Part 2

842 Words
Malam itu aku tidak bisa tidur, pikiranku melayang pada kejadian tadi siang. Tidak dapat dipercaya jika kemarin aku adalah wanita single, sedangkan dalam hitungan beberapa jam statusku sudah berubah menjadi calon isteri dari seorang pria bernama Erick. Aku memejamkan mataku, berharap jika semua ini adalah mimpi belaka. Tapi sayangnya, ketika aku membuka mataku lagi, aku dapat melihat langit-langit di dalam kamarku dengan jelas. Mengingatkan diriku jika semua ini adalah nyata. Sebuah kenyataan yang harus kuhadapi apa pun resikonya. Sebuah ketukan di pintu membuatku tersadar dari pikiranku sendiri. Aku melirikkan mataku ke arah pintu kamarku. Dan mendapati Rere yang sedang tersenyum tipis berdiri di ambang pintu kamarku yang terbuka. "Boleh aku masuk?" tanyanya. Aku menganggukan kepalaku sekali sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilontarkannya padaku tadi. Ia melangkah masuk ke dalam kamarku, mendekati aku yang sedang bangkit dari posisi tidurku dan duduk diatas tempat tidurku. Rere mengambil tempat di sisi tempat tidurku. "Ada apa, Re?" tanyaku sambil menatap wajahnya yang tampak gelisah. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya Rere membuka suaranya. "Ri, aku mau minta maaf. Gara-gara aku yang bodoh kamu harus menghadapi pernikahan ini." Mendengar ucapan maaf dari bibir Rere membuat berpikir bahwa apakah ia menyesal atau merasa bersalah atas kejadian ini? Tapi untuk apa disesali karena apa yang telah terjadi saat ini sudah tidak dapat diubah. Akhirnya aku pun tersenyum lirih. Memandang wajah Rere yang tampak kacau, karena biasanya ia selalu tampak cantik. "Sudahlah Re, tak usah menyalahkan dirimu sendiri. Mungkin semua ini sudah menjadi jalan dalam hidupku." Rere terdiam, tapi dari raut wajahnya aku tahu jika ia cukup terkejut dengan ucapanku tadi. Masih dapat kuingat dengan jelas semuanya, kejadian dimana aku selalu menjadi seorang stuntman baginya. Seperti saat itu, ketika kami masih duduk di bangku sekolah menengah atas, ketika itu Rere harus membaca Undang-Undang Dasar pada saat upacara, tapi ia tidak ingin melakukannya maka ia pun berakhir dengan memohon kepadaku untuk menggantikannya sebagai dirinya. Aku yang sebagai kakak harus selalu dapat melindungi adiknya. Karena hal itu seperti sebuah petuah yang harus selalu diingatkan kedua orangtuaku ketika aku kecil. Hingga akhirnya aku menyetujui permintaan Rere untuk menggantikan dirinya membaca Undang-Undang Dasar saat upacara hari itu. "Ri..." Suara Rere membuatku tersadar akan ingatan masa laluku. Jika dipikir-pikir bukankah hal yang terjadi saat ini sama seperti saat itu? Saat dimana Rere tidak ingin membaca Undang-Undang Dasar? Tapi disisi lain aku sangat menyayanginya. Dia adalah saudaraku satu-satunya yang kupunya. Saudara yang selalu ada untukku ketika aku sedang bersedih. Aku ingat saat itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku pulang dari les dalam keadaan menangis, Rere yang melihatku langsung menghampiriku dan bertanya alasan mengapa aku menangis. Akhirnya aku menceritakan apa yang terjadi saat itu, baha Dion-lah penyebab aku menangis. Laki-laki bertubuh tambun itu terus menarik rambut panjangku selama kami sedang dalam kegiatan belajar ditempat les. Keesokan harinya, entah apa yang telah diperbuat Rere pada Dion, hingga akhirnya laki-laki itu meminta maaf kepadaku dan berjanji tidak akan mengulangnya lagi. "Sudahlah Re, semua sudah terjadi. Bagaimana jika kita menganggap semua ini terjadi karena aku melakukannya demi ayah kita, bukan demi kamu," bujukku. Karena aku juga tahu jika didalam hatinya ia merasa sangat bersalah atas kejadian ini. Menikah dengan pria yang tidak dikenal tidak akan pernah indah seperti novel-novel yang pernah dibacanya. Semua itu too good to be true. Sehingga Riri tidak berani untuk membayangkan seperti apa nanti kehidupan pernikahannya. "Tapi Ri, aku lebih bisa terima jika kamu marah padaku. Bukan pasrah seperti ini," bantah Rere. Dalam hati aku merasa aneh, bukankah jika aku menerima semua ini dengan pasrah akan lebih mudah untuknya? Rere dapat menikah dengan Benny, pria yang dicintainya dan Ayah dari bayi yang sedang berada di dalam kandungannya. "Marah?" Aku tertawa kecil. "Aku memang marah Re, tapi apakah ada pilihan lain buat aku meskipun aku marah padamu dan ayah?" sindirku. Aku bukan hanya marah, aku sangat marah. Tapi aku tahu kemarahanku akan berakhir sia-sia. Tidak akan ada yang berubah, seberapa besar rasa marah yang aku miliki. Sejak awal aku tahu, tak pernah ada pilihan di dalam hidupku. Rere-lah yang selalu berkesempatan untuk memilih, bukan aku. Tubuhnya yang sedikit lemah membuat dirinya selalu diutamakan. Padahal tak seorang pun yang tahu betapa lemahnya hatiku, meskipun secara fisik tubuhku lebih kuat dari Rere. Tapi aku terus bertahan karena aku sudah berjanji dalam hati untuk tidak akan menyusahkan Ayah yang saat itu terus berjuang keras mencari nafkah sekaligus mengurus kami. "Maafkan aku, Ri.." Air mata mulai mengalir di pipi putih milik Rere. Aku mengangkat sebelah tanganku dan menghapus air bening tersebut. "Jangan menangis. Kamu sedang hamil dan menangis tidak baik untuk bayimu," ucapku lembut. Meskipun hatiku juga sedang berusaha menekan air mata yang hendak keluar dari balik pelupuk mataku. "Tapi, apakah kamu akan baik-baik saja?" tanyanya ragu. Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya memberikan senyum tipis untuknya. "Tentu saja," jawabku singkat. Meskipun dalam hati aku sempat ragu akan jawaban yang baru saja aku berikan kepada Rere. Tanpa diduga Rere meraih tanganku dan menggenggamnya. "Terima kasih Ri untuk semuanya selama ini dan sekali lagi aku minta maaf." Akhirnya yang bisa kulakukan hanya tersenyum lirih. Berharap jika semuanya akan baik-baik saja. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD