi ayah yang baik dari James--ayahnya. Jadi kehamilan Pamela sebenarnya menakutinya. Travis takut jika tidak bisa menjadi ayah yang baik.
Tbc