Pertemuan

1570 Words
  Suara klakson truk itu menggema dengan keras. Menarik seluruh perhatian penghuni jalan. Berbondong-bondong pengendara kendaraan yang berhenti keluar untuk melihat kejadian. Mereka nampak ngeri melihat rawannya mobil yang bertabrakan itu terjatuh ke tebing.   Mobil, mini bis dan truk berjajar dalam kondisi kritis di tepi tebing--tidak stabil. Benda pengangkut manusia itu bisa terjatuh kapanpun.   Kedatangan tim penyelamat dan para pihak terkait membawa sebuah harapan. Saat satu orang berhasil diselamatkan muncul harapan jika semua baik-baik saja. Itu tidak menyurutkan ketegangan yang masih berlangsung. Tim penyelamat terus bekerja secara profesional. Mereka sukses menarik penumpang satu-satu dari mobil yang hampir terjatuh itu. Seperti sebuah keajaiban, para korban berhasil dievakuasi dengan lancar. Helaan lega datang dari penonton yang berada di pinggir jalan saat nyawa berhasil tertolong. Namun ketegangan itu kembali mencekam saat satu pria menolak untuk diselamatkan.   "Ada satu orang yang menolak ditolong! " teriak salah seorang tim penyelamat.   "Ayolah, ulurkan tanganmu!" teriak tim penyelamat. Untuk kesekian kali.   Tapi percuma, seorang pria yang berada di dalam mobil mewah itu tetap tidak bergeming.   "Ya Tuhan! "   Mobil mewah yang didalamnya terdapat pria yang enggan diselamatkan akhirnya meluncur ke bawah. Teriakan histeris terdengar mengiringi kengerian di sana.   "Oh! Mobilnya tersangkut! " teriak tim penyelamat yang masih menapak dinding tebing dengan tali pengaman.   Di tepi jalan tempat orang-oramg menonton adegan penyelamatan. Pamela ikut berdiri menonton adegan itu. Keriuhan disana seolah tidak berpengaruh pada Pamela. Dia membeku melihat mobil yang sudah ia kenal dengan baik merosot ke tebing. Nafasnya seakan terhenti melihat Travis yang berada di dalamnya memilih mati.   "Tidak. "   "Tidak, Travis--!"   Sebelum Pamela meneriakkan nama Travis. Dei meluncur ke tempat dimana tim penyelamat memegang kepalanya karena kebodohan orang yang ingin mati. Dei mengambil tali, mengikat ke tubuhnya, melompat dan menuruni tebing.   "Dei...! "   Melihat aksi Dei, Pamela seolah melihat Tom cruise, Orlando bloom, atau siapapun yang memerankan film action secara live di depannya. Dia bersinar dengan aksi heroik bodoh karena memaksakan diri menyelamatkan pria bodoh yang ingin mati.   "De--i Dei! "   Pamela harus menyeret kakinya yang gemetar menuju tebing. Dia ketakutan dan ingin menarik Dei ke atas.   "Ya ampun, pria pirang itu memukul korban hingga pingsan! " teriak salah satu tim penyelamat.   "Itu bagus. Dengan demikian dia tidak akan melawan ketika diselamatkan. "   "Akhirnya! "   Keadaan hening ketika Dei muncul dari pembatas dengan menggendong Travis di punggungnya. Dia mengikat dirinya dan Travis dengan tali pengaman. Lengannya menggembung sebagai bukti Dei telah bekerja keras. Keringat di dahi dan rambut pirangnya bercampur tanah. Ditambah goresan menghiasi Dei--nampak kacau tapi jantan. Dia seperti menyedot semua aroma maskulin di sekitarnya. Dei bersinar dengan aroma maskulin yang kuat.   Sorakan terdengar sesaat kemudian.   "Good job, Man. "   Tim penyelamat langsung membantu Dei. Mereka melakukan serangkaian gerakan rumit untuk membantu Dei dan mengangkatnya bersamaan dengan Travis. Beberapa diantara mereka mengumpat meski tidak membenci Travis. Pamela merasa sangat lega.   Pamela mendekati Dei yang mengusap otot lengannya. Ada banyak tanah bercampur warna kemerahan di lengannya yang gempal. Bajunya juga sobek dengan parah. Dia pasti kesal karena itu baju kesayangannya.   "Aku terlihat kacau, beruntung jaketku sempat aku taruh," ucap Dei. Otot di perut itu nampak bagus di tubuhnya. Kombinasi otot yang ia miliki mulai dari lengan dan perut seperti pahatan yang tidak mengecewakan.   Grep.   Tanpa sadar Pamela memeluknya. Entah kenapa dia memeluknya, Pamela sendiri tidak tau. Apakah karena dia khawatir dengannya atau karena ia sudah menyelamatkan Travis.   "Kau bisa terluka. "   "Tapi aku tidak bisa membiarkan orang lain tewas didepanku. Apalagi setelahnya aku mendapat pelukan seperti hangat darimu--aku bahagia. "   "Dasar bodoh. "   Suatu tindakan mulia yang menakjubkan. Pria yang terlihat liar yang memiliki senyum nakal ternyata memiliki jiwa kemanusiaan yang manis. Sesuatu yang membuat Pamela kagum.   Kejadian ini menyadarkan Pamela jika dia tidak bisa lagi bersembunyi dari Travis. Perasaan bersalah sudah menyakiti Travis begitu dalam. Ternyata sandiwara yang ia lakukan tidak membuat Travis lebih baik. Pantas saja dia memilih kematian dari pada hidup, mungkin hari-hari yang ia jalani seperti di neraka. Terlebih Pamela yakin Travis pulang dari makan bayinya.   Ya, kematian bayinya adalah alasan tepat yang membuatnya kehilangan semangat hidup. Meski ada segumpal kebencian yang muncul di hatinya pada Travis tetap saja Pamela tidak ingin ada yang kehilangan nyawa.   "Dei, mereka menuju klinik ditempatku bekerja. Aku ingin kesana untuk membantu korban. Bisakah kau antarkan aku? "   "Tentu saja, suatu kehormatan melihatmu memakai baju perawat yang manis itu. Kau pasti terlihat luar biasa, " ucap Dei.   "Kau terlalu menyanjungku Dei. "   "Karena kau pantas mendapatkannya. "   "Tidak, yang pantas mendapatkan sanjungan adalah pria pirang yang melompat ke tebing untuk menolong nyawa seseorang. Dialah pahlawan yang pantas di sanjung. "   "Jika demikian aku pantas mendapatkan ciuman. "   "Tentu saja, jika pria itu sadar aku akan menyuruhnya menciummu. "   Pamela terkikik melihat Dei cemberut. Ya Tuhan, Pamela sangat bersyukur pria ini muncul dalam hidupnya. Dei seolah mengembalikan senyum yang telah lama hilang darinya.   Satu persatu para penonton membubarkan diri. Ambulan merujuk korban luka ringan ke klinik Pamela bekerja.   Para perawat menatap syukur ketika melihat Pamela. Setidaknya tidak ada pasien yang terlantar karena kekurangan tenaga. Bersyukurlah pasien disana hanya menderita luka memar dan goresan. Tidak ada yang parah. Hanya satu pasien pingsan dan itu adalah Travis.   Usai menolong para korban, Pamela beralih ke Dei yang menunggu diruangannya. Dia membuka baju pria itu hati-hati agar tidak menggesek lukanya. Pamela tau Dei juga terluka.   Namun ketenangannya perlahan hancur ketika harus membuka pakaian Dei.   Oh Tuhan. Apakah setiap pria memiliki tubuh seindah ini?   "Aku ingin menangis, " ucap Dei.   "Mengapa? Adakah yang sakit? " tanya Pamela panik.   "Tidak, bukan itu. Aku hanya menginginkan kau membuka bajuku di kamarku. Bukan disini, " jawab Dei dengan mata berkaca-kaca.   "Kau hampir membuatku mendapatkan serangan jantung Dei, " gerutu Pamela.   "Bagaimana kabar pria yang bermasalah tadi?"   "Dokter sudah merawat Travis, " ucap Pamela.   "Travis? "   "Orang yang kau selamatkan, dia--mantan suamiku. "   Dei terdiam, matanya mengawasi Pamela yang masih sibuk membersihkan lukanya sambil meniup kecil mereka. Bibirnya yang mengerucut imut saat meniup lukanya mengundang untuk dilahap. Sayangnya ada hal yang lebih penting saat ini.   "Mantan suamimu? "   "Aku pernah hamil dan makam yang aku kunjungi tadi adalah makam bayiku yang belum sempat menghirup udara ketika lahir. Aku menduga jika itu yang menjadi penyebab Travis tidak memaafkan dirinya."   "Bukankah itu takdir? " tanya Dei.   "Mungkin saja, saat aku melahirkan-- dia menolak datang untuk menolongku dan memilih tinggal dengan mantan tunangannya. "   Dei terdiam, matanya mampu menangkap sinar kesedihan di wajah Pamela. Dalam hatinya bertanya-tanya mengapa ada orang yang menghukum dirinya hingga seperti itu dan kesedihan apa yang pernah dialami Pamela. Ternyata semua lebih buruk dari dugaannya.   "Kami menikah karena aku hamil dengannya. Itu terjadi karena kecelakaan. Waktu itu kami mabuk. "   "Aku bisa menebak jika pria itu tidak memperlakukanmu dengan baik? "   "Itu wajar. Siapapun akan marah jika dipaksa berpisah dengan wanita yang ia cintai terlebih mereka sudah bertunangan. "   Pamela selesai membersihkan dan mengolesi obat pada Dei.   "Hanya saja mengapa bayiku menjadi korban kebencian mereka. Padahal aku sudah berencana berpisah dengannya ketika bayi itu lahir. "   Setetes air mata terjatuh di pipi Pamela. Kembali bayangan bayinya yang dingin menusuk dadanya dengan kejam.   Dei menarik Pamela ke dalam pelukannya. Astaga, ternyata gadis ini sudah sangat terluka. Yang menyedihkan, ternyata lukanya sangat dalam dan menyakitkan.   "Menangislah Patri, tumpahkan kesedihanmu padaku. Mengeluhlah padaku, keluarkan emosimu. Tubuhku begitu kuat, aku sanggup menopangmu dari apapun. "   Akhirnya ada seseorang yang bisa Pamela raih untuk menumpahkan kesedihannya yang terpendam selama ini. Sebab tidak seorangpun yang berada di sisinya. Pamela juga tidak bisa sembarangan bercerita kepada orang lain karena takut Sean akan tau jika dirinya sudah ingat segalanya.   Pamela menjulurkan tangannya untuk memeluk Dei. Dia tidak menahan tangisannya lagi. Meski tidak etis menangis di tempat kerja tetapi Pamela sudah terlalu lama memendam kesedihan ini sendiri. Untuk kali ini biarlah dia tidak profesional. Hanya untuk hari ini.   Sekarang, muncul pria yang menawarkan sandaran pada dirinya. Seseorang yang sudah lama tidak ia miliki semenjak menikah.   Travis tersadar dari pingsannya, ia merasakan pusing di kepalanya. Matanya perlahan terbuka.   "Jangan bergerak terlalu banyak. Tanganmu sedang diinfus. "   Travis mendengar suara yang sudah sangat ia kenal. Travis terbelalak melihat rambut pirang madu dan mata hijau yang sangat ia kenal.   "Pamela...? "   Pamela menoleh, dia memandang iba pria yang menghancurkan dirinya dan hampir bunuh diri ini. Tetapi dia tau jika harus menjaga jarak dengan Travis.   "Kau--?"   Travis menggosok matanya. Memang benar warna mata dan rambutnya serupa dengan Pamela, tetapi jika diamati lebih lanjut gadis didepannya terlihat berbeda.   "Siapa kau... Pamela--Apa kau operasi plastik? "   "Saya perawat disini. Dan tolong anda bersikap baik agar saya bisa melayani pasien lain yang juga membutuhkan saya. "   Pamela meninggalkan Travis setelah mengganti infus. Apalagi keluarganya sebentar lagi akan datang. Dia tidak ingin berada di antara mereka untuk saat ini.   Travis tidak mampu berkata-kata, ia hanya memandang kepergian Pamela dengan rasa penasaran yang tinggi. Dia sangat bingung dengan semua ini.   "Dia pasti Pamela, aku bisa melihat amarah dimatanya. Dan juga, tidak mungkin ada orang yang kebetulan memiliki suara, mata dan warna rambut yang sama."   Travis merasakan harapan baru. Dia yakin jika gadis tadi adalah Pamela.   "Ya Tuhan, hampir saja aku mati padahal Pamela masih hidup. Jika itu terjadi aku pasti akan sangat kesal. "   Travis kembali menutup matanya. "Sepertinya aku butuh tidur, aku yakin jika saat ini aku tidak akan diganggu oleh mimpi buruk lagi. "   Yah,  bertemu dengan Pamela membangkitkan semangat hidupnya. Travis juga merasa kelelahan dengan rasa bersalah karena mengira Pamela meninggal. Sekarang beban di dadanya seolah terangkat dan menghilang. Akibatnya dia merasa mengantuk. Sudah lama sekali dia tidak tidur dengan tenang.    Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD