Part 3

1275 Words
Ketika semua mempelai wanita berharap hari pernikahannya segera tiba. Mewujudkan impian mereka menikah dengan pria yang mereka cintai. Tapi semua itu tidak akan pernah terjadi di dalam hidupku. Sebaliknya, aku berharap hari ini tidak pernah datang. Aku memandang wajahku yang sudah dipoles make up oleh seorang perempuan yang kira-kira berusia empat puluhan. Harus kuakui hasil karyanya memuaskan, bahkan aku sendiri tidak menyangka jika perempuan yang berada di dalam cermin itu adalah diriku sendiri. Gaun putih panjang yang melekat pas ditubuhku terjatuh indah di atas lantai keramik ini. Pintu terbuka, wajah Rere muncul dibaliknya. “Waktunya mempelai wanita untuk keluar,” katanya memberitahuku. Aku mengangguk tipis dan mencengkeram erat buket bunga mawar putih yang berada dalam genggaman tanganku. Setelah menarik nafas panjang dan meyakinkan diriku sendiri jika semuanya akan baik-baik saja, aku melangkahkan kakiku keluar dari ruangan ini. Ayah menyambutku dengan senyum bahagia yang tercetak jelas diwajahnya yang sudah tidak muda lagi. Ia melingkarkan tanganku pada lengannya dan menepuk pelan punggung tanganku seakan memberikan aku kekuatan agar tidak gugup. Jujur saja jantung ini berdegup dua kali lebih kencang dari biasanya. Ketika pintu kayu itu terbuka lebar, kami pun melangkah bersama menuju pelataran, di mana pria yang akan menjadi calon suamiku berdiri menungguku dengan wajah datarnya. Aku mengankat wajahku sedetik untuk melihatnya yang ternyata sedang memandangku balik sebelum memutuskan untuk menundukkan kepalaku. Setelah selesai mengucapkan janji nikah dihadapan Tuhan, sekarang aku dan pria yang berdiri di sisiku telah sah menjadi sepasang suami dan istri. Aku meliriknya yang berdiri di sisiku. Harus kuakui ia terlihat tampan dan gagah dibalik tuxedo hitam miliknya. Ada secuil rasa bangga dalam diriku, setidaknya sekarang akulah pemilik pria tampan itu. Meskipun hal ini tetap saja tidak membuat aku bahagia dengan pernikahan ini. Kami menyalami setiap tamu yang datang pada acara pernikahanku. Mulai dari tamu yang kukenal hingga yang tidak aku kenal. Rasanya seluruh tulang di dalam tubuhku akan rontok dalam beberapa jam lagi bila acara ini tidak selesai dalam hitungan beberapa jam lagi. Karena satu hal yang paling aku inginkan saat ini adalahku acara ini segera berakhir. Pikiranku teralih ketika seorang wanita cantik dan anggun bak model sedang berbaris dengan tamu lain untuk memberi selamat kepada kami. Dari awal aku melihat sepasang mata wanita itu terus memandang wajah Erick atau lebih tepatnya suamiku. Aku dapat melihat cinta yang terlihat jelas di dalam pandangan matanya. Maka aku memberanikan diri untuk melirik Erick, sekedar melihat bagaimana ekspresi pria itu saat ini. Dan ternyata dia juga sedang memandang wanita itu! Hanya tatapan matanya tidak dipenuhi cinta seperti milik perempuan itu, melainkan tatapan yang dipenuhi dengan keterkejutan. “Selamat atas pernikahanmu,” ucapnya ketika mereka sedang bersalaman. “Jahat sekali kamu meninggalkanku demi wanita seperti dia. Kamu juga jahat tidak mengundang aku ke pernikahan kamu. Untung saja Om Rudi mengabariku, sehingga aku bisa datang di hari pernikahan kamu,” lanjutnya disusul senyum sinis dan pandangan penuh menilai. Dari kata-kata yang terlontar dari bibirnya yang merah, aku dapat menebak jika ia hanyalah salah satu wanita yang tidak berhasil melupakan Erick dari hidupnya. Tapi sayangnya sepertinya wanita ini harus menelan kekecewaan. “Maaf nona antrian tamu kami semakin panjang,” ucap Erick datar. Tidak memedulikan satu perkataan yang tadi dikatakan oleh wanita itu. Akhirnya wanita itu pergi tanpa berkata apa-apa. Mungkin tidak ingin membuat dirinya sendiri malu di depan umum. Acara terus berlangsung dengan baik. Aku tersenyum lega, karena akhirnya acara penikahan ini selesai. Rasanya aku sudah tidak sabar untuk menjatuhkan tubuhku di atas tempat tidur yang empuk. Juga memanjakan seluruh tubuh ini di dalam bath tub yang dipenuhi air hangat yang dapat membuat semua rasa pegal pada tubuh menghilang. Membayangkannya saja membuat diriku tak sabar untuk berjalan meninggalkan pesta pernikahan ini. Tapi sepertinya aku melupakan sesuatu, karena setelah menikah semuanya sudah tidak sama lagi. *** Erick langsung memboyongku malam itu juga ke rumahnya. Setelah pamit kepada ayah dan Rere, kami langsung berangkat. Dan di sinilah aku sekarang, rumahnya atau rumah kami, entahlah. Rumah besar bergaya minimalis ini sangat menarik dimataku. Jujur aku menyukai rumah ini. Rumah dengan satu lantai tapi luasnya bukan main. Ketika aku masuk, ruang tamu yang luas sudah lengkap dengan furniturenya menyambut kedatanganku. Begitu juga ketika aku memasuki ruang tv, dapur dan kamar. Ternyata Erick telah mempersiapkan segalanya dengan baik. Aku menoleh kebelakang, aku melihat Erick sedang membawa koper yang berisi baju-bajuku ke dalam rumah. Aku memang tidak banyak membawa barang. Hanya baju saja dan diriku sendiri. Erick membuka sebuah kamar besar yang terletak paling depan diantara kamar-kamar yang lain. Dilihat dari luasnya sepertinya ini kamar utama. Sebuah tempat tidur king size telah berada di tengah ruangan. Dengan meja lampu di kedua sisi ranjang. Aku melangkah masuk ke dalam dan aku menemukan kamar mandi pribadi di dalamnya. Aku tidak menyangka jika Erick memiliki rumah seluas dan seindah ini. "Aku tidur sebelah kiri dan kamu sebelah kanan." Suara beratnya memecahkan keheningan diantara kami. Aku mengangguk setuju, tanda mengerti atas apa yang baru saja ia katakan. "Mulai sekarang ini rumahmu. Di rumah ini ada Bu Munaroh yang tinggal bersama kita, dia sudah seperti ibu keduaku. Kalau kamu butuh sesuatu kamu bisa minta tolong kepadanya. Tapi mungkin malam ini dia sudah tertidur. Dan kamarnya di dekat dapur," jelasnya yang tanpa aku sadari sedari tadi kegiatan yang kulakukan hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. "Baiklah, aku rasa kamu juga lelah," ujarnya. Ia melepas jasnya perlahan. Waitt!! Aku belum siap! Aku dapat melihat tubuhnya yang proposional dengan kemejanya yang sekarang telah bebas dari jasnya. Aku yang bingung harus melakukan apa hanya terdiam seperti patung. Erick yang melihatku terdiam menghampiriku. Matanya yang cokelat menatapku dan wajahnya semakin mendekat. Aku diam saja, perasaan tegang dan bingung menjadi satu menyelimuti jiwaku. Tangannya terangkat dan jemarinya mulai mendekati wajahku. Aku memejamkan mata. Aku tak tahu harus melakukan apa! Pletak! Ouch! Aku mengusap keningku yang terasa sakit. Kubuka mataku dan bertemu dengan matanya yang sedang menatapku balik. Tangannya masih mengambang di depan wajahku. Jari tengah dan jempolnya bersatu. Dia baru saja menyentil keningku. Apa maksudnya!? "Jangan berkhayal Nyonya Riri Hardiansyah," ucapnya datar. Dari suaranya ia menekankan ucapannya ketika menyebut Hardiansyah. Well, itu namanya. Bukan namaku. Nama asliku Riri Purnawati. Dan barusan dia memanggilku dengan nama belakangnya. Sekejap ucapannya berhasil membuat pipiku merona. Perkataannya sukses membuatku mengingat jika saat ini aku adalah isterinya. Dan itu sungguh membuatku tersipu. "Aku belum mau menyentuhmu. Atau mungkin tidak akan menyentuhmu selamanya. Ini sebagai hukuman untuk ayahmu yang seenaknya saja menukar mempelai pengantinku. Padahal ibuku sudah memilih saudarimu." Ia tersenyum sinis kepadaku. Aku begitu marah karena dia menyebut ayahku seakan ayahlah yang bersalah. Ayahku hanya menawari kebijakan kepadanya. Walaupun aku marah karena harus menggantikan posisi yang seharusnya saat ini dimiliki Rere. Tapi aku akan membela ayah yang amat kusayangi walaupun harus menghadapi pria yang berstatus suamiku ini. "Tuan Erick Hardiansyah yang terhormat, anda tidak boleh menghina ayah saya. Bagaimanapun dia adalah seorang ayah yang menyayangi anaknya," belaku. Kedua tanganku sudah tersampir disisi pinggangku. "Oh ya!? Apakah menyodorkan anaknya yang lain kepadaku termasuk menyayangi anaknya? Dia hanya tidak ingin menanggung malu jika aku membatalkan pernikahan ini wanita bodoh!" ejeknya. Apa dia bilang!? "Jangan sembarangan kau! Bagaimanapun dia adalah ayahku." Aku menahan amarahku. Lalu ia tertawa. Rasanya aku ingin menampar wajah tampannya. "Yah silahkan saja kau puji dan bela ayahmu." Ia mendekatkan wajahnya lagi dan menatapku. "Welcome to your nightmare life. I wont be easy with you. So be ready my wife!" Setelah selesaikan mengucapkan salamnya, lalu ia beranjak pergi dari hadapanku dan menghilang ke kamar mandi. Meninggalkan aku seorang diri dengan amarah yang masih bergejolak didalam dadaku. Baiklah suamiku, aku siap menghadapimu! batinku. Bersiap menghadapi kehidupan pernikahanku. Pernikahan memang bukan akhir dari happy ending. Tapi pernikahan adalah awal dari perjuangan dalam menghadapi rintangan baru. Semangat Riri! Aku memberi semangat diriku sendiri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD